EKSEPSI PH TERDAKWA TW (54 HAL)

Sumber Photo : http://berita.plasa.msn.com/nasional/jpnn/unit-kerja-presiden-surati-badan-pengawas-ma

Majelis Hakim Yang Kami Muliakan,

Saudara Penuntut Umum yang kami hormati, dan

Pengunjung Sidang sekalian,

 

Sebelum memasuki uraian mengenai Surat Dakwaan Penuntut Umum dan dasar hukum pengajuan serta materi keberatan kami selaku Advokat/penasihat hukum Terdakwa terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum, perkenankanlah kepada kami untuk menyampaikan terima kasih kepada Majelis Hakim atas kesempatan yang diberikan untuk mengajukan EKSEPSI/keberatan ini.

 

Adanya kesempatan bagi Terdakwa atau Advokatnya untuk mengajukan EKSEPSI/KEBERATAN setelah Penuntut Umum mengajukan suatu Surat Dakwaan menjadi bukti nyata bahwa KUHAP sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan, dengan cara memberikan kesempatan kedua belah pihak untuk mengemukakan pandangannya masing-masing. Memang untuk memperoleh konstruksi tentang kebenaran dari suatu kasus seperti halnya kasus yang Terdakwa alami tidak ada cara lain kecuali memberi kesempatan yang selayaknya kepada kedua belah pihak, penuntut umum dan terdakwa, untuk mengemukakan pandangannya masing-masing (du choc des opinions jaillit la verite).

 

Oleh karena itu dalam Negara Hukum seperti halnya Negara Republik Indonesia, pengajuan keberatan terhadap surat dakwaan penuntut umum sama sekali tidak dimaksudkan untuk mencari-cari kesalahan atau memojokkan posisi penyidik atau penuntut umum yang dalam menjalankan tugas dan kewajibannya telah bekerja dengan tekun dan gigih serta dengan hati nurani yang bersih. Bukan pula semata-mata memenuhi ketentuan pro forma hanya karena hal itu telah diatur dalam undang-undang atau sekedar menjalani acara ritual yang sudah lazimnya dilakukan oleh seorang advokat hanya karena advokat itu telah menerima sejumlah honor dari kliennya. Pengajuan keberatan itu dimaksudkan semata-mata demi memperoleh konstruksi tentang kebenaran dari kasus yang sedang Terdakwa hadapi. Apabila misalnya ternyata dalam surat dakwaan penuntut umum atau dari hasil penyidikan yang menjadi dasar dakwaan penuntut umum terdapat cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure), maka diharapkan majelis hakim yang memeriksa perkara dapat mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum yang selanjutnya menyerahkan kepada penyidik untuk disidik kembali oleh karena kebenaran yang ingin dicapai oleh KUHAP tidak akan terwujud dengan surat dakwaan atau hasil penyidikan yang mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure). Mustahil pula suatu kebenaran yang diharapkan akan dapat diperoleh melalui persidangan ini apabila Terdakwa dihadapkan pada surat dakwaan penuntut umum yang tidak dirumuskan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, oleh karena dalam hal demikian sudah pasti Terdakwa termasuk advokatnya tidak akan dapat menyusun pembelaan bagi Terdakwa dengan sebaik-baiknya.

 

Oleh karena itu melalui kesempatan ini Terdakwa dan advokatnya memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk dapat memberikan tempat yang selayaknya bagi keberatan ini dalam putusan yang akan diambil oleh Majelis Hakim setelah Penuntut Umum menyatakan pendapatnya.

 

 

II. surat dakwaan penuntut umum

 

Bahwa pada tanggal 14 November 2007 SAUDARA Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Ketapang, telah membacakan Surat Dakwaan No. Reg. Perkara No. : 01/ Ketap/ Pidsus/ 09/ 2007, untuk selanjutnya disebut juga: SURAT DAKWAAN;

 

Bahwa dalam Surat Dakwaan tersebut Penuntut Umum telah mendakwa Terdakwa dengan Dakwaan yang berbentuk alternatif, yaitu:

 

Pertama: Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. Tahun No. 20 Tahun 2001;

 

atau

 

Kedua : Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Bukan Pajak;

 

Bahwa oleh karena ketentuan-ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 21 Ayat (1) Huruf a akan dibahas oleh Advokat Terdakwa dalam Eksepsi/KEBERATAN ini, maka isi selengkapnya dari ketentuan-ketentuan tersebut akan dikutip sehingga terbaca sebagai berikut:

 

- Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. Tahun No. 20 Tahun 2001:

 

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

 

- Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Bukan Pajak:

 

Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) yang terbukti dengan sengaja: a. tidak membayar, tidak menyetor dan atau tidak melaporkan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang … dan seterusnya, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.

 

III. dasar hukum mengenai keberatan

 

Bahwa dasar hukum mengenai keberatan terdakwa atau advokat terhadap Surat Dakwaan penuntut umum diatur dalam Pasal 156 Ayat (1) KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa atau advokatnya dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan;

 

Bahwa oleh karena Terdakwa tidak bermaksud mengajukan keberatan mengenai pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, maka yang akan mendapat pembahasan di sini adalah keberatan mengenai dakwaan tidak dapat diterima dan mengenai surat dakwaan harus dibatalkan;

 

Bahwa yang dimaksud dengan keberatan mengenai dakwaan tidak dapat diterima adalah keberatan yang diajukan apabila surat dakwaan yang diajukan mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure);

 

Bahwa yang dimaksud dengan keberatan mengenai surat dakwaan harus dibatalkan adalah keberatan yang diajukan karena surat dakwaan telah dibuat dengan tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b KUHAP yang berbunyi:

 

Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: … b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

 

IV. materi EKSEPSI/KEBERATAN

 

Majelis Hakim Yang kami Muliakan,

 

Oleh karena, seperti dikemukakan di atas, Terdakwa hanya akan mengemukakan keberatan mengenai dakwaan tidak dapat diterima di samping keberatan mengenai surat dakwaan harus dibatalkan, maka berikut ini akan diuraikan berturut-turut mengenai kedua keberatan tersebut yang kemudian akan diakhiri dengan suatu kesimpulan dan permohonan.

 

1. keberatan mengenai dakwaan tidak dapat diterima

 

Bahwa ketentuan Pasal 140 Ayat (1) KUHAP dengan tegas telah menentukan bahwa dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan;

 

Bahwa ketentuan ini mengisyaratkan bahwa penuntut umum baru boleh membuat surat dakwaan apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan dan ini berarti apabila dari hasil penyidikan tidak dapat dilakukan penuntutan, ia belum atau tidak boleh membuat surat dakwaan;

 

Bahwa ketentuan ini pun mengisyaratkan bahwa hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik merupakan dasar dalam pembuatan surat dakwaan, sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.M.A. KUFFAL dalam bukunya “Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum” (Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2003, halaman 221) yang menyatakan:

 

Surat Dakwaan adalah sebuah akte yang dibuat oleh penuntut umum berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan.

 

Bahwa oleh karena surat dakwaan itu dibuat berdasarkan disusun berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan, maka dengan sendirinya apabila hasil penyidikan itu mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure), maka surat dakwaan itu pun menjadi cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure);

 

Bahwa oleh karena itu untuk mengukur sejauh mana hak-hak asasi tersangka telah dirugikan oleh penyidik dalam penyidikan atau untuk mengukur sejauh mana Surat Dakwaan Penuntut Umum telah mengalami cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure), maka hal itu tergantung selain pada sejauh mana penuntut umum dalam membuat surat dakwaannya, juga pada sejauh mana penyidik dalam melakukan penyidikan telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam KUHAP;

 

Bahwa oleh karena semua atau sebagian besar hasil penyidikan penyidik telah tertuang dalam Berkas Perkara yang dibuat oleh penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Kalimantan Barat Direktorat Reserse Kriminal di bawah No. Pol.: BP/ 34/ VI/ 2007/ Ditreskrim-III tertanggal 21 Juni 2007, selanjutnya disebut juga: BERKAS PERKARA, maka untuk keperluan penyusunan KEBERATAN ini selain Surat Dakwaan Penuntut Umum, Berkas Perkara yang dibuat oleh penyidik itu juga akan menjadi bahan analisis yang sangat penting dalam KEBERATAN ini;

 

Bahwa oleh karena keterbatasan waktu yang tersedia, maka dalam penyusunan KEBERATAN ini Terdakwa atau advokatnya tidak dapat menganalisis seluruh bagian dari Berkas Perkara yang dibuat oleh penyidik tersebut yang tebalnya tidak kurang dari tujuh sentimeter, dan karena itu Terdakwa atau advokatnya hanya akan mengemukakan beberapa cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure) seperti diuraikan di bawah ini;

 

Bahwa akan tetapi Terdakwa atau advokatnya yakin bahwa oleh karena cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure) yang terjadi baik dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum maupun selama dalam tahap penyidikan itu cukup mengganggu fondamen penegakan hukum, khususnya bagi penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang telah diamanatkan oleh pembentuk undang-undang melalui KUHAP, maka sangatlah diharapkan Majelis Hakim mau memberi tempat yang selayaknya bagi KEBERATAN yang Terdakwa atau advokatnya ajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

 

A. Penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tanpa didampingi advokat, tanpa menunjuk advokat bagi tersangka, dan tanpa menjelaskan kepada tersangka bahwa dalam perkara itu ia wajib didampingi oleh advokat, sehingga ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP telah dilanggar

 

Bahwa ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP telah menyatakan:

 

Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

 

Bahwa ketentuan ini tidak lain dimaksudkan untuk melindungi hak-hak asasi manusia seorang tersangka atau terdakwa yang dipersangkakan atau didakwa melakukan suatu tindak pidana, oleh karena seandainya orang itu benar telah melakukan perbuatan seperti yang dipersangkakan atau didakwakan, perbuatan itu belum tentu merupakan suatu tindak pidana, dan seandainya perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana, belum tentu ia bersalah melakukan tindak pidana itu karena berbagai keadaan yang dibenarkan oleh hukum;

 

Bahwa oleh karena itu peran seorang advokat dalam mendampingi tersangka yang sedang didengar keterangannya oleh penyidik menjadi sangat penting dalam mengawal amanat undang-undang dalam menegakkan dasar utama negara hukum, dengan pendampingan advokat diharapkan dapat dijaga misalnya:

a. agar keterangan tersangka diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 117 Ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

 

Keterangan tersangka … kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun.

 

b. agar dapat dipastikan bahwa penyidik mencatat keterangan tersangka dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri, bukan kata yang dikehendaki oleh penyidik atau yang sesuai dengan keterangan saksi pelapor, sesuai dengan ketentuan Pasal 117 Ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

Dalam hal tersangka memberi keterangan … penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.

 

Bahwa peran pendampingan seorang advokat bagi tersangka dalam pemeriksaan penyidik sangat inhaerent dengan perlindungan hak-hak asasi manusia khususnya bagi mereka yang tengah menjadi pesakitan di hadapan penyidik atau penuntut umum, oleh karena seperti dikatakan oleh BAMBANG POERNOMO dalam bukunya “Pandangan terhadap Azas-azas Umum Hukum Acara Pidana” (Liberty, Yogyakarta, 1982, halaman 4):

 

Pada hakikatnya pekerjaan seseorang untuk menduga dan menyangka orang lain melakukan perbuatan pidana yang berupa kejahatan atau pelanggaran, dapat menjurus sebagai perbuatan yang bersifat barbar karena di satu pihak akan giat mempertahankan tuduhannya dan di lain pihak dengan gigih melakukan pembelaan yang didorong oleh harga diri dan kebebasan pribadi setiap orang.

 

Bahwa senada dengan pendapat tersebut, Lilik Mulyadi dalam bukunya “Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya menurut halaman 63 – halaman 64 juga telah menegaskan:

 

Dalam praktek peradilan khususnya untuk perkara Tindak Pidana Korupsi maka ketentuan Pasal 56 KUHAP sifatnya imperative dalam artian bahwa tersangka pelaku Tindak Pidana Korupso dengan tegas harus didampingi penasihat hukum pada semua tingkat pemeriksaan … Ketentuan ini dimaksudkan sebagai implementasi dijunjung tingginya hak asasi manusia/terdakwa sebagaimana dasar dikeluarkannya KUHAP, sehingga tidak diharapkan adanya kesewenang-wenangan dalam pemeriksaan tersangka/terdakwa.

