Dr. W Suwito SH, MH: Politik Hukum Industri Pers
Dr. W Suwito SH, MH: Politik Hukum Industri Pers. Internet |
Bagian 24 dari Disertasi berjudul: Politik Hukum Pengelolaan Industri Pers Berbasis Keadilan Sosial, Studi Kasus Persaingan Pers Lokal dan Nasional di Pontianak
Negara bertanggungjawab untuk mengatur agar kesejahteraan wargnya di segala bidang daat diselenggarakan dengan baik, termasuk kesejahteraan komunitas pers yang menjalankan kegiatannya melalui industri pers. Kesejahteraan insan pers harus dijamin oleh negara agar dapat terwujudagar insan pers di Indonesia dapat membangun industri pers yang sehat, memiliki tanggung jawab sosial, profesional demi mengabdi kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada satu sisi peran pers sebagai pilar ke-empat demokrasi sangat dibutuhkan untuk menyelenggarakan kontrol sosial terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara oleh tiga pilar lainnya yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di sisi lain insan pers yang menjalankan peran dan fungsinya melalui industri pers juga perlu diwujudkan kesejahteraannya sebagaimana kesejahteraan warga negara lainnya. Kesejahteraan insan pers sebagaimana yang dimaksud di dalam Tap MPR tersebut diwujudkan melalui perusahaan pers yang menjadi wahana dan sarana insan pers mewujudkan karya jurnalistiknya.UU Pers telah mengatur dan menjamin bahwa insan pers dapat menjalankan peran dan fungsinya secara independen dan bebas dari sensor, breidel dan kontrol dari pemerintah. UU Pers telah meletakkan dasar-dasar pengaturan kehidupan pers nasional yang bersifat swa kelola dan swa kontrol. Pers nasional dibebaskan untuk mengatur dan mengelola sendiri kegiatannya. Menurut Bagir Manan, dlam terminologi pers di Indonesia tidak dikenal istilah “pers lokal”, namun dalam kenyataannya diakui bahwa pers lokal memang ada. Pers lokal adalah bagian dari pers nasional sebagaimana yang dimaksudkan di dalam UU Pers. Bahwa dalam praktiknya ternyata insan pers sebagai pelaku dan perusahaan pers sebagai badan hukum belum bisa menjalankan industri pers seperti yang dimaksudkan oleh undang-undang, hal itu adalah merupakan masalah yang dicarikan solusinya melalui penelitian disertasi ini.
Melalui penelitian disertasi ini, diperoleh temuan bahwa perrsoalan kematian atau terpinggirkannya pers lokal disebabkan karena tata kelola industri pers belum diatur sebagaimana mestinya. Menurut prinsip swa kelola dan swa kontrol yang diatur ooleh UU Pers, maka tata kelola industri pers itu harus diselenggarakan oleh komunitas pers itu sendiri. Industri pers terdiri dari proses produksi dan distribusi yang panjang mulai dari wartawan sampai ke pengedar koran (loper). Proses tersebut memerlukan tata kelola yang baik (good governance) agar hasilnya tidak merugikan masyarakat atau bahkan merugikan komunitas pers itu sendiri seperti yang terjadi di Pontianak saat ini.
Hal-hal yang mutlak perlu diatur dalam tata kelola industri pers antara lain: (1) Proses produksi surat kabar; (2) Pemasaran dan Penjualan; (3) Proses distribusi surat kabar dari penerbit sampai ke konsumen; (4) Proses pelayanan konsumen: (5) Proses pengaduan dan penyelesaian keluhan konsumen; (6) Komunikasi; (7) penanganan surat kabar yang kembali karena tidak terjual. Di Indonesia termasuk juga di Pontianak, komunitas pers ternyata belum mengatur persoalan tersebut padahal undang-undang sudah memberi kesempatan yang luas kepada mereka untuk mengaturnya sendiri.
Baca Juga: Dr. W Suwito SH, MH: Nilai Keadilan Sosial Landasan Normatif Politik Hukum Industri Pers
Berdasarkan kenyataan bahwa: (1) komunitas pers belum bisa menyelenggarakan tata kelola industri pers yang baik sehingga menyebabkan pers lokal mati atau terpinggirkan; (2) masyarakat dirugikan karena diberi informasi yang bernilai budaya rendah (tidak berkualitas); (3) dalam jangka panjang praktik persaingan industri pers yang tidak sehat ini bisa mengurangi kesejahteraan insan pers itu sendiri; (4) bahwa masyarakat pada umumnya dan komunitas pers lokal pada khususnya membutuhkan adanya regulasi hukum yang bisa menjamin terwujudnya tata kelola industri pers yang baik, maka negara harus turun tangan untuk mengaturnya. Yaitu dengan membuat kebijakan untuk mengatur tata kelola industri pers yang diwujudkan dalalam bentuk politik hukum pengelolaan industri pers.
Kebijakan tersebut diarahkan untuk mengembalikan keseimbangan pasar yang sudah terdistorsi oleh tindakan pelaku industri pers yang mengabaikan prinsip keseimbangan dan prinsip keadilan sosial. Dasar hukum untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata kelola industri pers adalah ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Kebiakan tersebut harus diwujudkan dalam bentuk politik hukum pengelolaan industri pers yang merupakan bagian dari politik hukum nasional. Pada tataran praktis maka politik hukum pengelolaan industri pers harus diwujudkan dalam bentuk undang-undang.
Menurut Pasal 1 angka (1) dan Pasal 1 angka (2Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa:
Pasal 1 angka (1)
“Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan”.
Pasal 1 angka (2)
“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”.
Merujuk pada ketentuan tersebut, maka politik hukum pengelolaan industri pers adalah termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan yang harus berupa peraturan tertulis, memuat norma hukum yang mengikat secara umum, serta ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan di dalam undang-undang. Agar politik hukum pers dapat diterima dan diterapkan secara efektif di masyarakat, maka harus dipenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan