Dr. W Suwito SH, MH: Hegemoni Pers Terhadap Kepentingan Publik
Bagian 10 dari Disertasi berjudul: Politik Hukum Pengelolaan Industri Pers Berbasis Keadilan Sosial, Studi Kasus Persaingan Pers Lokal dan Nasional di Pontianak
Istilah hegemoni berasal dari bahasa
Yunani, “egemonia”, yang artinya
penguasa atau pemimpin. Dalam pengertian yang ringkas, hegemoni
dapat diartikan sebagai sistem
kekuasaan atau politik kelas dominan untuk menguasai kelas di bawahnya dengan
menggunakan kekuasaan itu. Dalam pengertian Marxisme, hegemoni berarti terjadi
dominasi kelas berkuasa terhadap kelas bawah. Mereka yang masuk ke dalam kelas
berkuasa adalah mereka yang menguasai ekonomi. Kelas borjuis mengatasi kelas
proletar (Mujibur Rohman, 2008). Hegemoni penguasa terhadap kelompok yang
didominasi bisa dilakukan dengan
berbagai macam cara, di antaranya melalui saluran penyebaran informasi formal (media massa). Praktik jurnalisme
selalu terkait dengan relasi kekuasaan dan hegemoni. Pada satu sisi pers dapat
mengalami hegemoni oleh negara, tetapi pada sisi lain pers juga dapat melakukan
hegemoni terhadap kepentingan publik.
Pada sistem pemerintahan
otoriter, terjadi hegemoni negara
terhadap masyarakat termasuk pers sebagai kelompok yang dikuasai. Negara
mengendalikan dan memonopoli sepenuhnya konstruksi realitas sosial dari suatu
peristiwa, isu atau agenda publik. Interpretasi dari makna publik (public
meaning) dari suatu realitas dimonopoli oleh negara dengan menggunakan pers
sebagai instrumen publikasinya. Kebenaran yang dihadirkan kepada publik bujan
kebenaran substantif dari suatu fakta sosial, melainkan kebenaran wacana
berdasarkan rekayasa atau pembingkaian (framing) negara. Pikiran dan perilaku
publik diarahkan dan dikendalikan oleh negara melalui pers.
Pada sistem pers libertarian, pers
justru melakukan hegemoni terhadap kepentingan publik. Hegemoni pers atau media
massa perlu dipahami sebagai suatu
kondisi dominasi yang dimiliki oleh individu-individu di belakang pers/media
berkenaan dengan pola perilaku dan pola pikir (mindset) tertentu, yang
disebarkan masyarakat melalui penggunaan media (Altheide, 1984:477). Dalam konteks negara berkembang seperti di
Indonesia, seringkali para wartawan berada di bawah pengaruh para aktor yang
mengendalikan pers/media atau para
pengambil keputusan dalam produksi berita yaitu, pemilik, jajaran direksi,
pemimpin redaksi dan editor. Wartawan
seringkali tidak berada dalam posisi yang betul-betul independen dalam pemuatan suatu berita. Para pengambil
keputusan itulah yang menentukan arah dan realitas wacana apa yang akan
disampaikan kepada publik.
Penguasaan media yang sangat kuat
ditangan segelintir orang akan menciptakan situasi arus informasi yang tidak seimbang, yang lebih jauh
akan mengancam demokrasi di negara
yang bersangkutan. Pada negara berkembang
seperti Indonesia, sejarah telah membuktikan betapa ketimpangan arus
informasi berkaitan dengan persoalan demokrasi, terutama soal kontrol terhadap
jalannya kekuasaan serta partisipasi masyarakat dalam proses politik. Kasus di
Indonesia, realitas hegemoni pers/media tidak terlepas dari dua aspek, yaitu
ekonomi dan politik.
Aspek ekonomi terkait dengan
kebijakan ekonomi politik negara dalam mengadopsi struktur ekonomi pasar bagi
industri pers di Indonesia. Struktur ekonomi pasar menyebabkan berita mengalami komodifikasi menjadi
komoditi yang dipasarkan secara komersial dalam lingkup yang lebih luas, skala
yang lebih besar (produksi massal) dan seragam (homogen). Kondisi ini mendorong
operasi pers berlangsung dalam suasana yang sangat kompetitif sehingga memaksa
industri untuk lebih berorientasi pada keuntungan material (profit oriented)
daripada orientasi pada kemanfaatan (utilitas) publik. Aspek politik berkaitan
dengan arah kebijakan negara untuk melakukan penyesuaian struktural (structural
adjustment) melalui regulasi hukum guna mengatur operasi pers/media berdasarkan
struktur ekonomi pasar.
Ditinjau dari sudut kepentingan
publik, kondisi tersebut meminggirkan kepentingan publik (public interest)
mengenai kebutuhan akan informasi yang aktual, benar, akurat dan beragam. Konten berita bukan mengenai
informasi yang dibutuhkan publik, melainkan tentang wacana yang dianggap
memiliki nilai komersial tinggi. Konten berita mengalami penyeragaman
(homogenisasi) serta pendangkalan nilai menjadi berita yang bernilai budaya
rendah (low cultural values).