 

Bahwa oleh karena sedemikian seriusnya ketentuan sejenis “Miranda Rule” dalam KUHAP yang mewajibkan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk menunjuk penasihat hukum bagi mereka untuk tindak pidana yang ancamannya disebutkan dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP, maka atas adanya pelanggaran terhadap ketentuan tersebut tidak mengherankan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam berbagai putusannya menyatakan dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima;

 

Bahwa berbagai putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di antaranya adalah putusan No. 367 K/Pid./1998 tanggal 29 Mei 1998 dan putusann No. 1565K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993;

 

Bahwa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 367 K/Pid./1998 tanggal 29 Mei 1998 amarnya berbunyi:

 

1. Menyatakan Penuntutan Jaksa Penuntut Umum/Jaksa pada Kejaksaan Negeri Sengkang tidak dapat diterima;

2. Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara);

3. Memerintahkan Pengadilan Negeri Sengkang untuk mengembalikan berkas perkara, yaitu Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan Berita Acara Pemeriksaan Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sengkang yang selanjutnya menyerahkan kepada Penyidik Polri;

4. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat kepada Negara;

 

Bahwa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:

 

Bahwa terlepas dari alasan-alasan tersebut di atas, ditemukan fakta bahwa terdakwa diperiksa dalam tingkat penyidikan masing-masing pada tanggal 31 Desember 19996, tanggal 3 Januari 1997 dan tanggal 6 Januari 1997 dan dalam tingkat penuntutan tanggal 1 Maret 1997, tidak ditunjuk penasihat hukum untuk mendampingi Nya, sehingga bertentangan dengan pasal 56 KUHAP, sehingga Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan Penuntut Umum batal demi hukum dan oleh karena itu penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima, walaupun pemeriksaan di sidang Pengadilan, terdakwa didampingi Penasehat Hukum.

 

Bahwa sedangkan putusan Mahkamah Agung No. 1565K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993 berbunyi sebagai berikut:

 

Apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.

 

Bahwa oleh karena adanya ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP dan adanya kedua putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut di atas, maka menjadi sangat relevan untuk menjawab pertanyaan: apakah penyidik selama dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan terhadap Terdakwa telah bertindak sesuai dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP dan kaidah hukum yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam kedua putusan tersebut di atas;

 

Bahwa apabila berpegang pada Berita Acara Pendapat (Resume) tanggal 17 Juni 2007 yang dibuat oleh penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Kalimantan Barat Direktorat Reserse Kriminal, untuk selanjutnya juga disebut: Berita Acara Pendapat PENYIDIK, maka segera dapat diketahui apakah dalam melakukan pemeriksaan terhadap Tersangka, penyidik telah melakukannya sesuai dengan ketentuan KUHAP tersebut;

 

Bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapatlah terlebih dahulu membaca halaman 36 BERITA ACARA PENDAPAT PENYIDIK yang berbunyi:

 

Dalam pemeriksaan ia dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, dan ketika ia akan dimintai keterangannya ia tidak menggunakan Penasehat Hukum atau Pengacara, akan tetapi meskipun ia tidak didampingi oleh Penasihat hukum ia bersedia untuk dimintai keterangan dan akan memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya.

 

Bahwa menilik keterangan sebagaimana tertera dalam Berita Acara Pendapat tersebut, jelaslah pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka dalam tahap penyidikan telah dilakukan oleh penyidik secara bertentangan dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP dan kaidah hukum yang termaut dalam konstante jurisprudentie tersebut di atas, oleh karena sesuai dengan Laporan Polisi No. Pol.: LP/A.236/IV/2007 tanggal 26 April 2007 dan Laporan Polisi No. Pol.: LP/A.245/IV/2007 tanggal 28 April 2007, keduanya dibuat oleh Albert Deddy,S.Sos.,S.IK., tindak pidana yang dipersangkakan kepada Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka adalah tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang No. 20/2001 tentang Perubahan Undang-undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi atau Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;

 

Bahwa ancaman pidana menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang No. 20/2001 tentang Perubahan Undang-undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan seterusnya, sedangkan ancaman pidana menurut ketentuan Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Undang-undang No. Tahun No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah pidana penjara paling lama 6 tahun dan seterusnya;

 

Bahwa oleh karena ancaman pidana atas tindak pidana yang dipersangkakan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka adalah lebih dari lima belas tahun dan lagi pula Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka tidak mempunyai advokat sendiri, maka jelas penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka seharusnya menunjuk advokat bagi Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka;

 

Bahwa oleh karena Berita Acara Pendapat tersebut sebagaimana ternyata dari bagian penutupnya telah dibuat dengan sebenar-benarnya berdasarkan kekuatan sumpah jabatan kemudian ditutup dan ditandatangani oleh yang membuatnya pada hari, tanggal, bulan dan tahun yang disebutkan pada bagian awal Berita Acara tersebut, maka jelas Berita Acara tersebut merupakan bukti sempurna yang menunjukkan bahwa pemeriksaan pada tingkat penyidikan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka telah dilakukan tanpa adanya pendampingan seorang advokat bagi Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka, dan penyidik sebelum memulai pemeriksaan tidak telah melaksanakan kewajibannya untuk menunjuk advokat bagi Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka;

 

Bahwa oleh karena hal-hal sebagaimana dikemukakan di atas, maka jelas pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penyidik terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka telah melanggar ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP dan konstante jurisprudentie, dan karena itu dengan sendirinya Dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum berdasarkan hasil penyidikan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure);

 

Bahwa kendati Berita Acara Pendapat tersebut sudah merupakan bukti yang sempurna menunjukkan adanya pelanggaran ketentuan KUHAP yang dilakukan oleh penyidik dalam pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka, untuk memberi rasa keadilan tidak ada salahnya kita menguji kebenaran Berita Acara Pendapat tersebut dengan menelusuri Berita Acara Pemeriksaan yang telah dibuat pada waktu penyidik melakukan pemeriksaan terhadap diri Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka;

 

Bahwa dari Berkas Perkara dapat diketahui bahwa Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka selama pada tahap penyidikan telah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di hadapan penyidik pada tanggal-tanggal 10, 11, 12, dan 14 Mei 2007, 21 dan 24 Juli 2007, 13 dan 22 Agustus 2007;

 

Bahwa oleh karena Terdakwa telah menjalani pemeriksaan pada tanggal-tanggal tersebut di atas, maka akan ditinjau satu per satu Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada saat pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu berstatus sebagai Tersangka;

 

a. Berita Acara Pemeriksaan tanggal 10 dan 12 Mei 2007

 

Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada tanggal 10 dan 12 Mei 2007 ternyata pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka sama sekali tidak didampingi oleh seorang advokat, dan juga dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan seperti tertulis dalam Berita Acara itu ternyata penyidik selain sama sekali tidak memberitahukan kepada yang diperiksa bahwa ia dalam perkara itu wajib didampingi oleh seorang advokat, juga sama sekali tidak menunjuk seorang advokat untuk mendampingi Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka dalam pemeriksaan tersebut;

 

Bahwa mengenai adanya keterangan dalam Berita Acara yang berbunyi “Sebelum pemeriksaan (pemeriksaan lanjutan) ini dimulai kepada Tersangka terlebih dahulu dibacakan hak-haknya terutama yang menyangkut dengan bantuan hukum” tidak akan ditanggapi di sini, melainkan akan dibahas pada bagian lain yang juga menjadi materi KEBERATAN ini;

 

b. Berita Acara Pemeriksaan tanggal 11 Mei 2007

 

Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada tanggal 11 Mei 2007 ternyata pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu berstatus sebagai Tersangka sama sekali tidak didampingi oleh seorang advokat, walaupun penyidik akhirnya telah mengajukan dua puluh enam butir pertanyaan kepada yang diperiksa;

 

Bahwa dalam pemeriksaan tanggal 11 Mei 2007 ini penyidik mengajukan pertanyaan apakah dalam perkara yang dipersangkakan kepada yang diperiksa, yang diperiksa akan menggunakan bantuan hukum atau bagaimana, yang dijawab oleh Terdakwa yang pada waktu itu berstatus sebagai Tersangka bahwa ia akan menggunakan bantuan hukum atau ia akan menunjuk Penasihat Hukum bagi dirinya, akan tetapi sampai saat itu ia dan pihak keluarga belum bisa memutuskan siapa yang akan menjadi penasihat hukum bagi dirinya;

 

Bahwa selanjutnya dalam pemeriksaan tanggal 11 Mei 2007 ini pula penyidik mengajukan pertanyaan bahwa yang diperiksa menerangkan bahwa untuk saat itu belum ditentukan siapa yang akan mendampingi yang diperiksa dalam pemeriksaan itu, apakah pemeriksaan ini dapat dilanjutkan dan yang diperiksa akan memberi keterangan, yang dijawab oleh Terdakwa yang pada waktu itu berstatus sebagai Tersangka bahwa untuk saat itu ia bersedia untuk dimintai keterangan dan pemeriksaan itu ia setuju untuk dilanjutkan;

 

Bahwa melihat Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada tanggal 11 Mei 2007 jelas dalam pemeriksaan itu telah dilanggar ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP dan pendirian Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya No. 367 K/Pid./1998 tanggal 29 Mei 1998 dan No. 1565K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993, oleh karena pertanyaan penyidik “apakah dalam perkara yang dipersangkakan kepada sdr, sdr akan menggunakan bantuan hukum atau bagaimana” menunjukkan seolah-olah pendampingan advokat bagi seorang tersangka yang diperiksa hanya bersifat fakultatif atau merupakan hak semata dari yang diperiksa, yaitu terserah kepada tersangka maunya bagaimana, padahal seharusnya pendampingan advokat bagi seorang tersangka dalam kasus seperti yang dialami oleh Terdakwa merupakan kewajiban, hal ini sejalan dengan pendapat sebagaimana ;

 

Bahwa seharusnya pada waktu itu penyidik menunda pemeriksaan terhadap Terdakwa yang berstatus Tersangka atau menunjuk seorang advokat bagi dirinya;

 

Bahwa penundaan pemeriksaan adalah wajar karena Terdakwa pada waktu itu telah menyatakan secara tegas-tegas bahwa ia akan menggunakan bantuan hukum atau ia akan menunjuk Penasihat Hukum bagi dirinya;

 

Bahwa penyidik juga dapat tetap melakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka dengan menunjuk seorang advokat untuk mendampingi yang diperiksa atas dasar alasan sampai saat itu ia dan pihak keluarga belum bisa memutuskan siapa yang akan menjadi penasihat hukum bagi dirinya;

 

Bahwa akan tetapi yang terjadi adalah penyidik tetap melangsungkan pemeriksaan dengan dua puluh enam butir pertanyaan dengan tidak menunjuk seorang advokat untuk mendampingi yang diperiksa kendati penyidik mengetahui atau patut mengetahui bahwa dalam pemeriksaan itu penyidik wajib menunjuk seorang advokat bagi yang diperiksa apabila yang diperiksa tidak didampingi seorang advokat oleh karena tindak pidana yang dipersangkakan kepada yang diperiksa diancam dengan pidana yang menurut ketentuan KUHAP dalam pemeriksaan itu penyidik wajib menunjuk seorang advokat bagi yang diperiksa;

 

Bahwa mengenai adanya keterangan dalam Berita Acara yang berbunyi “Sebelum pemeriksaan (pemeriksaan lanjutan) ini dimulai kepada Tersangka terlebih dahulu dibacakan hak-haknya terutama yang menyangkut dengan bantuan hukum” tidak akan ditanggapi di sini, melainkan akan dibahas pada bagian lain yang juga menjadi materi KEBERATAN ini;

 

c. Berita Acara Pemeriksaan tanggal 14 Mei 2007

 

Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada tanggal 14 Mei 2007 ternyata pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka sama sekali tidak didampingi oleh seorang advokat, walaupun penyidik akhirnya telah mengajukan sebanyak 67 butir pertanyaan;

 

Bahwa pertanyaan yang berkaitan dengan masalah pendampingan itu hanya terbaca dari pertanyaan nomor 3 Berita Acara Pemeriksaan yang berbunyi “apakah dalam pemeriksaan itu yang diperiksa akan didampingi oleh Penasihat Hukum”, yang dijawab oleh yang diperiksa “untuk sementara ini tidak, melainkan akan dihadapi sendiri oleh yang diperiksa”;

 

Bahwa oleh karena Berita Acara tersebut tidak dapat ditemukan halaman yang memuat pertanyaan nomor 4 sampai dengan nomor 9, maka Terdakwa tidak dapat mengetahui baik mengenai apakah dalam pemeriksaan itu penyidik telah atau belum menjelaskan kepada yang diperiksa bahwa dalam perkara yang bersangkutan ia wajib didampingi oleh advokat, maupun mengenai apakah penyidik telah menunjuk seorang advokat untuk mendampingi yang diperiksa dalam pemeriksaan itu;

 

