Dr. W Suwito SH, MH: Dinamika Perkembangan Pers Di Indonesia
Bagian 9 dari Disertasi berjudul: Politik Hukum Pengelolaan Industri Pers Berbasis Keadilan Sosial, Studi Kasus Persaingan Pers Lokal dan Nasional di Pontianak
Pergeseran pers di Indonesia dari lembaga sosial politik menuju ke arah industri pers sudah dimulai sejak tahun 1966. Pada tahun ini dibuat politik hukum pers yang dituangkan dalam TAP MPRS No. XXXII Lampiran A Tentang Pembinaan Pers yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembuatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers (Selanjutnya disebut UU Pokok Pers). Politik hukum pers pada saat ini pada prinsipnya telah menetapkan fondasi awal terbentuknya industri pers sebagaimana terlihat dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Pokok Pers yang menyatakan bahwa “Penerbitan Pers oleh Perusahaan Pers berbentuk badan hukum .....”.Pada Pasal 1 Angka 13 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982 yang merupakan penyempurnaan dari UU Pokok Pers,
ketentuan dalam pasal 13 UU Pokok Pers di atas ditambahkan ketentuan “ Setiap
penerbitan pers yang diusahakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Ijin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).....” Penerbitan pers adalah perusahaan berbadan
hukum. Perusahaan berbadan hukum yang ada pada saat itu adalah Perseroan
Terbatas (PT) karena CV atau Firma (Fa.) adalah perusahaan yang tidak berbadan
hukum, sementara koperasi belum
ditetapkan sebagai badan hukum seperti saat ini. Sebagai perusahaan berbadan
hukum, perusahaan pers diwajibkan mendaftarkan diri ke Kementerian Hukum Dan
HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib
Daftar Perusahaan.
Pertumbuhan industri pers di Indonesia sedikitnya ditandai oleh tiga hal.
Pertama, pengelolaan penerbitan pers yang tidak lagidijalankan oleh yayasan
serta semata mata mengutamakan aspek idealnya sebagai lembaga sosial politik,
tetapi dijalankan melalui badan hukum berupa Perseroan terbatas (PT) yang
didukung oleh sistem managemen
profesional dan penggunaan tekhnologi canggih dalam proses produksi serta
mengarah pada komersialisme. Kedua, semakin banyaknya pengusaha nasional atau lazim disebut “konglomerat” yang
berinvestasi di bidang pers dan/atau media massa lainnya seperti radio, TV dan
media online. Ketiga, semakin banyaknya varian media massa massa yang mengarah
pada spesialisasi konten.
Gejala perubahan ke arah industri
pers dapat diamati melalui perubahan dari tiga indikator utama yang merupakan
urat nadi kehidupan bisnis surat kabar
yaitu kapasitas produksi, tiras dan iklan. Kapasitas produksi dan produksi
konten berita menvapai tingkat produksi massal, tiras berubah dari puluhan ribu
menjadi ratusan ribu eksemplar per hari dan iklan menghabiskan 50-60 % dari
keseluruhan ruang pada koran harian. Pada umumnya, surat kabar mendapatkan
pemasukan dari melalui tiga area yang berbeda. Iklan nasional, mewakili
kategori terkecil pada pendapatan dan
digunakan oleh perusahaan perusahaan besar untuk membantu memasarkan produk dan jasa yang
didistribusikan secara nasional. Iklan
produk, biasanya adalah area yang sangat subur dari semua pendapatan iklan dan
didapatkan dari bisnis lokal yang sama. Terakhir, adalah iklan yang
dikelompokkan dan digunakan oleh individu dari bisnis kecil untuk mencapai pembeli dan penjual di seluruh kategori yang
berbeda
Penetapan penerbitan pers sebagai
perusahaan menimbulkan implikasi hukum yang mengubah penerbitan pers yang
semula sebagai lembaga sosial politik menjadi lembaga ekonomi atau badan usaha
yang menjalankan kegiatannya untuk memperoleh keuntungan materiil. Hal ini
ternyata lebih ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 (UU Pers) yang menyatakan bahwa “ Disamping fungsi-fungsi tersebut pada
ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi”. Makna kata
“Disamping .........“dapat” dalam pasal
tersebut adalah “pers tidak serta merta berubah menjadi lembaga ekonomi yang
semata-mata mencari keuntungan, tetapi disamping menjalankan fungsi utamanya
sebagai lembaga sosial politik, pers diperbolehkan atau dapat memperoleh
keuntungan dari kegiatannya.
