Dr. W Suwito SH, MH: Pers dan Relasi kekuasaan Dalam Perspektif Studi Kritis

Dr. W Suwito SH, MH: Pers dan Relasi kekuasaan Dalam Perspektif Studi Kritis



Bagian 7 dari Disertasi berjudul: Politik Hukum Pengelolaan Industri Pers Berbasis Keadilan Sosial, Studi Kasus Persaingan Pers Lokal dan Nasional di Pontianak

Kajian dalam buku ini menganalisis tentang relasi pers dengan kekuasaan dalam perspektif paradigma studi kritis dengan memakai pendekatan ekonomi politik, yaitu studi tentang relasi sosial, khususnya relasi kuasa yang membentuk pola produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya, termasuk sumber daya komunikasi.  Pendekatan ini dirasa tepat karena penelitian ini ingin melihat bagaimana peralihan kuasa negara kepada kuasa  modal telah terjadi dalam sejarah media Indonesia. Relasi pers dengan kapitalisme dapat dilihat dari interaksi dialektis tiga dimensi kekuasaan yaitu kekuatan masyarakat sipil, kekuatan pasar, dan kekuatan institusi publik membentuk struktur kebijakan dan ruang publik yang diciptakan pers di Indonesia.

Mewarisi logika berpikir materialisme hitoris dari Karl Marx, kelompok kritis berpikir dalam skema base structure-super structure. Corak produksi ekonomi material menentukan bangunan ideologis, kultural, dan intelektual   masyarakat.  Determinisme struktural berbasis ekonomi  ini menjadi pegangan penting untuk memahami cara berpikir kelompok kritis. Theodor Adorno mewarisi logika ini bersama koleganya di Frankfurt School seperti Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Juergen Habermas, dan lain-lain. Theodor Adorno terkenal dengan konsep industri kebudayaan (cultural industry)dimana produk-produk kebudayaan dan kesenian tidak lagi sekedar medium ekspresi manusia namun sudah menjadi komoditas. Dalam  dunia aktual, mungkin istilah industri kebudayaan tidak  terlalu banyak dianggap sebagai suatu hal yang ideologis karena hampir semua aktivitas kebudayaan saat ini susah sekali untuk dilepaskan dari konteks modal. Namun pada  era 1940-an sampai 1950-an, tema itu masih relevan karena merupakan awal dari perkembangan komodifikasi   ekspresi simbolik karya seni oleh kekuatan kapital.                               

Konteks pemikiran normatif yang berkembang pada  saat konsep industri kebudayaan adalah pertentangan  mengenai budaya tinggi (high culture)dan budaya rendah (low culture) yang berkembang di kelompok Frankfurt  Schooldi antaranya oleh Max Horkheimer, Herbert  Marcuse, dan Adorno sendiri. Menurut Mudji Sutrisno (2006), pembedaan budaya tinggi dan budaya rendah  mempunyai pengandaian ‘kualitas estetis’ yang meliputi penilaian tentang indah, yang baik (bonum) dan nilai.  Dalam kategorisasi itu pula, Adorno dan Horkheimer  berpendapat bahwa komodifikasi ekspresi estetis oleh  industri akan mendorong karya kesenian ke dalam kategori low culture. Adorno melihat bahwa kultur yang dihasilkan dalam culture industry bersifat manipulatif, tidak otentik, dan tidak memuaskan. Adanya standardisasi dalam kultur  industrial membuat reaksi publik yang juga standar. Jiwa manusia dilemahkan menjadi konformis.                                   