Bahwa akan tetapi dihubungkan dengan Berita-berita Acara sebelumnya kiranya Terdakwa dapat menyimpulkan bahwa sampai persidangan dalam perkara ini membuktikan hal yang sebaliknya, maka penyidik dalam pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka juga selain tidak menjelaskan kepada yang diperiksa bahwa dalam pemeriksaan itu penyidik wajib didampingi seorang advokat, juga tidak menunjuk seorang advokat untuk mendampingi yang diperiksa;

 

Bahwa seandainya benar keadaan Berita Acara itu adalah demikian, maka jelas Berita Acara tersebut telah mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan prosedur, dengan akibat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dalam perkara ini juga mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure);

 

Bahwa mengenai adanya keterangan dalam Berita Acara yang berbunyi “Sebelum pemeriksaan (pemeriksaan lanjutan) ini dimulai kepada Tersangka terlebih dahulu dibacakan hak-haknya terutama yang menyangkut dengan bantuan hukum” tidak akan ditanggapi di sini, melainkan akan dibahas pada bagian lain yang juga menjadi materi KEBERATAN ini;

 

d. Berita Acara Pemeriksaan tanggal 21 dan 24 Juli serta 13 Agustus 2007

 

Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada tanggal 21 dan 24 Juli serta 13 Agustus 2007 ternyata pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka sama sekali tidak didampingi oleh seorang advokat, demikian pula penyidik tidak menjelaskan kepada yang diperiksa bahwa dalam perkara itu ia wajib didampingi oleh seorang advokat;

 

Bahwa benar penyidik dalam pemeriksaan itu telah memberikan penjelasan dan mengajukan pertanyaan kepada yang diperiksa seperti tertulis dalam pertanyaan nomor 3 “Dalam pemeriksaan saudara saat ini saudara berhak untuk didampingi oleh pengacara, dan pemeriksaan tambahan apakah saudara akan menggunakan hak saudara tersebut”, yang dijawab oleh yang diperiksa “Ya, saya akan menggunakan hak saya tersebut namun saat ini pengacara saya tersebut belum bisa saya hadirkan”;

 

Bahwa selain itu penyidik dalam pemeriksaan itu juga telah menjelaskan dan menanyakan kepada yang diperiksa seperti tertulis dalam pertanyaan nomor 5 “Sehubungan dengan Pasal 56 KUHAP, saudara berhak untuk didampingi oleh Pengacara, dan dari pihak penyidik menunjuk saudara EDI NIRWANA,S.H., apakah saudara menyetujuinya”, yang dijawab “saya tidak setuju, dan saya akan menunjuk sendiri pengacara saya”;

 

Bahwa keterangan penyidik yang menyatakan “saudara berhak untuk didampingi oleh pengacara” dan “Sehubungan dengan Pasal 56 KUHAP, saudara berhak untuk didampingi oleh Pengacara”, bukanlah keterangan sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 56 KUHAP, oleh karena pendampingan seorang advokat dalam perkara yang disebutkan dalam Pasal 56 KUHAP bukan merupakan hak, melainkan suatu kewajiban, dan karena itu seharusnya penyidik menjelaskan bahwa dalam perkara itu yang diperiksa wajib didampingi oleh seorang advokat dan apabila yang diperiksa tidak memiliki advokat sendiri, maka penyidik wajib menunjuk seorang advokat untuk mendampingi yang diperiksa dalam pemeriksaan itu;

 

Bahwa oleh karena Terdakwa hanya berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) tetapi tidak sampai tamat, sehingga dapat dikatakan Terdakwa adalah seorang awam hukum, maka dapat dimengerti apabila penyidik tidak menjelaskan kepadanya bahwa pendampingan advokat itu merupakan suatu hal yang wajib sifatnya, atau apabila penyidik hanya menjelaskan bahwa pendampingan itu sifatnya mana suka (fakultatif) atau hanya merupakan hak semata atau tergantung kemauan dari yang diperiksa, Terdakwa yang waktu itu sebagai Tersangka akan lebih memilih untuk tidak didampingi oleh advokat;

 

Bahwa pilihan Terdakwa ini dapatlah dipahami, oleh karena Terdakwa memahami bahwa sudah menjadi kodrat manusia orang yang dalam melaksanakan suatu pekerjaan, termasuk pekerjaan penyidik dalam memeriksa seorang tersangka, sudah tentu lebih memilih keadaan tidak diawasi atau diamati oleh orang lain atau dapat dikatakan seseorang yang sedang melaksanakan suatu pekerjaan, tidak terkecuali pekerjaan penyidik yang sedang memeriksa tersangka, akan lebih merasa terganggu dalam keadaan diawasi oleh orang lain daripada tanpa ada yang memperhatikannya;

 

Bahwa sudah tentu sikap itu tidak akan diambil oleh Terdakwa seandainya penyidik mau meyakinkan kepada tersangka secara sungguh-sungguh bahwa penyidik pada saat melakukan pemeriksaan terhadap tersangka akan lebih menghendaki kehadirian seorang advokat daripada tanpa adanya seorang advokat, jadi bukan sekedar suatu ucapan yang bersifat ritual semata, yaitu diucapkan semata-mata karena undang-undang mewajibkannya, bukan muncul dari ketulusan penyidik;

 

Bahwa Terdakwa juga terpaksa menolak advokat yang ditunjuk oleh penyidik untuk mendampingi dirinya dalam pemeriksaan di hadapan penyidik, oleh karena penyidik hanya mengajukan satu orang advokat saja, sehingga Terdakwa tidak bebas untuk memilih yang menurut Terdakwa paling tepat untuk membela hak-hak Terdakwa di hadapan penyidik;

 

Bahwa selain itu penunjukan advokat yang hanya terdiri dari satu orang yang dilakukan oleh penyidik juga bukan sebagaimana dimaksudkan dalam KUHAP, oleh karena seharusnya advokat yang ditunjuk tidak hanya satu orang, tetapi lebih dari satu orang, dan seharusnya disediakan sebuah daftar seluruh advokat yang ada di kota tersebut, oleh karena dengan berlakunya Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, setiap Advokat, seperti ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, tanpa kecuali, wajib memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan, apalagi diminta oleh penyidik guna memenuhi ketentuan Pasal 56 KUHAP;

 

Bahwa penunjukan advokat yang hanya berjumlah satu orang jelas akan menghilangkan makna dari ketentuan Pasal 55 KUHAP yang menentukan bahwa untuk mendapatkan advokat, tersangka berhak memilih sendiri advokatnya, oleh karena apabila yang ditunjuk hanya seorang, maka tersangka sudah tentu tidak bisa lagi memilih apabila tersangka itu merasa tidak cocok dengan advokat tersebut, apalagi untuk pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2007 sesuai dengan jawaban atas pertanyaan nomor 3 dalam Berita Acara yang bersangkutan yang secara jelas-jelas menunjukkan bahwa advokat yang sedianya sudah siap dihadirkan oleh keluarga Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka menjadi tidak bisa dihadirkan oleh karena “waktu yang sangat mendesak dan tidak diberitahu sebelumnya”, dan sebagai akibatnya pada akhirnya ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP menjadi terlanggar;

 

Bahwa dengan melihat alasan-alasan sebagaimana diuraikan di atas, jelaslah Berita cara Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada tanggal 21 Juli 2007 tersebut di atas mengandung cacat formal dan mengandung kekeliruan beracara (error in procedure) karena mengaburkan makna ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP juncto Pasal 55 KUHAP;

 

 

Bahwa mengenai adanya keterangan dalam Berita Acara yang berbunyi “Sebelum pemeriksaan (pemeriksaan lanjutan) ini dimulai kepada Tersangka terlebih dahulu dibacakan hak-haknya terutama yang menyangkut dengan bantuan hukum” tidak akan ditanggapi di sini, melainkan akan dibahas pada bagian lain yang juga menjadi materi KEBERATAN ini;

 

e. Berita Acara Pemeriksaan tanggal 22 Agustus 2007

 

Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada tanggal 22 Agustus 2007 ternyata Terdakwa yang pada waktu sebagai Tersangka dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik baru kali ini saja yang didampingi oleh seorang advokat, yaitu W. SUWITO,S.H.,M.H.;

 

Bahwa namun pemeriksaan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP ini pada akhir pemeriksaan yang berlangsung pada tanggal 22 Agustus 2007 ini sama sekali tidak bersifat menghilangkan cacat formal dan kekeliruan beracara (error in procedure) yang terkandung dalam Berita-berita acara sebelumnya, oleh karena Mahkamah Agung dalam putusannya No. 367 K/Pid./1998 tanggal 29 Mei 1998 dan No. 1565K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993, dengan tegas telah mengingatkan bahwa pendampingan advokat bagi tersangka yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP seperti halnya yang dipersangkakan pada Terdakwa yang waktu itu sebagai Tersangka haruslah dimulai dari “sejak awal penyidikan” dan dalam setiap pemeriksaan tanpa ada satu pun yang dikecualikan, tidak cukup hanya dalam pemeriksaan yang terakhir atau yang pertamanya saja;

 

B. Pembacaan mengenai hak-hak tersangka yang menyangkut bantuan hukum tidak dituangkan oleh penyidik dalam Berita Acara sesuai dengan ketentuan Pasal 75 Ayat (1) KUHAP

 

Bahwa selama tahap penyidikan Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka telah menjalani pemeriksaan di hadapan penyidik berturut-turut pada tanggal-tanggal 10, 11, 12, dan 14 Mei 2007, 21 dan 24 Juli 2007, 13 dan 22 Agustus 2007 dan untuk setiap pemeriksaan itu telah dibuat suatu berita acara;

 

Bahwa dalam setiap Berita Acara tersebut di atas sebelum memasuki bagian tanya jawab terdapat keterangan yang berbunyi:

 

Sebelum pemeriksaan (pemeriksaan lanjutan) ini dimulai kepada Tersangka terlebih dahulu dibacakan hak-haknya terutama yang menyangkut dengan bantuan hukum.

 

Bahwa kendati dalam Berita-berita Acara itu terbaca keterangan seperti dikutip di atas, ternyata tindakan pembacaan hak-hak (baca: kewajiban) mengenai bantuan hukum itu tidak ditemukan berita acaranya dalam Berkas Perkara No. Pol.: BP/ 34/ VI/ 2007/ Ditreskrim-III tertanggal 21 Juni 2007 tersebut di atas, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan tindakan pembacaan hak-hak (baca: kewajiban) bagi tersangka tersebut, penyidik tidak menuangkan tindakannya dalam suatu Berita Acara sesuai dengan ketentuan Pasal 75 Ayat (1) Huruf k KUHAP yang berbunyi:

 

Berita Acara dibuat untuk … setiap tindakan tentang pelaksanaan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.

 

Bahwa oleh karena menurut Berita-berita Acara tersebut, tindakan pembacaan hak-hak (baca: kewajiban) tersangka mengenai bantuan hukum itu dilakukan “sebelum pemeriksaan itu dimulai”, maka tindakan pembacaan itu termasuk sebagai pelaksanaan tindakan sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 Ayat (1) Huruf k KUHAP, sehingga tindakan itu harus dituangkan dalam suatu berita acara tersendiri;

 

Bahwa oleh karena ternyata tindakan pembacaan itu tidak dituangkan dalam suatu berita acara secara tersendiri, sedangkan tindakan itu termasuk dalam tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 Ayat (1) Huruf k KUHAP, maka jelaslah penyidikan yang dilakukan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka telah melanggar ketentuan Pasal 75 Ayat (1) Huruf k KUHAP;

 

C. Penyidik telah melakukan penahanan hanya dengan faksimili surat perintah penahanan, sehingga penahahan itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 Ayat (2) KUHAP

 

Bahwa ketentuan Pasal 21 Ayat (2) KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka dengan memberikan surat perintah penahanan dan seterusnya;

 

Bahwa yang dimaksud dengan “surat perintah penahanan” tersebut tidak lain adalah asli surat perintah penahanan dan ini berarti surat tersebut tidak boleh dalam bentuk lain daripada asli, seperti halnya fotokopi atau tembusan;

 

Bahwa maksud pembentuk KUHAP adalah surat perintah tersebut harus asli dan bukan yang lain, hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 21 Ayat (3) KUHAP yang menyatakan:

 

Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan dan seterusnya harus diberikan kepada keluarganya.

