Jaksa Agung Kunjungi PD Bintang Kalbar
by Budi Rahman
PONTIANAK—Sebagai perintis pertama usaha penangkaran Ikan
Siluk (Sceloropages Formosus) di Kalbar, PD Bintang Kalbar memang patut
mendapat bintang.
Hasil pembiakan varietas ikan yang terancam punah di habitat
aslinya ini telah tersebar hingga manca negara. Kemasyhuran tambak miliki Halim
Iredjo ini telah lama terdengar di kalangan pejabat pusat.
Sore, Selasa (10/7) kemarin, penangkaran Arwana di daerah
Sungai Raya ini dikunjungi oleh Jaksa Agung RI, Hendarman Supandji. Rombongan
pejabat nomor satu di lingkungan Kejaksaan Agung RI ini dibuat terpana dan
terpesona dengan kolam dan ikan-ikan bernilai ekonomis tinggi tersebut.
Didorong rasa keprihatinan dan kepeduliannya terhadap
populasi ikan Arwana, yang dikenal dengan sebutan ikan Siluk oleh warga Kalbar,
Halim muda berinisiatif membiakkan ikan indah ini.
Tahun 1982, Halim Iredjo mengaku mulai merintis usahanya.
Sebanyak 20 ekor indukkan ia datangkan langsung dari habitatnya di Kapuas Hulu.
Setelah 25 tahun menekuni bisnisnya, kini tak kurang 2000 ekor induk Arwana
tersebar di sejumlah kolam seluas 10 hektar miliknya. Untuk jenis Super Red
menurut Halim hanya ada di Kalbar saja. “Di dunia yang ada cuma di Kalbar,”
ujarnya menyebut populasi ikan tersebut.
Saya merasa beruntung mendapat kesempatan untuk melihat isi
kolam-kolam yang dipenuhi ikan berharga puluhan bahkan ratusan jutaan itu.
Bersama Pengusaha Bio Fuel kenamaan, Pak Elias Tana Moning dan Pengacara
W.Suwito,SH.,MH., saya diajak melihat langsung ke penangkaran PD Bintang
Kalbar.
Menurut Suwito, hasil penangkaran dari PD Bintang Kalbar ini
sudah terkenal di kalangan pejabat di Jakarta. Ia menceritakan, dulu setiap ada
kunjungan menteri atau pejabat penting, gubernur selalu membawa mereka
berkunjung ke tambak ini.
“Pak Halim ini orang pertama yang mendapat izin menangkar
dan mengekspor ikan Arwana dari lembaga dibawa naungan PBB,” ujar Suwito. Di
salah satu kolam milik Halim ada gerombolan ikan-ikan raksasa yang nampak
menyembulkan tubuhnya. Panjangnya sekitar 2 meter. “Ini arapaima gigas, satu
keluarga dengan Ikan Arwana,” terang Pak Elias.
Sebuah sertifikat izin ekspor Arwana diminta tunjukkan oleh
Suwito pada Halim Iredjo. The first company in the world to get permission from
CITES (Convention on International Trade of Endangered Flora and Fauna) to
export Arowana Fish. Begitu lisensi yang tertera di sertifikat itu.
Saya coba mengeja kalimat Inggris tersebut dengan bahasa
Indonesia. “Perusahaan pertama di dunia yang diberi izin dari CITES untuk
mengekspor Ikan Arwana. CITES, Konvensi internasional dalam perdagangan flora
dan fauna berbahaya,” ujar saya sedikit PD.
“Bukan berbahaya, endangered itu artinya langka atau hampir
punah,” ucap Pak Elias membetulkan ejaan saya. Jadi malu, Pak Elias adalah
orang yang sudah advance bahasa Inggrisnya, 15 tahun lebih ia mukim di Amrik.
Panjang lebar kami mendapat pengarahan dari Halim Iredjo
soal seluk beluk penangkaran Ikan Arwana. Ia nampak sangat menguasai tabiat dan
gaya hidup ikan-ikan peliharaannya.
