Undang-Undang Yayasan dan Permasalahannya
![]() | |
Ilustrasi |
Oleh : W. Suwito, SH, MH
Indonesia adalah negara yang kompleks. Bukan cuma berkenaan
dengan masalah sosial, politik dan kebudayaan, tapi persoalan hukum juga tak
kalah peliknya. Meski diberi label rakyat, bahkan Ketuhanan, tetapi faktanya
yang melahirkan UU di Indonesia adalah mesin politik.
Karena itu di negeri yang berpenduduknya kini lebih dari 200
juta ini sering terjadi perdebatan bahkan demonstrasi menentang aturan
pemerintah yang justru menohok rasa keadilan rakyatnya.
K Wantjik SH, dalam bukunya tentang Perkembangan
Perundang-undangan (1966-1973) menulis pengertian materill undang-undang adalah
peraturan tertulis yang dibuat penguasa baik pusat maupun daerah. Sedangkan
dalam arti formil adalah peraturan tertulis yang dibentuk pemerintah bersama
DPR.
Ironisnya, tak jarang peraturan dilahirkan bukan karena
masyarakat memang memerlukan, melainkan untuk komoditas politik atau kelompok
tertentu saja. Kekuasaan Negara dikedepankan, walau sangat kentara sekali. Lain
luka, lain yang diobati! Yang tak perlu pun dikeroyok ramai-ramai dengan
aturan, sementara yang mendesak diperhatikan malah tak diurus. Tak heran
apabila ada pakar hukum yang mengatakan Indonesia telah overreloaded hukum.
Kaum pesimistis mengatakan, undang-undang dan sejumlah
peraturan di sebuah proyek bernama Indonesia ini sejak awal dilahirkan,
sebagian besar justru hasil petualangan. Undang-Undang Dasar Negara saja,
beberapa kali berubah! Apalagi Undang-undang dan peraturan yang berada di
bawahnya. Tak terkecuali UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang dinilai
beberapa kalangan justru kebablasan.
Banyak yayasan sejenis perkumpulan marga dan kematian,
khususnya di kalbar yang terpaksa banting stir jika tak mau klenger digilas UU
itu. Padahal beberapa yayasan bahkan lahir sebelum republik ini ada. Jejaknya
dapat ditelusuri di catatan belakang Hari Poerwanto dalam bukunya yang berjudul
Orang Cina Khek dari Singkawang. Beberapa yayasan seperti itu banyak terdapat
di Kalbar.
Muncul pertanyaan apakah penerapan UU No 16 Tahun 2001
menjangkau yayasan-yayasan tersebut? Ada dua pemahaman tentang yayasan: pertama
adalah Yayasan dalam pengertian foundation, seperti Yayasan Supersemar milik
mantan Presiden Suharto, ada juga Yayasan Sosial seperti yayasan pendidikan,
yayasan marga atau kematian, Pemadam Kebakaran, dan lain-lain di Kalbar.
Jika UU Nomor 16 Tahun 2001 diberlakukan terhadap jenis
yayasan tersebut, maka akan sangat berlebihan dan memberi peluang pada
pemerintah untuk mengintervensi yayasan.
Kompas pernah menulis bahwa UU No 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan justru menambah ruang konflik antara PTS dengan yayasan, karena
menggeneralisasi semua jenis yayasan dari sudut pandang komersial. Bahkan
Pengacara dan Konsultasi Hukum, RGS & Mitra, jakarta dalam sebuah cacatan
kakinya pernah mencatat kalau hasil survey yang dilakukan oleh LK2HE dan
Pengadilan Suka Bumi disimpulkan kalau ketentuan UU yayasan banyak yang tidak
membumi dan sulit untuk diterapkan.
Negara, Yayasan dan Rasa Keadilan
Pemikiran di atas membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa
UU Yayasan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Pemberlakuannya
terkesan dipaksakan. Kalau demikian para pengurus yayasan di Indonesia
dihadapkan kepada 2 pilihan. Mengubah yayasan atau merubah Undang-undang? Jika
mengubah undang-undang tentu saja dengan mengajukannya ke Makamah Konstitusi
atau yang disebut Yudisial Review.
Jika merubah Yayasan, misalnya menjadi sebuah Perkumpulan
dapat saja dilakukan, tetapi tetap saja memiliki resiko. Sebab kabarnya UU
tentang perkukumpulan juga sedang digodok.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia ada dua pengertian
yayasan. Yaitu sebagai foundation dan sebagai perkumpulan. Seharusnya UU
Yayasan memperjelas pasal-pasalnya supaya terdapat kepastian mapun keadilan
hukum, bukannya memukul rata pengertian tetang yayasan.
Misalnya banyak sekali yayasan pendidikan didirikan justru
menggunakan dana pribadi. Di Pontianak, Yayasan Tionghoa jelas ada pemiliknya
yaitu Marga yang berdasarkan lineage atau garis keturunan.
Mestinya dalam pembentukan Undang-Undang, para pembuat
Undang-Undang mengundang dan meminta pertimbangan pengurus - pengurus yayasan,
ahli - ahli bahasa seperti yang membuat kamus bahasa Indonesia.
Dalam Undang-Undang Yayasan, dikatakan dalam yayasan tak
boleh memiliki anggota. Jika demikian, apakah yayasan Tionghoa termasuk yang
tidak diatur oleh Undang-Undang yayasan? Satu lagi cara bagi pemilik/pengurus
yayasan untuk menyikapi persoalan ini adalah dengan melakukan penyesuaian.
Artinya dengan cara merubah AD/ART dan menghapuskan keanggotaan. Ini juga
menjadi masalah, karena seperti yang dikatakan sebelumnya, umur yayasan sudah
puluhan tahun. Sementara UU tentang yayasan baru saja dilahirkan pada 2001 dan
direvisi pada tahun 2004.
Rasa keadilan yang tidak diurus dengan baik oleh Negara,
menurut Toto Suparto bakal menciptakan spiral kekerasan. Untuk itu Negara
(baca: penguasa) jangan egois. Karena hakikatnya kepentingan rakyat adalah
merasakan keadilan, maka Negara wajib memberikan keadilan itu pada rakyatnya.
Bukan sebaliknya, melahirkan legitimasi yang justru melukai rasa keadilan itu
sendiri.**
*) Penulis adalah Ketua DPD Serikat Pengacara Indonesia
Kalbar.