 

Bahwa apabila kedua pasal itu dibandingkan satu sama lain, maka segera dapat dipahami bahwa KUHAP membuat pembedaan secara tegas terhadap surat perintah penahanan antara di satu pihak pada aslinya dan di pihak lain pada tembusannya, sehingga untuk masing-masing pasal tersebut dengan sangat teliti dibedakan, yaitu dalam Pasal 21 Ayat (2) KUHAP digunakan terminologi “surat perintah penahanan”, dan dalam Pasal 21 Ayat (3) KUHAP digunakan terminologi “tembusan surat perintah penahanan”;

 

Bahwa kendati KUHAP telah mengamanatkan untuk membedakan antara asli surat perintah penahahan di satu pihak dan tembusannya di lain pihak, ternyata pada tanggal 09 Mei 2007 pukul 00.05 penyidik melakukan penahanan terhadap Terdakwa yang waktu itu sebagai Tersangka hanya menggunakan surat perintah yang dikirim melalui faksimili tanpa disertai asli;

 

Bahwa oleh karena berdasarkan logika sederhana Terdakwa sebagai orang awam hukum, membolehkan organ negara seperti halnya penyidik untuk menggunakan faksimili surat perintah penahanan dalam melakukan penahanan yang pada hakikatnya merupakan pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia seorang warga negara akan meruntuhkan sendi-sendi Negara Hukum, maka atas hal tersebut Terdakwa yang waktu itu sebagai Tersangka telah menyatakan sikapnya menolak untuk menandatangani baik Surat Perintah Penahahan maupun Berita Acara Penahanan;

 

Bahwa penolakan tanda tangan tersebut kemudian dituangkan ke dalam Berita Acara Penolakan Tanda Tangan Penahanan yang tertulis tanggal 8 Mei 2007 tetapi Terdakwa ada waktu itu mencantumkan di bawah tangan tangan Terdakwa tanggal yang sesuai dengan saat Terdakwa membubuhkan tanda tangan tersebut, yaitu tanggal 09 Mei 2007 pukul 00.05;

 

Bahwa fakta hukum mengenai surat perintah yang hanya berbentuk faksimili itu secara tegas-tegas telah dicantumkan dalam Berita Acara Penolakan Tanda Tangan Penahanan yang berbunyi:

 

Ketika kepadanya diserahkan Surat Perintah Penahanan dan Berita Acara Penahanan, tersangka menolak untuk menandatangani Surat Perintah Penahanan dan Berita Acara Penahanannya dengan mengajukan alasan bahwa Surat Perintah Penahanan yang diterimanya bukanlah surat perintah yang asli karena hanya berupa Surat Perintah Penahanan yang dikirim lewat faksimili …

 

Bahwa oleh karena ketentuan KUHAP tersebut di atas secara tegas-tegas telah menentukan bahwa surat perintah penahahan tersebut harus dalam bentuk aslinya, dan bukan dalam bentuk faksimili atau yang lainnya, dan ternyata atas dasar faksimili surat perintah tersebut Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka telah mengalami penahanan sejak tanggal 9 Mei 2007 hingga 27 Mei 2007, maka jelaslah penyidik dalam melakukan tindakan penyidikan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu selaku Tersangka telah melanggar ketentuan Pasal 21 Ayat (2) KUHAP;

 

D. Penyidik telah melakukan penahanan terhadap tersangka selama lebih kurang tujuh setengah jam atau selama lebih dari delapan belas hari tanpa dilengkapi surat perintah penahahan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 Ayat (2) KUHAP

 

Bahwa berdasarkan Berita Acara Penangkapan yang tertulis tanggal 08 Mei 2007, maka terbuktilah bahwa Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka telah mengalami penangkapan yang dilakukan oleh penyidik pada tanggal 08 Mei 2007 pukul 16.38, keterangan waktu penahanan ini sesuai dengan keterangan yang tertulis dalam Berita Acara tersebut pada bagian sebelah kanan tanda tangan Terdakwa;

 

Bahwa oleh karena Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka telah dikenakan penangkapan oleh penyidik pada tanggal 08 Mei 2007 pukul 16.38, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Ayat (1) KUHAP sudah seharusnya Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka dilepaskan dari penangkapan pada keesokan harinya, yaitu tanggal 09 Mei 2007 pukul 16.38, kecuali sebelum lewatnya masa penangkapan ini penyidik mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka, yang ternyata hal ini tidak dilakukan oleh penyidik;

 

Bahwa penyidik baru mengeluarkan surat perintah penahanan dan itu pun hanya dalam bentuk faksimili, tanpa disertai aslinya, pada tanggal 9 Mei 2007 pukul 00.05, hal ini dapat diketahui dari Berita Acara Penolakan Tanda Tangan Penahanan yang secara tegas-tegas menyebutkan bahwa surat perintah itu hanya dalam bentuk faksimili; (Karena isi Berita Acara Penolakan Tanda Tangan Penahanan mengenai hal ini telah dikutip selengkapnya di atas, maka tidak perlu lagi dikutip kembali)

 

Bahwa oleh karena ternyata Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka tidak juga dilepaskan dari penangkapan sekali pun waktu telah menunjukkan tanggal 09 Mei 2007 pukul 16.38, demikian juga sebelum berlalunya tanggal 09 Mei 2007 pukul 16.38 penyidik juga tidak mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka, maka jelaslah penyidik telah melakukan penahanan tanpa dasar atau telah melakukan penahanan secara bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 Ayat (2) KUHAP terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka selama lebih kurang tujuh setengah jam, yaitu antara tanggal 09 Mei 2007 pukul 16.38 hingga tanggal 09 Mei 2007 pukul 00.05, dengan asumsi jika faksimili surat perintah penahanan tersebut di atas dapat dibenarkan menurut ketentuan KUHAP, quod non;

 

Bahwa jika faksimili surat perintah penahanan tersebut di atas bersifat contra legem, yang hal demikian memang sesuai dengan pendapat Terdakwa, maka berarti penyidik telah melakukan penahanan tanpa dasar atau telah melakukan penahanan secara bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 Ayat (2) KUHAP terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka selama lebih delapan belas hari, yaitu antara tanggal 09 Mei 2007 pukul 16.38 hingga tanggal 27 Mei 2007 pukul 16.38;

 

E. Pembuatan Surat Dakwaan telah dilakukan oleh Penuntut Umum secara menyimpang dari hasil penyidikan, sehingga penuntutan dalam perkara ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 140 Ayat (2) Huruf a KUHAP dan Pasal 8 Ayat (4) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

 

Bahwa ketentuan Pasal 140 Ayat (1) KUHAP dengan tegas telah menentukan:

 

Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.

 

Bahwa ketentuan ini membawa konsekuensi juridis bahwa surat dakwaan penuntut umum harus dibuat berdasarkan hasil penyidikan, sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.M.A. KUFFAL dalam bukunya “Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum” (Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2003, halaman 221) yang menyatakan:

 

Surat Dakwaan adalah sebuah akte yang dibuat oleh penuntut umum berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan.

 

Bahwa yang lebih tegas lagi adalah seperti yang dikemukakan oleh Leden Marpaung dalam bukunya “Proses Penanganan Perkara Pidana. Bagian Kedua di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksekusi” (Sinar Grafika, Jakarta, 1992, halaman 434) sebagai berikut:

 

Hasil penyidikan yang dihimpun dalam bundel/ berkas disebut “berkas perkara”. Berkas perkara tersebut tidak dapat dipisahkan dengan surat dakwaan karena surat dakwaan tersebut bermula dari berkas perkara. Jika surat dakwaan dengan berkas tidak nampak keterkaitannya maka dakwaan tersebut dapat dinyatakan Hakim/pengadilan negeri “tidak dapat diterima”.

 

Bahwa apakah Penuntut Umum telah membuat Surat Dakwaannya dalam perkara ini dengan mendasarkan pada hasil penyidikan tanpa menghilangkan bagian-bagian tertentu yang menurut Terdakwa dapat menguntungkan Terdakwa atau dengan menambahkan bagian-bagian tertentu yang menurut Terdakwa dapat merugikan Terdakwa;

 

Bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dilihat pada Surat Dakwaan Penuntut Umum dan membandingkannya dengan hasil penyidikan sebagaimana tertuang dalam Berkas Perkara yang dibuat oleh penyidik;

 

Bahwa dari hasil pembandingan yang telah dilakukan secara cermat ternyata terdapat bagian-bagian tertentu yang dihilangkan atau disembunyikan oleh Penuntut Umum dan terdapat pula bagian-bagian tertentu yang ditambahkan oleh Penuntut Umum sehingga seolah-olah memang demikianlah fakta hukum yang terjadi dalam perkara ini;

 

Bahwa apabila dikaji lebih dalam ternyata bagian-bagian tertentu yang dihilangkan atau disembunyikan oleh Penuntut Umum adalah bagian-bagian yang sangat merugikan posisi Terdakwa, dan sebaliknya bagian-bagian tertentu yang ditambahkan oleh Penuntut Umum adalah bagian-bagian yang dapat menguntungkan posisi Terdakwa;

 

Bahwa yang dimaksud dengan bagian-bagian tertentu yang dihilangkan atau disembunyikan atau ditambahkan oleh Penuntut Umum adalah yang ditemukan pada halaman 3 Surat Dakwaan Penuntut Umum pada uraian mengenai ketentuan yang wajib dipatuhi oleh Terdakwa sebagaimana dimaksud dalam surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002;

 

Bahwa dalam mengutip ketentuan yang wajib dipatuhi oleh Terdakwa sebagaimana dimaksud dalam surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 ternyata terdapat sebelas kata yang dapat menguntungkan posisi Terdakwa dalam perkara ini yang dihilangkan atau disembunyikan oleh Penuntut Umum dari Surat Dakwaannya, sehingga seolah-olah benar dalam surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 tersebut tidak terdapat kesebelas kata tersebut;

 

Bahwa untuk mengetahui bahwa penghilangan dan penyembunyian kesebelas kata tersebut sangat merugikan posisi Terdakwa, yaitu dari posisi semula “tidak bersalah” secara hukum pidana dapat berubah posisinya menjadi “bersalah” dari optik hukum pidana, perlu dibandingkan bunyi ketentuan yang wajib dipatuhi oleh Terdakwa sebagaimana dimaksud dalam surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 dalam keadaan sebelum dan sesudah kesebelas kata itu dihilangkan atau disimbunyikan;

 

Bahwa apabila kesebelas kata itu tidak dihilangkan atau tidak disembunyikan oleh Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya, maka bunyi butir 5 atau diktum keempat surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 tersebut akan berbunyi sebagai berikut:

 

Wajib mematuhi segala peraturan yang berlaku di bidang kehutanan khususnya di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan. Apabila tidak memenuhi dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, izin dicabut.

 

Bahwa sudah tentu yang dimaksud dengan frasa “peraturan perundang-undangan yang berlaku” adalah peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan khususnya di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, dan sudah ditentukan dalam surat Keputusan Bupati Ketapang tersebut apabila Terdakwa ternyata tidak memenuhi dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang tersebut, maka sanksi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak adalah izin yang diberikan kepada Terdakwa dicabut, bukan dengan mengajukan Terdakwa ke dalam domein pidana;

 

Bahwa oleh karena kesebelas kata itu dihilangkan atau disembunyikan oleh Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya, maka bunyi butir 5 atau diktum keempat surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 tersebut seolah-olah hanya tertulis sebagai berikut:

 

Wajib mematuhi segala peraturan yang berlaku di bidang kehutanan khususnya di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan.

 

Bahwa tindakan Penuntut Umum dengan menghilangkan atau menyembunyikan kesebelas kata tersebut menimbulkan kesan sangat kuat bahwa Penuntut Umum mengkhawatirkan kesebelas kata itu melemahkan Surat Dakwaannya, namun Penuntut Umum melupakan bahwa tindakan penghilangan atau penyembunyian kesebelas kata tersebut merupakan pelanggaran sangat serius tidak saja terhadap Pasal 140 Ayat (1) KUHAP, melainkan juga terhadap ketentuan Pasal 8 Ayat (4) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi:

 

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.

 

Bahwa selanjutnya dalam mengutip ketentuan yang wajib dipatuhi oleh Terdakwa sebagaimana dimaksud dalam surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 ternyata terdapat tiga puluh kata yang sangat merugikan posisi Terdakwa dalam perkara ini yang ditambahkan oleh Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya, sehingga seolah-olah benar dalam surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 tersebut terdapat ketiga puluh kata tersebut;

 

Bahwa ketiga puluh kata yang ditambahkan oleh Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya berbunyi sebagai berikut:

 

Bahwa wajib mematuhi segala peraturan yang berlaku di bidang Kehutanan khususnya di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan termasuk wajib membayar Provisi Sumber Saya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).