Sebagai pengusaha yang peduli pada populasi ikan mahal ini,
Halim mengaku pernah melakukan penebaran ikan ini di habitat aslinya. Namun
usahanya ini gagal karena tak didukung oleh masyarakat. “Habis kita restocking
ke sungai, ikannya ditangkapin warga. Masyarakat tahu ikan ini mahal. Jadinya
ta’ sempat berkembang ikannya,” ujar Halim.
Bersama Pak Elias saya sempat melihat akuarium tempat
pemeliharaan ikan-ikan Arwana yang masih bayi. Nampak sudah demikian rapi
tempat-tempat penampungan sementara bakal ikan yang akan di ekspor ke
mancanegara itu. Saya salut juga dengan cara pengusaha ini memenej usahanya.
Saat matahari mulai meruntuh di usuk barat. Suwito membuka
ponselnya, samar-samar saya mencuri dengar, Kepala Jaksa Agung yang ikut
rombongan SBY ke Pontianak akan segera meluncur ke lokasi kami kongkow.
Siap-siap kami menyambut sosok mantan Ketua Timtastipikor ini.
Tak lama berselang iring-iringan mobil merapat ke halaman
rumah Halim yang juga tempat usahanya. Ajudan-ajudan rombongan Kejagung dan
Kejati nampak berturunan dari mobil-mobil mereka. Kajagung keluar dengan setelan
safari birunya, sedangkan Amrizal Kajati Kalbar masih lengkap dengan seragam
dinasnya.
Suwito yang berprofesi sebagai lawyer tak bisa
menyembunyikan rasa suka citanya atas kunjungan Hendarman dan rombongan. Senyum
tak lepas dari bibirnya. Pada tamu-tamu istimewanya, Suwito dan Halim Iredjo
mengajak mereka berkeliling melongok kolam-kolam ikannya. Seorang pekerja
diminta mengambil kodok untuk umpan Arwana. Hendarman dan rombongan nampak
kagum dengan kegesitan dan keganasan Arwana melahap kodok-kodok hidup itu.
“Sehari berapa banyak dikasih makan pak?” tanya Hendarman. “Ya sekitar 150 kilo
Pak,” jawab Halim.
“Ada yang bisa digoreng nggak?” tanya Hendarman iseng.
Rombongan Kejagung ketawa-ketawa kecil mendengar pertanyaan bosnya. “Dulu
memang di tempat asalnya, Arwana dibikin ikan asin,” jawab Halim lagi. Giliran
Kajagung yang terperanjat.
Hendarman mengaku salut pada usaha penangkaran yang dimiliki
oleh Halim Iredjo. Lahan yang luas dan ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis
tinggi ini pikir Kajagung bukanlah investasi yang sepele. “Ini nanti siapa yang
mewarisi?” lagi-lagi Hendarman terlihat tanpa beban menanyakan hal-hal yang
cukup menggelitik pada Halim Iredjo. Halim pun menjawab pertanyaan dari
Kajagung itu.
Puas berkeliling melihat penangkaran dan pembibitan Ikan
Arwana, rombongan Kajagung dan Kajati disuguhi Durian. Beberapa buah Durian
yang berbuah di luar musim disajikan pada rombongan tamu penting itu. Menikmati
raja buah dengan tatapan menghampar pada kolam-kolam ikan Arwana menjelang
sunset bisa jadi menjadi ajang pembuang penat dan ketegangan yang sempurna buat
Kajagung setelah seharian bergumul dengan rutinitas yang melelahkan.
(Publish in Borneo Tribune, 11 Juli 2007)
TESX FOTO: IKAN SILOK. Kajagung Hendarman Supanji (tengah)
diapit pemilik PD Bintang Kalbar, Halim Iredjo (kiri) dan W.Suwito SH MH
(kanan) berkeliling melihat ikan-ikan Arwana dari satu kolam ke kolam lainnya.
Foto Elias Tanamoning/Borneo Tribune.