Dr. W Suwito SH, MH: Peraturan Hukum Khusus Industri Pers
Bagian 21 dari Disertasi berjudul: Politik Hukum Pengelolaan Industri Pers Berbasis Keadilan Sosial, Studi Kasus Persaingan Pers Lokal dan Nasional di Pontianak
Ditinjau dari perspektif politik
hukum, sebenarnya sudah tersedia politik hukum instrumental tentang pengelolaan
industri pers berupa UU Pers, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar
Perusahaan dan Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Persaingan
Usaha Tidak Sehat ( UU Anti Monopoli dan Oligopoli). Namun pada kenyataannya
semua peraturan perundang-undangan tersebut belum dapat menyentuh tata kelola
industri pers sehingga berimplikasi pada terpinggirkannya pers lokal dari
kancah persaingan usaha.
Berdasarkan obeservasi dan studi
kepustakaan yang dilakukan peneliti mengenai pengaturan hukum tentang
pengelollan industri pers, hal ini ternyata disebabkan karena peraturan
perundang-undangan yang ada saat ini ternyata belum menyentuh secara
komprehensif aspek khusus dari industri pers. Industri pers adalah bisnis yang
unik. Di satu sisi penerbitan pers memiliki fungsi ekonomi sebagai perusahaan
yang mencari keuntungan. Di sisi lain pers juga memiliki fungsi sosial sebagai
institusi yang memproduksi karya jurnalistik yang merupakan produk budaya. Dengan
demikian, industri pers merupakan industri budaya yang memiliki karakter yang
berbeda dengan industri lain misalnya industri manufaktur.
Menurut Theodor Adorno, dalam konsep industri kebudayaan produk-produk kebudayaan seperti kesenian
dan berita tidak lagi sekedar medium
ekspresi manusia namun sudah menjadi komoditas.. Pada dekade 40 sampai 50-an, berita telah mengalami
komodifikasi menjadi komoditas yang bisa dipertukarkan untuk memperoleh
keuntungan. Perubahan penerbitan pers konvensional menjadi industri pers telah
mengubah berita yang sebelumnya tergolong sebagai produk budaya tinggi (high
culture) menjadi produk budaya rendah (low culture). Dalam konteks pers, perubahan penerbitan pers
menjadi industri pers dapat diamati dengan membandingkan konten berita Kompas
pada era -an dengan konten berita Kompas di era 90-an ketika Kompas mengubah
sosoknya menjadi konglomerat industri pers, sebagaimana yang disampaikan oleh
Elias Tana Moning yang menyatakan sebagai berikut:
"Konten berita kompas pada dekade
-an sampai akhir 80-an menunjukkan ciri sebagai produk budaya tinggi. Konten
beritanya mengandung bobot akademis serta akurat, dan bahasa yang diganakan
adalah bahasa profesional sehingga agak susah dipahami oleh kalangan awam. Hal
itu jelas terlihat bila dibandingkan dengan konten berita dan bahsa yang
dipergunakan oleh Jawa Pos. Namun pada era 90-an, konten berita Kompas berubah
menjadi produk budaya yang lebih rendah daripada sebelumnya meskipun kualitas,
keakuratan, dan otentisitasnya masih dapat dipertahankan"
Di era kapitalisme global,
preferensi individu atau konsumen ditentukan oleh "selera pasar" yang
dibentuk oleh aktor industri pers terutama pemilik perusahaan pers dalam rangka
memupuk keuntungan yang sebesar-besarnya melalui produksi massal. Industri
budaya melahirkan produk-produk yang dirancang untuk dikonsumsi massa secara
luas, di mana corak konsumsinya juga dirancang sesuai dengan rencana tersebut.
Konsumen dalam industri budaya bukanlah faktor primer, melainkan faktor
sekunder yang merupakan bagian dari masyarakat konsumen.
Berdasarkan pemikiran tersebut,
dapat dipahami mengapa berita tidak berimbang, tidak akurat, mengekspolitasi
kekerasan dan seks masih sering dijumpai terutama pada surat kabar lokal yang
bertiras kecil. Pengaduan sengketa ke Dewan Pers terus meningkat tiap
tahun meskipun sudah ada UU Pers yang
memberikan kemerdekaan pers seluas-luasnya kepada komunitas pers. Hal itu
ternyata tidak ada hubungannya dengan etika jurnalistik maupun aturan hukum
yang ada.
