34 Peserta Ikuti Ujian Advokat
Borneo Tribune, Pontianak
Untuk ketiga kalinya Organisasi Advokat, Sabtu (8/12)
kemarin kembali menyelenggarakan Ujian Profesi Advokat (UPA) di Pontianak.
Peserta UPA 34 orang terdiri atas 32 orang mengulang karena tidak lulus pada
UPA tahun sebelumnya. Dua orang lainnya sebagai peserta baru.
UPA kali ini berjalan lebih tertib dan peserta mengaku puas
karena Pengawas Pusat bersama-sama dengan Pengawas Daerah memberi kesempatan
sangat luas kepada peserta untuk menyampaikan berbagai aspirasi kepada Panitia
Ujian Profesi Advokat (PUPA) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Menjawab pertanyaan Borneo Tribune mengapa untuk lulus UPA
tampak begitu sulit dan harus mendapat nilai minimal 70 dalam skala 100, Philip
Jusuf, S.H.,M.H., Panitia Ujian Profesi Advokat (PUPA) Perhimpunan Advokat
Indonesia (PERADI) mengatakan ini bukan karena PUPA hendak mempersulit
kelulusan. “Sama sekali bukan,” tukas Philip, Advokat asal Kalbar yang
berpraktik di Jakarta sejak 22 tahun lalu. Ini karena, menurut Philip, sebagai
Organisasi Advokat yang lahir berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat, PERADI tidak bisa tidak harus mengemban amanat Undang-Undang
Advokat yang secara tegas menentukan dibentuknya Organisasi Advokat bertujuan
untuk meningkatkan kualitas Advokat”. Menjawab sendiri pertanyaannya mengapa
Undang-undang menggarisbawahi segi kualitas ini,” Philip yang kali ini khusus
datang ke Kota Khatulistiwa atas utusan PERADI sebagai Pengawas Pusat
mengatakan, “Adanya raison d’tret profesi Advokat ini kan bukan untuk
kepentingan profesi itu sendiri, melainkan untuk kepentingan masyarakat.”
Masyarakat, lanjut Philip yang dalam misinya sebagai Pengawas Ujian untuk mendampingi Pengawas Daerah yang terdiri dari W. Suwito,S.H., M.H., Herawan Utoro,S.H. dan Frans Sisu Wuwur,S.H. mesti dilindungi terhadap praktik unprofesional atau malpraktik yang selama ini banyak dikeluhkan para pencari keadilan. “Jadi, kita tidak bisa kembali pada tradisi pengangkatan Advokat era sebelum Undang-undang Advokat yang terkesan sekali Ujian yang diselenggarakan hanya bersifat formalitas.”
Ketika dikejar dengan pertanyaan mengapa ujian ini masih
menggunakan pola materi ujian pilihan ganda, Philip mengakui kalau dirinya atau
rekannya yang sudah senior mengikuti UPA belum tentu lulus, mengatakan PERADI
sebagai organisasi yang baru dibentuk pasca Undang-undang Advokat perlu menjaga
netralitas dalam perekrutan Advokat. “Untuk menjaga agar tidak timbul
kecurigaan atau kesalahpahaman berbagai pihak seolah-olah PERADI ada main
dengan para peserta Ujian dalam kelulusan sebagian peserta, terutama yang
kebetulan berkerja atau ada hubungan dengan kantor advokat salah seorang
Panitia Ujian atau Pengurus PERADI, maka pengoreksian soal Ujian dilakukan
secara komputerisasi dan dilakukan oleh suatu lembaga independen yang bekerja
secara profesional. “Karena itu”, ucap Philip, “untuk sementara PUPA masih
menggunakan pola materi soal pilihan ganda agar dapat dikoreksi secara
komputerisasi”.
Di tempat yang sama, W. Suwito, SH., MH., pengawas yang juga
sebagai Ketua DPD Serikat Pengacara Indonesia Kalbar ketika ditanya mengapa
hanya sedikit peserta yang lulus dalam ujian sebelumnya, mengatakan dilihat
dari soal – soal yang diujikan, kebanyakan berupa materi praktek. Suwito
menilai para peserta kebanyakan belum berpengalaman praktek di kantor advokat
atau instansi terkait lainnya, sehingga tidak siap menghadapi soal-soal yang
berhubungan dengan praktek. Suwito yang pernah ditunjuk menjadi pembahas hasil
penelitian Komisi Hukum Nasional pada acara Diseminasi Rekomendasi KHN RI bagi
Pembaruan Hukum Indonesia Tahun 2004 – 2007 di Hotel Grand Mahkota Pontianak
pada 10 November lalu, mengusulkan perlunya perubahan kurikulum pendidikan
tinggi hukum dengan diperbanyak materi praktek/magang untuk para mahasiswa
hukum supaya setelah selesai dari pendidikan siap terjun ke profesional. “Bila
ini dilakukan”, tukas Suwito,” saya yakin kelulusan tahun-tahun mendatang akan
lebih meyakinkan, baik dari segi kuantítas maupun kualitas”. Suwito memberi
contoh Malaysia yang pendidikan tinggi hukumnya sudah lebih siap dengan
praktek, dan ditambah dengan kemampuan bahasa asing dan rata-rata sudah
menempuh pendidikan S2/Magíster, seorang calon lawyer hanya perlu magang selama
9 bulan sebelum diangkat menjadi lawyer.