Pada praktiknya yang terjadi tidak
sesuai seperti yang dimaksudkan oleh undang-undang. Perusahaan pers lebih
mengedepankan fungsinya sebagai lembaga ekonomi yang mencari keuntungan
sebesar-besarnya daripada fungsi sosialnya. Elias Tana Moning, seorang
peneliti dalam suatu wawancara dengan
peneliti di Pontianak pada tanggal 28 Nopember 2014 di Pontianak menyatakan
bahwa”
“Fenomena pers di Indonesia yang berubah menjadi industri pencari laba yang agresif sudah pada akhir tahun 1980-an. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa: pertama, berita telah mengalami komodifikasi menjadi komoditi yang menguntungkan; kedua, pers pada saat itu direpresi oleh pemerintah untuk menjadi lembaga yang “tidak berpolitik atau apolitis”. Kondisi ini memaksa pers untuk mengalihkan tekanan konflik dengan mengubah perannya sebagai lembaga industrial. Strategi diversifikasi dan ekspansi diterapkan oleh perusahaan pers untuk bertahan hidup di bawah tekanan pemerintah orde baru”.
Pendapat tersebut sesuai dengan
dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Perubahan pers menjadi industri
terlihat dari kemunculan beberapa konglomerat pers baru seperti Grup Kompas-Gramedia dan
Grup Grafiti Pers. Kompas memperluas jaringan surat kabarnya di
bawah anak perusahaan Persda
atau Pers Daerah dan mengubah namanya menjadi Grup Tribun
pada tahun 1994. Demikian juga halnya dengan Grup Grafiti Pers, yang
merupakan perusahaan induk dari Jawa
Pos, melebarkan bisnis surat kabarnya melalui anak perusahaan Grup Radar. Setelah reformasi 1998 situasi
berubah drastis. Selama periode
1998-2000 pemerintah memberikan hampir 1000 ijin untuk surat kabar,
meskipun dalam perkembangannya hanya sebagian kecil saja yang bertahan dengan
memperluas daerah cakupan bisnisnya,
atau diambil alih oleh kelompok media yang lebih besar.
Realita pertumbuhan bisnis pers di
Indonesia dalam persaingan pasar yang ketat merefleksikan dominasi yang kuat
terhadap yang lemah..terjadi mekanisme seleksi alam di mana hanya yang kuat
yang bisa bertahan sementara yang lemah mati.
Mereka yang dapat bertahan mulai melakukan ekspansi ke seluruh daerah di Indonesia dan diversifikasi
usaha ke bentuk media yang lain misalnya TV, radio dan pers online. Merger dan akuisisi menjadi strategi baru
untuk memperkokoh bisnis dan meningkatkan efisiensi produksi dan distribusi
guna memperoleh keuntungan yang lebih besar. Contoh merger adalah penggabungan
Kompas dengan Gramedia menjadi grup Kompas-gramedia yang kemudian membentuk
grup pers daerah bernama Tribun. Salah satu implikasi industrialisasi pers
terlihat pada aspek produksi berita koran nasional. Konten berita yang sama
diproduksi secara massal untuk dipublikasikan melalui jaringan distribusi yang
tersebar di seluruh Indonesia. Dari satu sisi proses produksi berita menjadi
efisien dan biaya produksi dapat ditekan menjadi sangat rendah, tetapi di sisi
lain spektrum berita menjadi homogen dan keberagaman konten yang merupakan
fungsi publik dari pers menjadi hilang. Implikasi lain yang lebih serius adalah
pers lokal menjadi mati atau tidak dapat berkembang karena tidak mampu bersaing
dengan pers nasional seperti grup Jawa Pos dan Kompas-Gramedia.
