Dr. W Suwito SH, MH: Basis Politik Hukum
Bagian 16 dari Disertasi berjudul: Politik Hukum Pengelolaan Industri Pers Berbasis Keadilan Sosial, Studi Kasus Persaingan Pers Lokal dan Nasional di Pontianak
Politik hukum, sebagai kebijakan
dasar negara yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan
dibuat, diterapkan dan ditegakkan, tentu harus mempunyai sejumlah sumber nilai
yang mendasari pembuatan politik hukum, karena hukum tidak bisa menentukan
nilainya sendiri melainkan harus menggunakan perangkat nilai yang hidup, tumbuh
dan berkembang di masyarakat di mana hukum tersebut dioperasikan.
Menurut Bernard L. Tanya, politik
hukum memiliki empat landasan/basis nilai yang merupakan sumber nilai yang
mendasari agar politik hukum dapat mengantarkan bangsa untuk mencapai tujuan
bersama yang dicita-citakan. Empat basis nilai yang mendasari politik hukum
adalah:
a. Basis Ideologis
Politik hukum harus bersumber pada
perangkat nilai yang paling sentral dan hakiki yang dipakai untuk menentukan
makna, melakukan penilaian dan perbaikan atas apa yang terjadi dalam kehidupan
suatu bangsa. Perangkat nilai tersebut adalah ideologi Pancasila yang merupakan
visi dan cita-cita bangsa Indonesia. Ideologi tersebut bersifat normatif dan
sekaligus konstitutif. Normatif, berarti bahwa ia sebagai prasyarat
transendental yang mendasari tiap keputusan ataupun kebijakan dan menjadi
landasan serta sekaligus tolak ukur segala tindakan. Sedangkan Konstitutif,
mengandung arti bahwa ideologi berfungsi mengarahkan segala kebijakan pada
tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian ideologi berfungsi sebagai guiding
principle, norma kritik, dan nilai yang memotivasi tiap tindakan dan pilihan
yang akan diambil.
Pancasila, tidak hanya menyediakan
kerangka ontologis dan kerangka norrmatif bagi bangsa Indonesia, tetapi juga
memberi kerangka opcrasional yang sangat kokoh bagi penataan kehidupan bangsa
yang lebih baik. Sila Pertama misalnya, menyajikan kerangka ontologis bagi
bangsa Indonesia, bahwa keberadaan manusia terkait dengan Tuhan YME yang
diyakini sebagai sumber nilai, sumber kcbenaran, dan sumber makna. Nilai,
makna, dan kebenaran tersebut diyakini sebagai sesuatu yang bersifat mutlak dan
sekaligus sangat penting (imperatif) untuk diperhatikan, dihormati dan ditaati
dengan kesetiaan tanpa syarat.
Konsekuensinya, manusia Indonesia
dituntut hidup beradab, adil, dan berprikemanusiaan. Nilai tersebut terdapat
pada Sila kedua Pancasila yang menjadi 'kerangka normatif” bangsa Indonesia.
Sila ketiga menyodorkan 'tesis persatuan' sebagai kerangka operasional dalam
kehidupan berbangsa'. Sila keempat memberi tesis kerakyatan sebagai kerangka
operasional dalam hidup bernegara. Sedangkan sila kelima mematok “tesis keadilan
sosial' sebagai kerangka operasional dalam ranah hidup bermasyarakat.
Prinsip-prinsip Pancasila yang
mutatis mutandis terdapat dalam empat pokok pikiran Pembukaan UUD'45, yang
berisi pokok-pokok pikiran yang dapat memandu politik hukum di berbagai bidang.
b. Basis Normatif
Politik hukum bertugas menilai
kenyataan sekaligus mengubahnya ke arah yang benar, baik, dan adil. Oleh karena
itu, politik hukum membutuhkan kerangka normatif mengenai “apa yang benar, apa
yang baik, dan apa yang adil” yang harus diperjuangkan dan diwujudkan. Rujukan
utama tentang yang benar, baik, dan adil itu, terdapat pada ideologi yang
dianut, yaitu Pancasila. Rujukan-rujukan lain, biasanya hanya dimungkinkan
sepanjang rujukan tersebut paralel atau bersesuaian dengan spirit ideologi yang
dianut. Kerangka normatif bagi politik hukum itu, mutlak perlu. Jika tidak,
maka keputusan dan kebijakan yang diambil bisa bias atau menyimpang jauh dari
spirit ideologisnya.