Peraturan perundang-undangan yang
ada yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Tidak Sehat dan khususnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang
Pers ternyata menggunakan cara pandang hukum yang tidak komprehensif terhadap
industri pers. Industri pers tidak dipandang dengan pendekatan budaya melainkan
dipandang dengan pendekatan teknis produksi seperti industri manufaktur.
Padahal industri pers memiliki dua
aspek yang berkaitan erat satu sama lain. Aspek pertama adalah
"aktor/pelaku" atau "agen"
(individu atau institusi) yang menjalankan industri pers, sedangkan
aspek kedua adalah "struktur" . "Agen" adalah manusia yang
berperan sebagai aktor/pelaku yang menjalankan fungsi-fungsi industri pers.
Sementara "struktur" adalah konsep perumusan asas-asas hubungan antar
individu dalam kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi perilaku
individu. Struktur sosial industri pers adalah seperangkat aturan-aturan
dan sumber daya yang dipergunakan oleh
"agen atau pelaku" dalam praktik pengelolaan industri pers secara
berulang dalam jangka lama. Struktur inilah yang mendasari tindakan
"agen/pelaku" industri pers dalam menjalankan usahanya.
Pengaturan hukum terhadap industri
pers tanpa memandang dua aspeknya yang unik yaitu (i) pers sebagai industri;
dan (ii) perilaku agen atau pelaku industri pers, akan menyebabkan timbulnya
celah-celah hukum yang bisa disiasati oleh pelaku industri pers seperti yang
terjadi pada saat ini, di mana grup Jawa Pos menyiasati UU Anti monopoli dengan
cara mendirikan empat perusahaan pers baru di Pontianak dengan nama yang
berbeda. Hal ini menyebabkan praktik konspirasi antara industri dengan
pemerintah daerah untuk membuat kontrak iklan tahunan menjadi tidak dapat
disentuh oleh aturan hukum yang ada. Singkatnya, peraturan perundang-undangan
yang ada saat ini belum mengantisipasi praktik-praktik persaingan yang tidak
sehat sebagaimana yang dijelaskan tersebut.
Masyarakat perlu dilindungi dari (1)
praktik pengelolaan industri pers yang tidak sehat; (2) produk industri pers
yang bernilai budaya rendah seperti berita yang tidak berdasarkan fakta, tidak
berimbang, menghakimi dan melanggar norma agama dan kesusilaan serta berita
yang mengeksploitasi kekerasan dan seks. Pembuatan hukum yang menngatur
pengelolaan industri pers perlu mempertimbangkan dua aspek unik industri pers
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, agar pembuat peraturan
perundang-undangan mengetahui tentang: (1) terhadap apa masyarakat akan
dilindungi?; (2) bagaimana cara melindunginya?
Di Indonesia ternyata belum ada
regulasi yang bersifat baku atau standar yang dapat dijadikan pedoman untuk
mengatur pengelolaan industri pers, agar industri pers di Indonesia dapat
dijalankan berdasarkan asas-asas keseimbangan, profesionalitas dan keadilan.
Padahal di dunia internasional sudah terdapat lembaga internasional independen
yang menetapkan standar pengelolaan industri pers. Lembaga tersebut bernama
Independent Press Standards Organisation (IPSO). Lembaga ini khusus diciptakan
untuk standarisasi industri pers yang praktik kerjanya analog dengan
International Standards Organisation untuk pengelolaan industri lain. Selain
itu juga terdapat komite industri pers internasional yang merumuskan Code of
Practice for The Press Industry, semacam Kode Etik Praktik Pengelolaan Industri
Pers. Menurut pendapat peneliti, sudah saatnya Indonesia mengadopsi
ketentuan-ketentuan yang terdapat pada kedua lembaga tersebut guna mengisi
kekosongan hukum yang ada saat ini.
Berdasarkan fakta empiris
sebagaimana yang diuraikan di atas, maka keseimbangan pasar yang diharapkan
dapat terjadi secara alami berdasarkan itikad baik para aktor bisnis di pasar.
