Mengenal Hukum Acara Arbitrase
Ilustrasi |
Intensitas dan kompleksitas persaingan di dalam dunia bisnis
yang didorong oleh kemajuan teknologi menyebabkan setiap orang memerlukan cara
yang instant, aman dan nyaman untuk menyelesaikan setiap perselisihan yang
timbul. Tidak saja antara pengusaha atau lembaga negara atau pengusaha
Internasional tetapi juga antara negara dengan negara. Hal itulah yang
menyebabkan Arbitrase dipandang sebagai pranata hukum yang penting sebagai
salah satu cara penyelesaian sengketa bisnis di luar Pengadilan. Dimana
pergesekan kepentingan sudah nyaris tak lagi mengenal batas sempadan karena
terjadinya persaingan dalam transaksi niaga baik nasional maupun internasional.
Beragam sengketa yang timbul itu secara umum dapat disebut
sebagai sengketa bisnis atau sengketa komersial, yang juga meliputi seluruh
aspek bisnis. Arus bisnis yang sedemikian deras dari maupun ke luar kalbar
tentu disertai dengan beragam sengketa bisnis yang muncul kemudian. Karena
itulah dalam kesempatan ini penulis merasa perlu memperkenalkan Arbitrase
sebagai alternatif yang realible, efektif dan efisien sekaligus aman dan cepat
dalam dalam menyelesaikan sengketa komersial.
Menurut pasal 615 Rv segala perselisihan yang bersifat
private yang penyelesaiannya ditangani oleh pengadilan sipil, dapat menyerahkan
penyelesaiannya kepada “seorang atau beberapa wasit”, yaitu sengketa tersebut
diserahkan kepada arbitrase.
Dalam praktek beracara, para pihak yang berperkara dalam
proses arbitarse tidak jauh berbeda dengan sengketa perdata pada umumnya di
pengadilan negeri. Yang berbeda adalah istilah penyebutan para pihak yang
berpekara. Dalam hukum perdata disebut penggugat dan tergugat, maka dalam
arbitrase penyebutan para pihak telah dibakukan dan standard yaitu Calimant
untuk yang membuat tuntutan dan yang dituntut disebut Respondent. Berbeda
dengan Peraturan Prosedur Arbitrase (PPA) Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) disebut Pemohon dan Termohon. Hal lain lagi yang perlu diingat, jika
kompetensi pengadilan lahir karena ditentukan undang-undang (UU), maka
Arbitrase lahir melalui kesepakatan para pihak yang memilih forum arbitrase
itu. Untuk memilih BANI, dalam salah satu klausula perjanjian-perjanjian bisa
memuat sebagai berikut : “Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan
diselesaikan dan diputus oleh BADAN ARBITRASE INDONESIA (BANI) menurut
peraturan-peraturan prosedur Arbitrase BANI yang keputusannya mengikat kedua
belah pihak yang bersengketa sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir”.
Menurut Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, apabila suatu perjanjian disepakati
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka apabila terjadi perselisihan atas
perjanjian tersebut menjadi wewenang absolut dari Arbitrase untuk mengadili dan
memutus.
Struktur dan proses penyelesaian sengketa lewat arbitrase
juga memiliki kesamaan dengan proses di pengadilan sipil, meski sangat berbeda
dalam struktur, dalam arti susunan kelembagaan. Arbitrase bukan pelaksana kekuasaan
kehakiman, melainkan suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian Arbitrase, yang dibuat scara tertulis para
pihak yang bersengketa, baik sebelum maupun sesudah terjadinya sengketa.
Surat permohonan pada badan arbitrase harus diajukan oleh
pemohon secara tertulis seperti halnya gugatan yang di Pengadilan Negeri dan
itu merupakan syarat formal. Dalam Surat Permohonan atau Statemet of claim itu
selain harus mencantumkan identitas para pihak juga harus memuat dalil kongkrit
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar dan alasan dari tuntutan dan
posita serta tuntutan atau petitum. Dapat pula dicantumkan tambahan proposal
tentang : Jumlah arbiter yang akan ditunjuk (satu atau tiga orang?) tetapi apabila
belum disepakati dalam perjanjian penunjukan calon arbiter yang dikehendaki,
maka akan berupa proposal tentang penyerahan penunjukan arbiter kepada
arbitrase institusional yang bersangkutan. Apabila kedua belah pihak masih
tidak sepakat tentang arbiter maka dapat diajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk menetapkan arbiter bagi keduanya.
Sebagai hukum formal, yang memandu pihak-pihak dalam
melakukan penyelesaian sengketa pada arbitrase adalah UU No. 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa.
Dalam prakteknya dapat dilihat pada pasal 31 UU No. 30 tahun
1999, dimana disebutkan bahwa para pihak bebas mencantumkan cara arbitrase :
yaitu bebas memilih rule manapun dan yang dicantumkan dalam klausula, asal
tidak bertentangan dengan UU. Bila mereka tidak memilih suatu rule maka
pemeriksaan akan tunduk pada UU No. 30 tahun 1999 tadi.
Apabila ada pilihan rule harus juga mencantumkan jangka
waktu penyelesaian, tempat diselenggarakan Arbitrase dan bila tidak ada, maka
arbiter yang menentukannya. Terkait masalah waktu tadi, pada pasal 48
disebutkan bahwa limit waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis
arbiter terbentuk, akan tetapi pasal 33 arbiter diberi kewenangan untuk
memperpanjang waktu pemeriksaan.
Dalam hal tidak tercapai perdamaian maka proses di lanjutkan
dengan memeriksa pokok perkara. Pada saat itu para pihak diberikan kesempatan
untuk menjelaskan pendirian masing-masing, dan arbiter berhak meminta
keterangan tambahan secara tertulis berikut dokumen atau bukti-bukti yang
dianggap perlu sebagaimana diatur oleh pasal 46. Lebih lengkap pembaca dapat
membuka UU No. 30 tahun 1999 berikut penjelasannya selain sejumlah peraturan
yang dikeluarkan BANI.
Meskipun pada hakekatnya arbitrase adalah penyelesaian sengketa
diluar pengadilan, tetapi setelah perkara diputus, yang berwenang melaksanakan
putusan arbitrase atau eksekusi adalah Pengadilan Negeri apabila pihak yang
kalah tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela. (Posted by Harian
Equator Pontianak)