Fenomena pers lokal yang mati atau
tidak dapat berkembang tersebut terjadi di daerah secara alami karena semua
pers lokal yang ada di daerah tidak memiliki daya saing atau keunggulan
kompetitif seperti yang dimiliki oleh pers nasional. Unsur-unsur keunggulan
kompetitif yang menjadi faktor seleksi alam kehidupan pers antara lain adalah:
(1) modal investasi; (2) Alat produksi (salah satu yang terpenting adalah mesin
cetak); (3) tiras; dan (4) perolehan iklan; (5) sumber daya manusia (SDM); (6)
manajemen; dan (7) konten atau isi berita.
Pers nasional memiliki semua unsur
tersebut sementara pers lokal pada umumnya hanya memiliki tiga unsur daya saing
yaitu modal investasi, alat produksi dan sumber daya manusia (SDM) dengan
kualitas yang tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh pers nasional. Selain
itu, pers nasional masih memiliki unsur daya saing yang tidak dimiliki oleh
pers lokal yaitu “modal simbolis” berupa
reuputasi dan/atau prestise sebagai pers nasional yang dapat menarik pengiklan
atau investor besar untuk mengiklankan produknya atau berinvestasi di surat
kabar nasional. Dengan memiliki semua unsur daya saing tersebut, secara alami
tanpa ditambah dengan praktik-praktik persaingan yang tidak jujur seperti
banting harga (dumping), pers nasional dapat dipastikan akan memenangkan
persaingan dengan pers lokal di daerah manapun di Indonesia.
Banyaknya pers lokal yang mati juga
tidak semata-mata disebabkan oleh ekspansi pers nasional, tetapi juga
disebabkan karena tidak memiliki keunggulan kompetitif untuk bertahan hidup.
Perusahaan pers yang tidak memiliki mesin cetak sendiri memang rawan bangkrut
karena biaya produksi menjadi lebih mahal serta tergantung kepada pihak lain.
Kematian pers lokal sebagian kecil
memang disebabkan seleksi alam karena para aktor baru pada umumnya tidak
memahami bahwa bisnis pers di era digital sebenarnya bersifat padat modal,
berteknologi tinggi, kompetensi tinggi serta manajemen yang rumit. Pada tahap
awal industrialisasi pers di Amerika, kematian 10% – 20% pers lokal dalam
persaingan adalah wajar dan jika dibiarkan tanpa ada intervensi pasar, dalam
arti pers nasional dan pers lokal tetap pada segmennya masing-masing maka pada
tahap tertentu di seluruh Indonesia akan tumbuh pers lokal yang benar-benar
kuat. Hal itu baik untuk pertumbuhan
ekonomi pers lokal maupun demokratisasi sosial politik masyarakat”.
Masalahnya menjadi berbeda ketika
pers nasional berekspansi ke berbagai daerah di Indonesia memasuki segmen pers
lokal. Terjadi distorsi pasar sehingga kematian pers lokal karena tidak mampu
mempertahankan sumber daya simbolis yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup
suatu industri pers. yaitu iklan (advertisement), isi atau konten berita (types
of content) dan jenis pembaca atau audiens (types of audiens). Kelangsungan hidup industri pers ditentukan
oleh tiga sumber daya alam tersebut. Semakin tinggi tingkat kesamaan sumber
daya simbolis yang dimiliki oleh para aktor, maka semakin tinggi tingkat
persaingannya. Ketiga sumber daya simbolis tersebut dapat diciptakan atau
distrukturisasi oleh pers nasional karena memiliki semua unsur daya saing yang diperlukan.
Sebaliknya pers lokal pada umumnya tidak mampu melakukan hal yang sama sehingga
kematian pers lokal adalah konsekuensi logis dari suatu persaingan yang tidak
seimbang.
Realitas pers lokal yang mati atau tidak berkembang di daerah akibat kalah bersaing dengan pers nasional dapat dirangkum sebagai berikut:
- Pers lokal mati atau tidak berkembang dan posisinya terpinggirkan oleh pers nasional
- Pers lokal tidak mampu memperebutkan sumber daya simbolis berupa iklan, konten berita dan pembaca
- Pers lokal tidak memiliki modal simbolis berupa ‘reputasi” dan atau “prestise” seperti yang dimiliki pers pers nasional yang bisa menarik pengiklan atau investor besar untuk memasang iklan atau berinvestasi