 

Bahwa penambahan ketiga puluh kata tersebut dalam Surat Dakwaannya sangat merugikan posisi Terdakwa dalam perkara ini oleh karena pada saat surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 itu diterbitkan pada tanggal 27 Agustus 2002, jelas peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 35 Ayat (1) Undang-undang No. Tahun No. 44 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berupa Keputusan Menteri Kehutanan, semuanya belum eksis alias belum lahir;

 

Bahwa surat-surat Keputusan Menteri Kehutanan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

 

a. Keputusan Menteri Kehutanan No. 124/ KPTS-II/ 2003 tanggal 4 April 2003 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan Pemungutan Pembayaran dan Penyetoran Provisi Sumber Daya Hutan;

b. Keputusan Menteri Kehutanan No. 128/ KPTS-II/ 2003 tanggal 4 April 2003 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan Pemungutan Pembayaran dan Penyetoran Dana Reboisasi;

 

Bahwa dari tanggal diterbitkannya Keputusan-keputusan Menteri Kehutanan tersebut sudah jelas bahwa keputusan-keputusan itu baru lahir pada tanggal tanggal 4 April 2003, sedangkan surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 sudah ada pada tanggal

27 Agustus 2002;

 

Bahwa tidak mungkin surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 itu memuat atau memaksudkan bahwa peraturan yang berlaku pada saat itu adalah Keputusan-keputusan Menteri Kehutanan yang pada saat itu belum eksis;

 

Bahwa dapat diduga Penuntut Umum menambahkan ketiga puluh kata itu dalam Surat Dakwaannya adalah memberikan kesan selah-olah surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 sudah menunjuk pada Keputusan-keputusan Menteri Kehutanan tersebut di atas, sehingga seolah-olah mulai saat Terdakwa menerima surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 itu Terdakwa sudah harus tunduk pada Keputusan-keputusan Menteri Kehutanan tanggal 4 April 2003 sekali pun pada tanggal lahirnya surat Keputusan Bupati Ketapang itu Keputusan-keputusan Menteri Kehutanan itu belum eksis;

 

Bahwa namun Penuntut Umum melupakan bahwa tindakan penambahan ketiga puluh kata tersebut merupakan pelanggaran sangat serius tidak saja terhadap Pasal 140 Ayat (1) KUHAP, melainkan juga terhadap ketentuan Pasal 8 Ayat (4) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia seperti telah dikemukakan di atas;

 

F. Penuntut Umum tidak memutuskan untuk menghentikan penuntutan walaupun jelas peristiwa yang diuraikan dalam Surat Dakwaannya bukan merupakan tindak pidana, sehingga penuntutan dalam perkara ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 140 Ayat (2) Huruf a KUHAP

 

Bahwa ketentuan Pasal 140 Ayat (2) Huruf a KUHAP dengan tegas menentukan:

 

Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena … peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana …, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

 

Bahwa yang dimaksud dengan “peristiwa tersebut” sudah tentu peristiwa sebagaimana telah dituangkan oleh Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya, dan yang dimaksud dengan “tindak pidana” juga tindak pidana sebagaimana dikemukakan oleh Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya tersebut, sehingga oleh karena itu untuk menguji apakah peristiwa yang didakwakan itu merupakan atau bukan merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Surat Dakwaan itu harus dilihat pada uraian Penuntut Umum sebagaimana termaktub pada Surat Dakwaannya, khususnya pada bagian yang memuat tentang peristiwanya;

 

Bahwa apabila diperhatikan bagian peristiwa yang diuraikan dalam Surat Dakwaan tersebut, maka jelaslah peristiwa-peristiwa tersebut semuanya berpangkal tolak dari Nota Kesepakatan (Memorandum of Understanding) yang telah ditandatangani oleh dan di antara Terdakwa dan H. Morkes Effendi selaku Bupati Kabupaten Ketapang, yang maksudnya untuk mengadakan pembangunan atau peningkatan jalan dan Jembatan Teluk Parak-Sembelangaan dan Teluk Parak-Cali, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang; (Halaman 2 dan halaman 7 Surat Dakwaan)

 

Bahwa kemudian sebagai kelanjutan atau berkaitan dengan Nota Kesepakatan (Memorandum of Understanding) tersebut, berdasarkan telaahan dan/atau rekomendasi H. Hermawan,RD,S.H. selaku Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang, diterbitkanlah oleh H. Morkes Effendi selaku Bupati Ketapang pada tanggal 27 Agustus 2002 surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 tentang Pemberian Izin Pemanfaatan Kayu atas nama PT GLORA INDONESIA di Kecamatan Nagan Tayap, Kabupaten Ketapang, yang isinya mengizinkan terdakwa TONY WONG selaku Direktur PT GLORA INDONESIA memanfaatkan kayu sebagai berikut … dan seterusnya. (Halaman 2 dan halaman 7 Surat Dakwaan)

Bahwa oleh karena hubungan hukum di antara Terdakwa dan H. Morkes Effendi selaku Bupati Kabupaten Ketapang telah diatur dalam suatu kesepakatan seperti yang dituangkan dalam Nota Kesepakatan (Memorandum of Understanding) yang kemudian ditindaklanjuti dengan surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 tentang Pemberian Izin Pemanfaatan Kayu atas nama PT GLORA INDONESIA di Kecamatan Nagan Tayap, Kabupaten Ketapang, maka apabila salah satu pihak ternyata telah melakukan pelanggaran dalam menjalankan kesepakatan itu, selayaknya kita menilik apakah sanksi-sanksi atas pelanggaran itu masuk dalam domein hukum privat, hukum administratif atau domein hukum pidana, tidak semua tindak pelanggaran harus digiring ke dalam domein hukum pidana;

 

Bahwa untuk menjawab pertanyaan apakah hubungan hukum di antara Terdakwa dan H. Morkes Effendi selaku Bupati Kabupaten Ketapang yang diwujudkan dalam suatu kesepakatan seperti yang dituangkan dalam Nota Kesepakatan (Memorandum of Understanding) yang kemudian ditindaklanjuti dengan surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 tentang Pemberian Izin Pemanfaatan Kayu atas nama PT GLORA INDONESIA di Kecamatan Nagan Tayap, Kabupaten Ketapang, termasuk dalam domein hukum privat, hukum administratif atau domein hukum pidana;

 

Bahwa apabila ditilik dari bentuk hubungan hukum yang terwujud dalam bentuk kerja sama (vorm van samenwerking) dan dilihat dari isi atau tujuan kesepakatan dibuat adalah untuk mengadakan pembangunan atau peningkatan jalan dan Jembatan Teluk Parak-Sembelangaan dan Teluk Parak-Cali, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang serta mengizinkan Terdakwa memanfaatkan kayu … dan seterusnya, dan yang terakhir dan tidak kalah pentingnya, dalam diktum keempat dari surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 yang disembunyikan oleh Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya dengan tegas-tegas dinyatakan:

 

Wajib mematuhi segala peraturan yang berlaku di bidang kehutanan khususnya di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan. Apabila tidak memenuhi dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, izin dicabut.

 

 

maka jelaslah hubungan hukum di antara Terdakwa dan H. Morkes Effendi selaku Bupati Kabupaten Ketapang sebagaimana tertuang dalam Nota Kesepakatan (Memorandum of Understanding) dan surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 itu sepenuhnya masuk dalam domein privat, yaitu dikuasai oleh hukum perikatan, oleh karena H. Morkes Effendi selaku Bupati Kabupaten Ketapang ketika menyatakan persetujuannya kepada Terdakwa untuk mengadakan pembangunan atau peningkatan jalan dan Jembatan atau memanfaatkan kayu … dan seterusnya implementasinya dilakukan atas dasar perjanjian atau kerja sama dengan pihak lain;

 

Bahwa dalam proses pembentukan kesepakatan itu, H. Morkes Effendi selaku Bupati Kabupaten Ketapang tidak dapat memaksakan kehendaknya untuk mencapai kesepakatan, hal ini tidak lain disebabkan H. Morkes Effendi selaku Bupati Kabupaten Ketapang tunduk pada syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu adanya kesepakatan, kecakapan, mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal;

 

Bahwa peranan negara yang dalam hal pembentukan Nota Kesepakatan (Memorandum of Understanding) itu dipresentasikan oleh H. Morkes Effendi selaku Bupati Kabupaten Ketapang, sangat relevan memposisikan dirinya sebagai badan hukum privat, yang sama kedudukan hukumnya dengan Terdakwa sebagai mitra kerjasama;

 

Bahwa apabila dianggap telah terjadi pelanggaran dalam menjalankan atau sehubungan dengan kesepakatan tersebut oleh Terdakwa, Penuntut Umum tidak boleh begitu saja menggiring persoalan tersebut ke dalam domein hukum pidana oleh karena peranan pemerintah harus berbeda dan dibedakan statusnya sebagai badan hukum perdata dalam suatu hubungan keperdataan yang diwujudkan dalam suatu kerjasama dengan statusnya sebagai badan hukum publik yang mempunyai kewenangan memaksakan kehendaknya dalam suatu hubungan hukum, karena adanya perbedaan ciri hukum kedua status badan hukum tersebut;

 

Bahwa tanpa perbedaan peran seperti itu, sistem hukum yang kondusif dan yang memberikan dukungan paling besar bagi tercapainya tingkat pareto optimum bagi perkembangan ekonomi tidak akan mudah dicapai, para investor akan menjadi alergi bersentuhan dengan pemerintah dalam mengadakan suatu kerjasama padahal tanpa adanya kerjasama dengan lain pemerintah tidak mungkin mewujudkan berbagai program pemerintah dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang didambakan rakyat, bangsa dan negara;

 

Bahwa andaikata benar Terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, quod non, tanpa memasukkan persoalan a quo ke dalam domein hukum pidana, bukan berarti pemerintah harus dirugikan oleh perbuatan Terdakwa tersebut, oleh karena di dalam diktum keempat surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 yang entah sengaja atau tidak disembunyikan oleh Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya dengan tegas-tegas telah dinyatakan bahwa apabila Terdakwa tidak memenuhi dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka sanksi atas pelanggaran itu hanyalah pencabutan izin sebagaimana tertuang dalam surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 selain mengajukan tuntutan wanprestasi terhadap Terdakwa melalui pengadilan perdata, bukan dengan menggiring Terdakwa ke dalam domein hukum pidana dengan menghapuskan klausula mengenai sanksi seperti disebutkan di atas atau menambahkan dalam Surat Dakwaan klausula lain yang sama sekali tidak disebutkan dalam surat Keputusan Bupati Ketapang No. 20 Tahun 2002 tersebut dengan kata-kata:

 

Bahwa wajib mematuhi segala peraturan yang berlaku di bidang Kehutanan khususnya di bidang pengelolaan dan pemamfaatan hasil hutan termasuk wajib membayar Provisi Sumber Saya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).

 

seolah-olah klausula itu asli merupakan klausula yang diatur dalam surat Keputusan Bupati Ketapang tersebut;

 

Bahwa oleh karena peristiwa-peristiwa seperti diuraikan di atas jelas masuk dalam domein hukum privat, dan tidak termasuk dalam domein hukum pidana, maka jelaslah penuntutan yang terjadi dalam perkara ini adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 140 Ayat (2) Huruf a KUHAP yang mengharuskan Penuntut Umum menghentikan penuntutan dengan alasan “peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana”;

 

 

F. Dakwaan Penuntut Umum melanggar asas “nullum delictum, nulla puna sine praevia lege punali” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

 

Bahwa ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah menentukan:

 

Tiada suatu perbuatan boleh dipidana, kecuali atas kekatan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.

 

Bahwa maksud ketentuan ini adalah bahwa tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu (“nullum delictum, nulla puna sine praevia lege punali”);

 

Bahwa dari lebih lanjut maksud ketentuan ini adalah bahwa sanksi pidana (straf-sanctie) hanya dapat ditentukan dengan undang-undang, dan ketentuan sanksi pidana ini tidak berlaku surut (geen terugwerkende kracht);

 

Bahwa apakah dakwaan yang diajukan Penuntut Umum dalam perkara ini mendakwakan ketentuan undang-undang yang bekum berlaku pada saat perbuatan yang didakwakan terjadi, dan pertanyaan ini dapat dijawab dengan melihat pada Surat Dakwaan Penuntut Umum;

 

Bahwa Penuntut Umum pada halaman 3 dan halaman 8 Surat Dakwaannya mengemukakan sebagai berikut:

 

Bahwa wajib mematuhi segala peraturan yang berlaku di bidang Kehutanan khususnya di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan termasuk wajib membayar Provisi Sumber Saya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).

