Menegakkan Supremasi Hukum Pers
Sumber : http://padangekspres.co.id/up/nberita/27042012115147a.gif |
Rosalinda
Borneo Tribune, Pontianak
Di era reformasi salah satu tuntutan masyarakat adalah
menegakkan supremasi yang menjadikan hukum sebagai panglima. Orientasi impletasi
penegak hukum (law enforcement) secara tegas dan konsisten dan setiap
pelanggaran harus diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku.
Itulah isu strategis yang dikupas dalam workshop aparatur
berspektif pers, Sabtu (28/2), di Hotel Gajahmada Pontianak.
Sudah sepuluh tahun perjalanan reformasi, namun
demokratisasi dan transparansi masih jauh dari harapan bersama. Salah satu
tuntutan masyarakat bahwa agenda yang harus dilaksanakan adalah penegakkan
supremasi hukum. Menegakan supremasi hukum yaitu menempatkan hukum sebagai
patokan tertinggi (panglima) dalam tingkah laku kehidupn masyarakat, bebangsa
dan bernegara.
Artinya masyarakat kekuasaan pemerintah dan negara untuk
tunnduk pada hukum tanpa adanya diskriminatif dan segala permasalahan hukum
wajib diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku. Menegakkan supremasi
hukum adalah melaksanakan penegakan hukum secara tegas konsekuen dan konsisten
dalam segala bentuk permasalahan hukum baik hukum pidana maupun hukum perdata.
Peran dan keberadaan pers dalam menegakan supermasi hukum di
era reformasi. Artidjo Alkostar, dalam makalahnya mengatakan keberadaan pers
sejatinya merupakan kebutuhan asasi setiap insan dan komunitas masyarakat,
karena dengan adanya pers masyarakat dapat memperoleh informasi, melakukan
kontrol sosial dan menyatakan pendapatnya.
Dengan demikian keberadaan pers berkorelasi dengan penegakan
HAM, akan mencegah timbulnya pratik ketidakadilan dalam kehidupan politik,
ekonomi dan hukum. Ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan segala
benntuk kejahatan akan selalu memperlemah dan merugikakn masyarakat dan negara.
Kuatnya kontrol sosial pers akan mempererat kohesi sosial masyarakat Indonesia
yang majemuk dalam etnis dan plural dalam agama.
Untuk menegakkan keadilan dan kebenaran menuju kesejahteraan
umum, dan mencerdaskakn kehidupan bangsa. Dari landasan ini lahirnya UU Pers
No. 40 Tahun 1999, terlihat bahwa keberadaan pers yang bebas, merupakan
kebutuhan asasi dalam suatu negara demokrasi. Merawat demokrasi yang telah
dicapai setelah Orde Baru merupakan kewajiban asasi segenap komponen bangsa.
Berdasarkan surat edaran MA tanggal 30 Desember 2008, bagi
pelindungan pers, Atmakusumah Astraatmadja, mengatakan, bahwa inti edaran itu
hanya dua alenia, yakni berupa anjuran kepada ketua pengadilan agar meminta
keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses delik pers. Alsannya
karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori
dan praktik.
Dengan demikian meminta kesaksian ahli di bidang pers dari
Dewan Pers, MA berharap akan memperolah gambaran objektif tentang ketentuan
yang berhubungan UU pers. Walau sederhana, namun surat edaran ini mencerminkan
prakarsa-prakarsa Dewan Pers selama ini untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang arti dan kedudukan pers sebagai tempat bagi semua pihak
untuk menyampaikan aspirasi.
Untuk itulah peran aparat hukum dalam perselisihan pers
sangat diperlukakan, menurut Bayu Wicaksono, sejak tahun 2003, tepatnya selesai
perselisihan pemberitaan antara Majalah Tempo dengan pengusaha Tomy Winata,
perselisihan pemberitaan marak di seantero Nusantara. Perselisihan ini adalah
hukum pidana dan perdata, sehingga peran penegak hukum (Hakim, Kejaksaan dan
Kepolisian) sangat vital. Mereka tidak hanya berperan dalam law enfforcement
tetapi juga dalam memberikan penyadaran akan pentingnya menegakkan supremasi
hukun.
Untuk itu, para penegak hukum harus mengerti benar bagaiman
menempatkan pers sebagai pilar demokrasi. Sebagai konsekuensinya, penegak hukum
harus menjaga kebebasan pers dengan pendekatan UU Pers dalam menyelesaikan
sengketa pers. Karenanya diperlukan keahlian (skill) dan kemauan (will) serta
cara pandang yang sama dalam menghadapi persoalan pers.
Menurut Bayu, ada tiga hal yang biasa terjadi dalam masalah
pers. Kekerasan fisik, gugatan perdata, dan pidana. Bila sebelumnya orang lebih
sering menggunakan kekerasan fisik ketika mereka berhadapan dengan pers.
”Tren kekerasan fisik naik menjelang Pemilu. Kini masyarakat
lebih banyak menggunakan aparat hukum dan menggunakan aparat, untuk memojokkan
pers,” kata Bayu.
Repotnya lagi, ketika membuat BAP, mekanisme hak jawab tidak
dilakukan. Aparat menganggap mereka punya Protap sendiri. ”Nah, begitu sampai
di pengadilan, biasanya kasus itu tak bisa dilanjutkan, karena hal itu dianggap
tak lengkap,” kata Bayu.