Kemungkinan tersebut sangat terbuka,
mengingat ideologi pada umumnya hanya terdiri dari premis-premis yang abstrak
dan sangat umum sifatnya. Karena itu, ketersediaan kerangka normatif yang
merupakan derivasi dari prinsip-prinsip dimaksud, menjadi sangat menentukan
bagi kepentingan pada tataran praksis.
c. Basis Konstitusional
Orientasi politik hukum adalah
kepentingan umum dan pencapaian tujuan bersama. Oleh karena itu, idealnya
politik hukum harus juga berbasis pada konstitusi (yang secara teoretis
merupakan derivasi spirit ideologis dan kerangka normatif yang diturunkan dari
ideologi itu). Hakikat ideal dari konstitusi adalah sebagai hukum dasar, yang
di satu pihak mengatur dan membatasi kekuasaan, dan di pihak lain secara
bersamaan menjamin hak dan kepentingan warga negara/rakyat. Secara teoretis,
konstitusi juga memuat tujuan-tujuan bersama yang hendak dicapai dalam
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Dalam negara modern, konstitusi
merupakan hukum tertinggi yang menjadi titik tolak dan batu uji semua produk
hukum di bawahnya. Sesuai prinsip stufenbau, konstitusi menjadi dasar
justifikasi validitas peraturan perundangan di bawahnya. Untuk disebut sebagai
hukum yang valid, maka semua peraturan hukum yang ada tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi.
d. Basis Moral
Politik hukum memerlukan landasan
moral, karena sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi
dari hukum yang akan dibentuk, diterapkan dan ditegakkan, hanya bisa berjalan
efektif apabila dilandasi dengan moral dan etika. Dalam kajian hukum, moral dan
etika terkait pada hak dan kewajiban warga negara atau masyarakat mengenai
suatu hal atau perkara tertentu, yang tunduk pada institusi dan peraturan hukum
yang sudah diterima dan disetujui oleh masyarakat.
Kaidah hukum harus bertumpu pada
kaidah moral dan etika, karena kaidah moral dan etika, bersama-sama dengan
norma lainnya yang ada di masyarakat akan mengalami formulasi dan kristalisasi
membentuk norma hukum yang mempunyai sifat-sifat: berlaku untuk semua orang
(publik), mengikat, memaksa dan dapat dipaksakan melalui proses penegakan
hukum. Dengan demikian, moral idealnya harus ditempatkan diatas hukum, menjadi
acuan mengenai “apa yang seharusnya (das sollen)” dilakukan atau tidak
dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai instrumen untuk mencapai tujuan
bersama masyarakat, yaitu “keadilan”.
“Apa yang seharusnya (das solen)”
digunakan untuk mengoreksi “apa yang ada (das sein)”, yang bilamana perlu harus
diperbaiki terus menerus agar mendekati ‘apa yang seharusnya”. Menurut Gustav
Radburgh, secara filosofis, hukum dapat diartikan sebagai instrumen untuk
mengatur dan memastikan bahwa “keadilan” dapat diwujudkan melalui seperangkat
peraturan yang jelas, tegas, dan konsisten sehingga bermanfaat bagi kebaikan
manusia. Makna kepastian hukum adalah
bahwa hukum (yang di dalamnya terkandung keadilan dan norma-norma yang mengarah
pada nilai-nilai kebajikan manusia) benar-benar dipatuhi. Dengan adanya
kepastian bahwa peraturan hukum yang ada dipatuhi oleh warga masyarakat, maka
keadilan menjadi “bermanfaat” bagi individu maupun masyarakat.