 

Bahwa selanjutnya Penuntut Umum pada halaman 5 dan halaman 8 Surat Dakwaannya mengemukakan bahwa Terdakwa telah berkali-kali diperingatkan dengan surat tetapi terdakwa tidak mengindahkan peringatan tersebut atau setidaknya Terdakwa bertindak bertentangan dengan:

 

- ketentuan Pasal 35 Ayat (1) Undang-undang No. Tahun No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

- ketentuan Pasal 2 Angka (4) Huruf b dan Pasal 13 Ayat (1) Keputusan Menteri Kehutanan No. 124/ KPTS-II/ 2003 tanggal 4 April 2003 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan Pemungutan Pembayaran dan Penyetoran Provisi Sumber Daya Hutan;

- ketentuan Pasal 2 Angka (3) Huruf b dan Pasal 12 Ayat (1) Keputusan Menteri Kehutanan No. 128/ KPTS-II/ 2003 tanggal 4 April 2003 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan Pemungutan Pembayaran dan Penyetoran Dana Reboisasi;

 

Bahwa selanjutnya dalam Surat Dakwaanya Penuntut Umum menyatakan:

 

… yang seharusnya merupakan kewajiban Terdakwa … yaitu wajib mematuhi segala peraturan yang berlaku di bidang Kehutanan khususnya di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan, namun hal tersebut tidak dilakukan oleh Terdakwa, dan perbuatan Terdakwa tersebut adalah perbuatan melawan hukum.

 

Bahwa mudah dapat dipahami bahwa dengan melihat rumusan Dakwaan Penuntut Umum seperti di atas, perbuatan yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam perkara ini, termasuk perbuatan yang terjadi sebelum berlakunya surat-surat Keputusan Menteri Kehutanan tersebut pada tanggal 4 April 2003 telah diterapkan oleh Penuntut Umum dengan surat-surat Keputusan Menteri Kehutanan yang diterbitkan pada tanggal 4 April 2003 tersebut di atas, padahal pada waktu terjadinya perbuatan-perbuatan itu surat-surat Keputusan Menteri Kehutanan tersebut belum dilahirkan;

 

Bahwa oleh karena jelas Penuntut Umum dalam dakwaannya telah menerapkan surat-surat Keputusan Menteri Kehutanan yang diterbitkan pada tanggal 4 April 2003 tersebut di atas terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum berlakunya surat-surat Keputusan Menteri Kehutanan tersebut, maka jelaslah penuntutan atau dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dalam perkara ini telah bertentangan dengan asas “nullum delictum, nulla puna sine praevia lege punali” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

 

 

2. keberatan mengenai surat dakwaan harus dibatalkan

 

 

Bahwa seperti telah dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan keberatan mengenai surat dakwaan harus dibatalkan adalah keberatan yang diajukan karena surat dakwaan telah dibuat dengan tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b KUHAP yang berbunyi:

 

Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: … b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

 

Bahwa dalam buku Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan (Penerbit Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1885, halaman 14 - halaman 16) yang disebut:

 

a. Cermat, adalah ketelitian penuntut umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan kepada Undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat dibuktikan;

b. Jelas, adalah kemampuan merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan;

c. Lengkap, adalah uraian yang mencakup semua unsur yang ditentukan Undang-undang secara lengkap.

 

Bahwa apakah Surat Dakwaan Penuntut Umum sudah memenuhi ketentuan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b KUHAP, pertanyaan ini akan dijawab dengan mengikuti Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia tersebut di atas;

 

 

A. Kecermatan Surat Dakwaan

 

 

Bahwa yang dimaksud dengan cermat adalah ketelitian penuntut umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan kepada Undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat dibuktikan;

 

Bahwa dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk kriteria “kecermatan” dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu:

 

1. apakah surat dakwaan itu sudah didasarkan kepada Undang-undang yang berlaku bagi terdakwa,

2. apakah dalam surat dakwaan tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat dibuktikan;

 

Bahwa pertanyaan apakah surat dakwaan itu sudah didasarkan kepada Undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, dapat dijawab berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan dalam bagian lain dari keberatan ini, yaitu pada bagian keberatan yang berjudul penuntutan atau dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dalam perkara ini telah bertentangan dengan asas “nullum delictum, nulla puna sine praevia lege punali” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

 

Bahwa seperti telah dikemukakan di atas bahwa Penuntut Umum dalam dakwaannya telah menerapkan surat-surat Keputusan Menteri Kehutanan yang diterbitkan pada tanggal 4 April 2003 tersebut di atas terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum berlakunya surat-surat Keputusan Menteri Kehutanan tersebut, maka jelaslah penuntutan atau dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dalam perkara ini selain bertentangan dengan asas “nullum delictum, nulla puna sine praevia lege punali” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, juga telah tidak memenuhi kriteria “cermat” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b KUHAP;

 

Bahwa pertanyaan apakah dalam surat dakwaan tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat dibuktikan;

 

Bahwa sehubungan dengan pertanyaan ini, maka pada halaman-halaman 3, 4 dan 8 Surat Dakwaan sudah memperlihatkan kekeliruan yang sangat fatal, yaitu tertulis H. Hermawan,RD,SH selaku Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang menerbitkan Surat Perintah Penyetoran (SPP) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) dan seterusnya;

 

Bahwa padahal jelas H. Hermawan,RD,SH selaku Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang tidak pernah dan tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah Penyetoran (SPP) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) sesuai dengan surat No. 973/01/PSDH-DR/II/DKH tanggal 24 Februari 2003 yang terlampir pada Berkas Perkara yang dibuat oleh penyidik;

 

Bahwa oleh karena ternyata Surat Dakwaan Penuntut Umum itu tidak didasarkan kepada Undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, dan juga dalam surat dakwaan terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat dibuktikan, maka jelaslah Surat Dakawan itu telah dibuat dengan tidak mengindahkan syarat kecermatan untuk suatu surat dakwaan;

 

B. Kejelasan Surat Dakwaan

 

Bahwa syarat kejelasan suatu surat dakwaan adalah bahwa surat dakwaan itu harus merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan;

 

Bahwa untuk menjawab pertanyaan apakah surat dakwaan itu telah merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan, maka harus dikemukakan terlebih dahulu unsur-unsur delik yang didakwakan;

 

Bahwa oleh karena dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum yang terdapat dua Dakwaan yang didakwalam secara altermatif, maka unsur-unsur delik kedua dakwaan itu akan diuraikan sebagai berikut;

 

1. Dakwaan Pertama

 

Bahwa oleh karena Dakwaan Pertama adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, untuk selanjutnya disebut juga “UUPTPK”, maka unsur-unsur delik untuk Dakwaan Pertama ini akan dikemukakan di bawah ini;

 

Bahwa unsur-unsur delik untuk Dakwaan Pertama adalah sebagai berikut:

- setiap orang;

- yang secara melawan hukum;

- melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

- yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomiam negara;

 

Unsur delik “setiap orang”

 

Bahwa mengenai unsur “setiap orang” perlu dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 Angka 3 UUPTPK yang menyatakan “Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi”;

 

Bahwa sedangkan korporasi dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 Angka 1 UUPTPK yang menyatakan “Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”;

 

Bahwa apakah unsur delik “setiap orang” ini telah dirumuskan dalam Surat Dakwaan dan sudah memadukan dengan uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan;

 

Bahwa untuk menjawab pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu pertanyaan apakah Terdakwa yang dimaksud dalam surat dakwaan Penuntut Umum adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi;

 

Bahwa ternyata tidak mudah menjawab pertanyaan ini oleh karena pada bagian “Identitas Terdakwa” Surat Dakwaannya Penuntut Umum menyebut Terdakwa adalah orang perseorangan, yaitu yang bernama lengkap TONY WONG dan seterusnya;

 

Bahwa akan tetapi pada bagian “Dakwaan” baik Dakwaan Pertama maupun Dakwaan kedua Surat Dakwaannya Penuntut Umum menyebut Terdakwa dengan sebutan “terdakwa TONY WONG selaku Direktur PT. Glora Indonesia”;

 

Bahwa dengan penyebutan yang saling bertentangan dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum antara bagian “Identitas Terdakwa” dan bagian “Dakwaan” seperti dikemukakan di atas, maka menjadi tidak jelas apakah Terdakwa didakwa sebagai orang perorangan atau dalam kedudukannya selaku Direktur PT. Glora Indonesia yang oleh demikian itu bertindak untuk dan atas nama PT. Glora Indonesia;

 

Bahwa apabila Terdakwa didakwa dalam kedudukannya selaku Direktur PT. Glora Indonesia, maka berarti segala tindakannya itu dilakukan untuk dan atas nama PT. Glora Indonesia, bukan untuk dirinya sendiri;

 

Bahwa lebih lanjut apabila Terdakwa didakwa dalam kedudukannya selaku Direktur PT. Glora Indonesia, maka berarti unsur delik “setiap orang” dalam Surat Dakawan Penuntut Umum adalah korporasi, dan bukan orang perseorangan;

 

Bahwa pembedaan ini sangat penting dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum, oleh karena UUPTPK secara tegas membedakan konsekuensi hukum dengan melihat apakah terdakwanya adalah “orang perseorangan” atau “korporasi”;

 

Bahwa konsekuensi hukum seperti itu diatur antara lain dalam ketentuan Pasal 20 Ayat (1) sampai dengan Ayat (7) UUPTPK, namun cukuplah sebagai contoh hanya dikemukakan satu ayat dari ketentuan ini;

 

Bahwa ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUPTPK menegaskan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya;

 

Bahwa dari ketentuan ini jelas Surat Dakwaan yang tidak membedakan secara tegas antara kedua jenis subjek hukum tersebut akan menyebabkan ketidakpastian apakah ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUPTPK ini dapat atau tidak dapat dijalankan;

 

Bahwa apabila ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUPTPK ini dapat dijalankan, maka pemeriksaan dalam persidangan ini akan menentukan apakah penjatuhan pidana itu akan dilakukan terhadap:

1. korporasi; atau

2. pengurusnya; atau

3. korporasi dan pengurusnya;

 

Bahwa oleh karena dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak jelas apakah Terdakwa didakwa sebagai orang perorangan atau dalam kedudukannya selaku Direktur PT. Glora Indonesia yang oleh demikian itu bertindak untuk dan atas nama PT. Glora Indonesia, maka unsur “setiap orang” dalam Surat Dakwaan harus dipandang tidak terpenuhi;

 

Unsur delik “yang secara melawan hukum”

 

Bahwa mengenai unsur delik “yang secara melawan hukum” dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materil;

 

Bahwa khusus pengertian melawan hukum secara materil, oleh karena telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006, maka dalam perkara ini hanya akan ditinjau dari segi perbuatan melawan hukum secara formil;

 

Bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum secara formil adalah perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

 

Bahwa sesuai dengan pengertian di atas yang dihubungkan dengan uraian dalam Surat Dakwaan, maka unsur delik “yang secara melawan hukum” pun telah tidak terpenuhi atau setidak-tidaknya menjadi kabur, oleh karena pada halaman 3 Alinea 3 Surat Dakwaan tersebut tertulis dengan jelas bahwa Terdakwa telah melakukan penebangan kayu pada tanggal 31 Januari 2003 dan seterusnya;

 

Bahwa akan tetapi pada halaman yang sama Alinea 4 Surat Dakwaan tersebut tertulis dengan jelas bahwa setelah dilakukan pemeriksaan lapangan tanggal 24 Februari 2003 ternyata Terdakwa telah melakukan manipulasi laporan hasil penebangan;

 

Bahwa apabila membaca dengan cermat Surat Dakwaan tersebut, maka jelas sangat tidak masuk akal oleh karena tidak mungkin dilakukan pemeriksaan lapangan pada tanggal 24 Februari 2003 dan menyimpulkan Terdakwa telah melakukan manipulasi laporan hasil penebangan, apabila dikatakan bahwa penebangan kayu itu baru terjadi pada tanggal 31 Januari 2003, sama dengan tidak mungkinnya Terdakwa memenuhi Surat Perintah Penyetoran (SPP) atas Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang diterbitkan pada tanggal 24 Februari 2003 dengan SPP No. 973/01/PSDH-DR/II/DKH tanggal 24 Februari 2003 yang diuraikan pada Halaman 4 Baris 1 – Baris 3, oleh karena penebangan kayu itu baru terjadi pada tanggal 31 Januari 2003;

 

Bahwa oleh karena serba ketidakmungkinan seperti diuraikan di atas, maka tidak mungkin pula ada suatu pelanggaran terhadap suatu aturan undang-undang yang mewajibkan pembayaran PSDH atau DARI tersebut;

 

Bahwa selain itu dalam Surat Dakwaan jelas bahwa perbuatan penebangan kayu itu terjadi pada tanggal 31 Januari 2003, tetapi Penuntut Umum sudah menerapkan surat-surat Keputusan Menteri Kehutanan pada perbuatan yang terjadi sebelum lahirnya surat-surat Keputusan tersebut;

 

Bahwa surat-surat Keputusan Menteri Kehutanan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