Pada praktiknya para aktor sendiri yang mengganggu keseimbangan pasar dengan
mengorbankan kepentingan aktor lain demi mempertahan keuntungan ekonomi. Hal
ini sejalan dengan pemikiran Joseph Stiegllitz,
bahwa liberalisme dan kapitalisme memiliki inkonsistensi internal berupa
ketidakseimbangan atau asimetri informasi di antara aktor bisnis yang terlibat
dalam persaingan. Pers nasional yang memiliki sumber informasi lebih banyak
daripada pers lokal akan mendeterminasi perilaku persaingan para aktor di pasar
bebas. Kondisi ini merupakan ketidakadilan struktural yang bersumber dari asimetri
informasi sebagai faktor yang melekat (inherent) dalam liberalisme dan
kapitalisme.
Jika hal ini dibiarkan terus tanpa
campur tangan negara untuk memulihkan keseimbangan pasar yang terganggu, maka
pada akhirnya tidak akan ada lagi pers lokal yang bisa hidup dan bila hal itu
terjadi maka masyarakat di Pontianak atau masyarakat di daerah lain di
Indonesia yang paling dirugikan. Negara harus campur tangan dengan membuat
peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang pengelolaan industri
pers. Hal ini adalah sesuai dengan konsep negara kesejahteraan yang yang untuk
negara Indonesia harus mengacu pada Sila ke-V Pancasila yaitu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negara kesejahteraan atau welfare
state adalah negara yang pemerintahannya menyediakan jaminan menjalankan
berbagai program jaminan sosial seperti kompensasi pengangguran, pensiun,
bantuan uang untuk keluarga, kupon makanan, dan bantuan bagi orang buta atau
tuli. Kedudukan negara dalam konteks
negara kesejahteraan adalah mengatur agar kesejahteraan warga negara dapat
diselenggarakan dengan baik. Salah satu tanggung jawab negara untuk mewujudkan
kesejahteraan warganya termasuk intervensi ekonomi pasar, kebijakan
tenagakerjaan dan pelayanan kesejahteraan sosial.
Campur tangan negara harus dapat
memberikan solusi terhadap kondisi ketidakadilan yang dialami oleh pers lokal,
sebagai akibat dari terciptanya struktur sosial industri pers yang timpang dan
tidak adil. Kesenjangan struktural yang tidak adil itu bersumber dari asimetri
informasi yang merupakan faktor inheren dari liberalisme dan kapitalisme.
Dengan demikian, politik hukum pengelolaan industri pers yang akan dibuat
pertama-tama harus ditujukan untuk menghilangkan ketidakadilan tersebut.
Hakikat makna keadilan tertuju pada
substansi "Bagaimana keadilan dapat diwujudkan secara konkrit dalam
realitas kehidupan sosial masyarakat?".
Keadilan merupakan conditio sine qua non bagi terciptanya tatanan (orde)
hukum yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat
guna mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta adanya
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial. Berdasarkan hal
itu politik hukum yang mengatur pengelolaan industri pers harus berbasis pada
nilai keadilan sosial yang terdapat pada Sila ke-V Pancasila.
Nilai keadilan sosial yang dijadikan
sebagai basis politik hukum pengelolaan industri pers dapat dijabarkan pada
tataran praktis berupa prinsip-prinsip sebagai berikut: pertama, negara
memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada setiap aktor/pelaku industri
pers baik aktor pers nasional maupun aktor pers lokal (prinsip kesamaan atau
equality principle); kedua, negara memberikan perlakuan berbeda kepada aktor
pers lokal yang karena kekurangan dan dan keterbatasannya (misalnya modal
kecil, tidak punya mesin cetak, tiras dan perolehan iklan kecil) tidak mampu
meraih kesempatan yang sama dengan pers nasional (Prinsip perbedaan atau
different principle).
Berdasarkan pada kedua prinsip
tersebut maka politik hukum pengelolaan industri pers yang dibuat oleh negara
harus didasarkan pada prinsip ketiga yaitu "berpihak kepada pihak yang
lemah atau paling kurang beruntung", dalam hal ini adalah pers lokal yang
terpinggirkan dan berpotensi mati akibat tidak mampu bersaing di pasar bebas.