 

a. Keputusan Menteri Kehutanan No. 124/ KPTS-II/ 2003 tanggal 4 April 2003 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan Pemungutan Pembayaran dan Penyetoran Provisi Sumber Daya Hutan;

b. Keputusan Menteri Kehutanan No. 128/ KPTS-II/ 2003 tanggal 4 April 2003 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan Pemungutan Pembayaran dan Penyetoran Dana Reboisasi;

 

Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, suatu undang-undang pidana tidak boleh yang diterapkan atas perbuatan yang terjadi sebelum lahirnya undang-undang itu;

 

Bahwa oleh karena ketika perbuatan itu terjadi kedua surat Keputusan Menteri Kehutanan yang merupakan implementasi Undang-undang tentang Kehutanan belum lahir, maka kedua surat Keputusan Menteri Kehutanan itu tidak boleh diterapkan pada perbuatan tersebut;

 

Bahwa karena kedua surat Keputusan Menteri Kehutanan itu tidak boleh diterapkan pada perbuatan tersebut, maka dengan sendirinya tidak terjadi pelanggaran terhadap kedua surat keputusan tersebut, yang berarti pula unsur melawan hukum telah tidak terpenuhi;

 

Bahwa di samping itu pada halaman 4 dan halaman 5 Surat Dakwaan dengan tegas telah dikemukakan bahwa Terdakwa telah melakukan penyetoran untuk PSDH dan DR setelah adanya peringatan-peringatan dari Dinas Kehutanan Kabupatem Ketapang;

 

Bahwa seandainya benar Terdakwa mempunyai kewajiban untuk melakukan penyetoran atas PSDH dan DR tersebut, quod non, dan sedandainya benar pula tidak dipenuhinya kewajiban itu merupakan tindak pidana, quod non, maka sesuai dengan konstante jurisprudentie dengan diterimanya penyetoran tersebut maka hubungan yang tadinya bersifat pidana kemudian telah berubah menjadi hubungan keperdataan atau dengan perkataan lain suatu perbuatan pidana telah kehilangan sifat kriminogeennya dengan telah diterimanya angsuran dalam jumlah berpa pun;

 

Unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”

 

Bahwa unsur ini pun tidak terpenuhi dalam Surat Dakwaan oleh karena dalam Surat Dakwaan selain tidak dijelaskan sama sekali mengenai berapa besar uang yang telah Terdakwa nikmati juga tidak dijelaskan sama sekali mengenai “korporasi/perusahaannya” mana yang telah dipercaya oleh perbuatan tersebut dan dalam jumlah berapa;

 

 

Unsur “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”

 

Bahwa oleh karena seperti diuraikan di atas kedudukan H. Morkes Effendi selaku Bupati Ketapang dalam mengadakan Nota Kesepakatan (Memorandum of Understanding) dengan Terdakwa adalah dalam kedudukannya sebagai badan hukum privat, maka jelas tidak mungkin keuangan negara atau perekonomian negara dapat dirugikan;

 

2. Dakwaan Kedua

 

Bahwa oleh karena Dakwaan Kedua adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Undang-undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Bukan Pajak, maka unsur-unsur delik untuk Dakwaan Pertama ini akan dikemukakan di bawah ini;

 

Bahwa unsur-unsur delik untuk Dakwaan Kedua adalah sebagai berikut:

 

- Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (2);

- Yang terbukti dengan sengaja;

- Tidak membayar, tidak menyetor dan atau tidak melaporkan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang;

- Sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara;

- Dipidana dengan pidana dan seterusnya;

 

Bahwa oleh karena dalam Surat Dakwaannya peristiwa yang dirumuskan baik untuk Dakwaan Pertama maupun Kedua tidak jauh berbeda, maka segala uraian mengenai “Kejelasan Surat Dakwaan” mutatis mutandis dianggap termasuk dalam bagian ini;

 

V. KESIMPULAN DAN PERMOHONAN

 

MAKA berdasarkan segala uraian dan fakta hukum seperti dikemukakan di atas, kami selaku Advokat Terdakwa berkesimpulan bahwa surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum jelas telah mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure) di samping tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

 

 

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum Yang Kami Hormati dan,

Hadirin Yang Terhormat.

 

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kami Penasihat Hukum Terdakwa akan menjelaskan dan menyampaikan alasan-alasan Keberatan atau Eksepsi atas Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yang terdiri dari:

 

PERTAMA :

 

1. Bahwa didalam Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum menyatakan Terdakwa TONNY WONG alias TONY WIRYANTO alias TONNY alias NG TONG SUAN bin ALEX NG pada tanggal 24 Febuari 2003 sampai dengan 2007, bertempat di BNI Cabang Ketapang atau setidak-tidaknya disuatu tempat lain yang masih termasuk kedalam daerah hukum Pengadilan Negeri Ketapang, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

 

Bahwa Surat Dakwaan Tidak memenuhi syarat materil sebagaimana yang diatur dalam pasal 143 ayat (2) huruf b KUH.Acara Pidana;

 

Menurut pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, Surat Dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan.

Bahwa yang dimaksud dengan cermat adalah ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan pada Undang Undang yang belaku bagi Terdakwa, serta tidak terdapat kecurangan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau tidak dapat dibuktikan.

Sedangkan yang dimaksud dengan jelas adalah bahwa Jaksa Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsur-unsur dari delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian materil (fakta) yang dilakukan oleh Terdakwa dalam Surat Dakwaan.

Adapun yang dimaksud dengan lengkap adalah uraian Surat Dakwaan harus mencakup semua unsur yang ditentukan dalam Undang-undang secara lengkap.

Bahwa Surat Dakwaan tidak memenuhi syarat materil, karena tidak cermat, jelas dan lengkap menguraikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan, berarti Surat Dakwaan itu obscur libel (kabur) atau rumusannya mengandung uraian perbuatan yang bertentangan antara pasal satu dengan pasal yang lain.

 

Memperhatikan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara aquo ini, maka kami berkesimpulan bahwa Surat Dakwaan tersebut tidak memenuhi syarat materil sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Hal ini dapat kami jelaskan sebagai berikut:

 

Bahwa Surat Dakwaan disusun secara tidak cermat karena Surat Dakwaan tersebut melanggar azas legalitas.

 

Bahwa Surat Dakwaan perkara pidana Nomor: 201/Pid.B/2007/PN.Ketapang, tanggal 14 Nopember 2007, tersebut disusun secara tidak cermat dan unsur-unsurnya serta keterkaitannya antara dakwaan pertama dengan dakwaan kedua sehingga Surat Dakwaan tersebut telah melanggar azas legalitas karena perbuatan yang didakwakan belum merupakan perbuatan pidana sepanjang belum ada aturan pelaksanaannya.

 

Hal ini terbukti bahwa Surat Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum telah disusun secara alternatif.

 

Bahwa dalam Dakwaan Alternatif Pertama diuraikan perbuatan Terdakwa melanggar pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001.

 

Bahwa Dalam Surat Dakwaan Alternatif Pertama dan Kedua, Jaksa Penuntut Umum mengatakan bahwa Terdakwa selaku Direktur PT.Glora Indonesia, pada tanggal 20 Juli 2002 mengadakan nota kesepahaman dengan Bupati Kabupaten Ketapang dengan surat No.620/444/Kimpraswil-C dan No.620/445/Kimpraswil-C, tanggal 20 Juli 2002 untuk mengadakan pembangunan atau peningkatan jalan jembatan. Teruk Parak-Cali Kab.Ketapang dan karena sepanjang jalan Teluk Parak Sembelengan dan Teluk Parak-Cali, Kecamatan Tayap, Kabupaten Ketapang terdapat kayu;

 

Maka Terdakwa Tonny Wong selaku Direktur PT.Glora Indonesia, pada tanggal 2 Agustus 2001 dengan surat No.27/GI/VIII/2002, mengajukan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) Kepada Bupati Kabupaten Ketapang, kemudian atas ijin Bupati Ketapang maka Pemda Kabupaten Ketapang mengeluarkan surat Keputusan Bupati Ketapang No.120 tahun 2002, tanggal 27 Agustus 2002 tentang Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang terdiri dan untuk jalan Teluk Parak sembelengan seluas 92.50.Ha, jumlah pohon 1.630 batang, Volume 4.336,19.M3 dan untuk jalan Teluk Parak-Cali. PT.Glora Indonesia, mendapat ijin khusus pemanfaatan kayu untuk seluas 500.Ha lahan, dapat dimanfaatkan kayu sebanyak 5.441 batang dengan volume 19.389,74.M3.

 

Bahwa Jaksa Penuntut Umum baik dalam dakwaan pertama maupun kedua, volume kayu yang telah dimanfaatkan oleh Terdakwa sehingga Terdakwa harus membayar kewajiban sebesar RP.165.405.775,- (seratus enam puluh lima juta empat ratus lima ribu tujuh ratus tujuh puluh lima rupiah) untuk SPP-PSDH dan SPP-DR sebesar US$55.198.09 (lima puluh lima ribu seratus sembilan puluh delapan koma nol sembilan dollar Amerika Serikat) kepada kas Pemerintah Kabupaten Ketapang sebagaimana laporan Tim Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang tertanggal 24 Febuari 2003.

 

Bahwa dimana menurut Jaksa Penuntut Umum bahwa hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh Tim Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang tertanggal 24 Fenbuari 2003 bahwa Terdakwa telah memanfaatkan kayu hasil hutan sejumlah 3.576,19 M3 sedangkan laporan yang dibuat oleh PT.Glora Indonesia, tertanggal 31 Januari 2002 kepada Bupati melalui Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang adalah sejumlah 2.018,54.M3 berarti selisih 1.557,65.M3.

 

Akan tetapi dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum tidak membuat secara terperinci bukti-bukti pemanfaatan kayu tersebut dan juga disisi lain Jaksa Penuntut Umum juga telah mengakui bahwa Terdakwa telah mendapat Ijin Pemanfaatan Kayu untuk Kabupaten Ketapang dengan lahan seluas 92,50.Ha Terdakwa berhak memanfaatkan kayu sebanyak 111.630 batang dan volume sebanyak 4.336,19.M3 dan untuk lahan 500.Ha Terdakwa berhak memanfaatkan kayu sebanyak 5.441 batang dengan volume 19.389,24 M3 dan juga Jaksa Penuntut Umum juga telah mengakui bahwa Terdakwa telah mencicil kekurangan SPP-PSDH dan SPP-RD yang dilaporkan oleh Tim Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang tersebut dengan rincian bahwa untuk SPP-PSDH Terdakwa telah membayar sebesar US$10.946,06 (sepuluh ribu sembilan ratus enampuluh empat koma nol enam dollar AS).

 

2. Bahwa Saudara Jaksa Penuntut Umum tidak menguraikan bagaimana proses terjadinya Tunggakan atau hutang PSDH/DR sebelum diberikan SKSHH. Syarat untuk mendapat SKSHH harus ada usulan LHP yang mengharuskan pembayaran PSDH/DR. Pada hal berdasarkan pasal 13 ayat (1) Kepmenhut No.124/Kpts-II/2003 tentang tata cara pengenaan pemungutan, pembayaran, dan penyetor PSDH yang menyatakan bahwa Pembayaran SPP PSDH yang terhutang berdasarkan usulan LHP sebagaimana pasal 7 ayat (1), demikian juga hal pasal 12 Kepmenhut No.128/Kpst-II/2003. Pembayaran SPP DR yang terhutang juga berdasarkan usulan LHP sebagaimana pasal 7 ayat (1).

 

Bahwa Saudara Jaksa Penuntut Umum tidak menyebutkan dalam dakwaan dengan bukti-bukti perhitungan kerugian dan saksi-saksi tentang terjadinya perbuatan Terdakwa, sehingga negara menderita kerugian keuangan negara sejumlah Rp.134.145.275,- (seratus tiga puluh empat juta seratus empat puluh kima ribu dua ratus tujuh puluh lima rupiah) dan US$ 40.252.03 (empat puluh dua ratus lima puluh dua koma nol tiga dollar AS).

 

Dan perhitungan kerugian keuangan Negara sebagaimana dakwaan Sdr.Jaksa Penuntut Umum adalah hanya berdasarkan perhitungan BPKB Perwakilan Propinsi Kalbar dan tidak melibatkan auditor independent (Akuntan Publik) sehingga apabila perkara aquo dilanjutkan maka pemeriksaan akan menjadi kabur dan sia-sia. Berdasarkan hal tersebut, dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum menjadi sangat tidak jelas dan tidak lengkap dan terkesan dipaksakan terhadap Terdakwa Tony Wong.

 

3. Bahwa Terdakwa Tony Wong selaku Direktur PT.Glora Indonesia, yang melakukan Mou dengan Pemda Kabupaten Kota adalah bukan Pegawai Negeri Sipil ataupun perusahaan yang dibawah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) melainkan Perusahaan Perseroan milik swasta dimana perusahaan Terdakwa yakni PT.Glora Indonesia, mengajukan permohonan untuk ikut serta menjadi perusahaan yang akan menangani pembangunan dan pengembangan, serta meningkatkan jalan dan jembatan Teluk Parak-Sembelengan dan Teluk Palak-Cali Kecamatan Tayap Kabupaten Ketapang dan karena sepanjang jalan yang akan dibangun tersebut terdapat kayu-kayu maka perusahaan Terdakwa (PT.Glora Indonesia) mengeluarkan ijin pemanfaatan kayu kepada Bupati Kabupaten Ketapang melalui Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang dan ternyata permohonan IPK perusahaan Terdakwa tersebut disetujui oleh Bupati Kabupaten Ketapang sehingga Terdakwa selaku Direktur PT.Glora Indonesia berhak untuk memanfaatkan kayu-kayu tersebut dan Terdakwa selaku Direktur PT.Glora Indonesia telah melaksanakan kewajibannya terhadap SPP-BSDH maupun SPP-RD atas pemanfaatan kayu hasil hutan tersebut.

Dan perlu diketahui dalam perkara aquo ini bahwa apa yang dimaksud azas legalitas ialah bahwa Terdakwa selaku Direktur PT.Glora Indonesia, ialah pemegang hak IPK untuk lahan seluas 592,50 Ha. Lahan dengan jumlah pohon 7.071 batang dan volume 23.725, 93 M3 bukanlah bagian dari perusahaan. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Terdakwa bukanlah Pegawai Negeri Sipil dan atau Pejabat Daerah atau bagian dari korporasi Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang sebagaimana yang dimaksud dalam unsur-unsur pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 UU No.31 tahun 1999, tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Bahwa berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap ialah bahwa Terdakwa dalam memanfaatkan karya hasil hutan sudah mendapat ijin dari pihak Bupati Kabupaten Ketapang melalui dinas kehutanan Kabupaten Ketapang tersebut, beda bulan dimana Terdakwa melaporkan hasil karya hutan yang telah dimanfaatkan adalah tanggal 31 Januari 2003 sedangkan laporan Tim Pengawas dari Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang adalah akhir Febuari 2003 berdasarkan pemeriksaan kayu hasil hutan yang ada dilapangan pada tanggal 24 Febuari 2003 dan hasil hutan sebenarnya bukanlah menjadi suatu masalah karena Terdakwa telah melaksanakan kewajibannya dengan cara mencicil terlebih lagi bahwa dalam pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi setelah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tidak menyebutkan secara rinci subjek hukumnya perbuatan yang merugikan keuangan negara karena pasal-pasal tersebut masih memerlukan peraturan pelaksanaannya yang masih akan diatur dalam Undang Undang tersendiri.

Bahwa karena pasal-pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa tersebut telah disusun secara tidak cermat sehingga sesuai dengan azas legalitas maka Terdakwa tidak dapat dipidanakan atau didakwa menurut tindak pidana gratifikasi sebelum ada peraturan perundang-undangan yang menetapkan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana, sepanjang belum ada peraturan tentang pengisian formulir. Untuk gratifikasi yang dibuat oleh komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jadi setiap penerimaan gratifikasi yang tidak dilaporkan sekaligus maka perbuatan tersebut belum dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana.

 

Bahwa berdasarkan yang kami sampaikan tersebut diatas jelaslah bahwa Surat Dakwaan Saudara Penuntut Umum tersebut tidak cermat, tidak jelas atau tidak lengkap (kabur), sehingga dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tersebut haruslah ditolak demi hukum karena Surat Dakwaan tersebut cacat hukum dan oleh karena Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 143 ayat (2) huruf b maka Surat Dakwaan tersebut batal demi hukum. Vide pasal 143 ayat (3) KUH.Acara Pidana.

 

4. Bahwa dalam dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum menyatakan dengan tegas bahwa Terdakwa adalah merupakan pihak yang telah diberikan ijin dari Bupati Ketpang sebagaimana Surat Keputusan Bupati Ketapang Nomor:20 tahun 2002 tentang 27 Agustus 2007 tentang Pemberian Ijin Pemanfaatan Kayu atas nama PT.Glora Indonesia di Kecamatan Negara Tayap Kabupaten Ketapang, sehingga tidak terdapat adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa sebagaimana dakwaan Saudara Jaksa penuntut Umum, mengingat bahwa tindakan melawan hukum (waterrechtelijk) adalah satu istilah yang ditujukan pada pihak yang tidak berhak atau tidak berwenang, bukan menjadi haknya dan sebagainya, sementara tindakan Terdakwa adalah berdasarkan ijin dari pihak yang berkompeten.

 

Bahwa dalam Dakwaa Jaksa Penuntut Umum tidak menguraikan secara lengkap dan jelas keadaan-keadaan yang melekat pada tindakan pidana (Circumstances) dan keadaan-keadaan yang melekat pada tingkat pidana terutama keadaan khusus (particular circumsances) yang didakwakan kepada Terdakwa TONY WONG alias TONY WIRYANTO alias TONY alias NG TONG SUAN bin ALEX NG;

 

Dengan demikian unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan tidak dijelaskan secara keseluruhan, terdapat kekaburan dalam Surat Dakwaan, bahkan hakikatnya Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tidak memuat secara jelas dan lengkap unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dan dengan sendirinya mengakibatkan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa bukan merupakan tindak pidana.

 

Bahwa Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum adalah tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap menguraikan mengenai tindak pidana yang didakwakan terhadap Terdakwa YONY WONG alias TONY WIRYANTO alias tony ALIAS NG TONG SUAN bin ALEX NG sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001. Pasal 143 ayat (2) huruf b KUH.Acara Pidana;

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum Yang Kami Hormati dan,

Hadirin Yang Terhormat.

 

KEDUA :

 

1. Bahwa berdasarkan pasal 143 ayat (2) sub b KUH.Acara pidana kami menilai bahwa Tindak Pidana yang didakwakan dalam dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap (obscuur libel) sehingga Surat Dakwaan tersebut “Cacat Hukum”. (Vide pasal 143 ayat (3) KUH.Acara Pidana);

 

Bahwa dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum mendakwakan Terdakwa dengan Dakwaan Alternatif yakni terdiri dari dua (2) dakwaan yang terdiri dari :

 

-. Dakwaan Pertama :

Terdakwan didakwa telah melakukan tindakan pidana korupsi. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuntungan negara atau perekonomian negara, dipidana dipenjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.20.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001.

 

-. Dakwaan Kedua:

Terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana ”dengan sengaja tidak membayar dan/atau menyetor PSDH sebesar Rp134.145.275,- (seratus tiga puluh empat juta seratus empat puluh lima ribu dua ratus tujuh puluh lima rupiah) dan DR sebesar US$40.252,03 (empat puluh ribu dua ratus lima puluh dua koma nol tiga dollar Amerika) yang merupakan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebagaimana yang diatur dan diancam dalam pasal 21 ayat (1) huruf a UU No.20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan pajak”.

 

Dengan mencermati dalil-dalil Jaksa Penuntut Umum jelaslah bahwa bahwa dalil-dalil tersebut sangat bertentangan dengan apa yang dimaksud sebagai suatu perbuatan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam unsur-unsur pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi senagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 dan pasal 21 ayat (1) huruf a UU No.20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

 

Bahwa berdasarkan ketentuan Yurisprudensi sebagaimana dapat dilihat dari Putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.531 K/Pid/1984, tertanggal 9 Mei 1985 Jo. No.1289 K/Pid/1984, tertanggal 26 Juni 1987 Jo. No. 618 K/ Pid/1984, tertanggal 17 April 1985 Jo. No.246 K/Pid/1988, tertanggal 30 Mei 1990 Jo. No.350.K/Pid/1990, tertanggal 30 September 1993, semua unsur yang didakwakan harus dirumuskan dengan jelas dan lengkap dalam Surat Dakwaan.

 

Adapun unsur-unsur dari dakwaan Altrernatif yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut ialah :

 

-1.Dakwaan Alternatif Pertama.

 

Terdakwa didakwa melanggar pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU. No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU. Nomor 20 tahun 2001 yang unsur-unsurnya terdiri dari :

 

a. Setiap Orang;---------------------------------------

b. Secara melawan Hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain suatu korporasi;-------

c. Yang dapat merugikan keuangan negara.---------------

 

-2.Dakwaan Alternatif Kedua.

 

Terdakwa didakwa melanggar pasal 21 ayat (1) huruf a UU No.20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan pajak yang unsur-unsurnya terdiri dari :

 

a. dengan sengaja ; -----------------------------------

b. tidak membayar, tidak menyetor dan atau tidak melaporkan jumlah penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang ;------------------------------------

 

Menurut Teori Hukum Acara Pidana, Surat Dakwaan disusun dalam bentuk Surat Dakwaan Alternatif apabila Jaksa Penuntut Umum masih ragu-ragu perbuatan mana yang dengan tepat didakwakan dan dibuktikan. Pada dasarnya fakta perbuatan yang didakwakan hanyalah satu tetapi terhadap fakta yang satu tersebut Jaksa Penuntut Umum masih ragu-ragu mengenai delick atau perbuatan pidananya.

 

Bahwa Surat Dakwaan yang disusun secara alternatif, tidak mungkin perbuatan antara Dakwaan Alternatif Pertama dengan Dakwaan Alternatif Kedua berbeda. Jika perbuatannya menunjukkan lebih dari satu perbuatan (Concursus Realis) yang dinyatakan dengan tempus, locus dan subyek yang berbeda maka dakwaan akan disusun dalam bentuk dakwaan komulatif, bukan dakwan alternatif.

 

Bahwa Surat Dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara aquo ini, telah menunjukkan kerancuan, ketidak-jelasan dan kabur karena Dakwaan Alternatif pertama menguraikan subjek hukum, tempus delicti maupun fakta perbuatannya yang berbeda dengan dakwaan alternatif kedua yaitu sebagai berikut :

 

- Dalam dakwaan alternatif pertama (halaman 1 ) disebutkan tempus delictinya yaitu ”setidak-tidaknya pada tahun 2003 sampai dengan 2007 bertempat di kantor PT.Gelora Indonesia, di Kecamatan Nangya Tayap Kabupaten Ketapang” sedangkan dalam dakwaan alternatif kedua (halaman 4) disebutkan tempus delictinya yaitu ”diantara bulan Februari 2003 sampai dengan bulan Januari 2007”

 

2 Bahwa berdasarkan yang kami telah sampaikan tersebut diatas jelaslah Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tersebut tidak cermat, tidak jelas atau tidak lengkap (kabur), sehingga dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tersebut haruslah ditolak demi hukum karena Surat Dakwaan tersebut cacat hukum dan oleh karena Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 143 ayat (2) huruf b maka Surat Dakwaan tersebut batal demi hukum. Vide pasal 143 ayat (3) KUH.Acara Pidana.

 

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum Yang Kami Hormati dan,

Hadirin Yang Terhormat.

 

Oleh karena itu Kami Penasihat Hukum Terdakwa berpendapat bahwa tindak pidana Terdakwa seperti yang didakwakan Saudara Jaksa Penuntut Umum adalah tidak cermat, tidak jelas atau tidak lengkap dan kabur sehingga konsekwensinya Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tersebut batal demi hukum sesuai dengan pasal 143 ayat (3) KUH.Acara Pidana;

 

 

Akhirnya berdasarkan seluruh uraian tersebut diatas, kiranya sudah cukup alasan bagi kami Advokat/Penasihat Hukum Terdakwa memohon kepada Majelis Hakim agar kiranya berkenan memutuskan:

 

 

1. Menerima Eksepsi/keberatan kami tersebut ;

 

2. Menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum No.Reg, Perk.: 01/KETAPANG/PIDSUS/09/2007 tertanggal 14 Nopember 2007 tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ;

 

3. Menyatakan membebaskan dan melepaskan Terdakwa dari segala Dakwaan Hukum ;

 

4. Memerintahkan terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan.

 

Atau:Bilamana Majelis Hakim berpendapat lain, maka kami mohon agar diberikan putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono), demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum yang berlaku dan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

 

Demikianlah Eksepsi/keberatan Advokat/Penasihat Hukum Terdakwa ini kami sampaikan, atas perhatian Majelis Hakim, kami mengucapkan terima kasih.

Ketapang, 18 Desember 2007

Hormat Kami

Penasihat Hukum Terdakwa,

 

 

 

 

(J a m h u r i, SH) (W.Suwito, SH., MH.)

 

LihatTutupKomentar