Manusia  tidak lagi otonom dan merupakan entitas individual, namun hanya merupakan anggota dari entitas kawanan  dimana selera dan pilihan-pilihan individualnya sudah tak  berdaya lagi menghadapi struktur produksi kebudayaan yang sudah ditentukan oleh kehendak para produsen  kebudayaan yang berorientasi kapitalistik. Adorno dan Horkheimer menulis karya penting  tetang kritik kebudayaan yaitu  The Culture Industry:   Enlightenment as Mass Deception (1944). Garis besar  dari ide dalam buku tersebut adalah, masyarakat telah  mengalami penipuan (deception)akibat dari struktur industri budaya yang berorientasi pada akumulasi modal sehingga otonomi estetika dikesampingkan. Sebuah karya seni seharusnya otonom dan merupakan hasil dari refleksi dan artikulasi humanistis pembuatnya. Namun dalam industri kebudayaan, otonomi karya itu hilang karena kualitas sebuah karya ditentukan oleh nilai tambah yaitu sejauh mana karya tersebut mampu menghasilkan keuntungan.                                    

Arti pentingnya adalah, walaupun perdagangan karya  sudah terjadi sejak karya itu dijual sebelum era kapitalisme kontemporer, namun pada saat itu otonomi karya masih ada. Pada masa kapitalisme kontemporer, kehendak ‘selera pasar’ yang menentukan corak estetis sebuah karya. Estetika karya seni dengan demikian ditentukan oleh kehendak kapital dalam rangka memupuk keuntungan. Publik telah ditipu (decepted) oleh mekanisme ini karena preferensi selera individual harus melebur dalam selera pasar.

Industri budaya melahirkan produk-produk yang  dirancang untuk dikonsumsi massa, dan untuk derajat yang luas menentukan corak pengkonsumsiannya, dan dimanufaktur sesuai dengan rencana tersebut. Konsumen  dalam industri budaya bukanlah faktor primer, melainkan  faktor sekunder. Konsumen bukanlah raja, bukan subjek melainkan objek mereka adalah objek kalkulasi,  pelengkap dalam siklus industri.      

Hal menarik untuk ditelaah lebih lanjut adalah bagaimana media massa berperan dalam konteks industri  kebudayaan dan kapitalisme. Herbert Irving Schiller (1974) melihat posisi media massa sebagai aparatus budaya-informasional yang ampuh untuk mereproduksi  kebudayaan yang seturut dengan kehendak kapital. Media  massa merupakan alat yang ampuh untuk membentuk,  merawat, dan mereproduksi kebudayaan dan selera  masyarakat. Media massa tidak memberikan pilihan-pilihan individual kepada penontonnya namun melakukan distribusi informasi yang bersifat massal karena aspek  massal itu akan membangun selera yang mendukung aktivitas jual beli produk dalam kapitalisme. Akumulasi  keuntungan mensyaratkan satu produk dibeli oleh banyak konsumen.

Publik tidak merasa bahwa kesadaran (consent) mereka sedang direkayasa dan dibentuk preferensi estetiknya untuk melanggengkan kapitalisme. Efek lain dari situasi ini adalah adanya cultural domination  karena hanya corak kebudayaan yang sesuai dengan kehendak kapital saja yang diakomodasi dan berkembang di media massa. Media massa tidak lagi mengakomodasi kepentingan kebudayaan di luar corak itu. Kesadaran (consent)merupakan kata kunci penting untuk melihat rangkaian pemikiran dari intelektual berparadigma kritis terutama Schiller (1974), Antonio  Gramsci (1991), Noam Chomsky & Edwad S. Herman (2002), dan Douglas Kellner (1990).

Gramsci dalam skema hegemoninya membedakan dua jenis aparat perawatan ideologis yaitu apparatus koersif dan apparatus ideologis (coersive apparatus-ideological apparatus).  Apparatus koersif menciptakan ketaatan publik lewat sarana kekerasan, dimana orang terdominasi oleh pihak yang berkuasa karena ancaman kekerasan. Apparatus ideologis bekerja pada wilayah intelektual dimana ketaatan manusia terjadi secara sukarela karena kesadaran itu terbentuk secara moral dan intelektual (intellectual and moral direction/intelettuale e morale direzzione.  Produksi konsepsi moral dan intelektual itu dilakukan oleh berbagai lembaga sosial seperti sekolah, universitas, lembaga agama, media massa, rumah sakit, dan lain-lain. Hegemoni adalah situasi dimana orang dikuasai secara mental, moral, dan intelektual namun orang tidak sadar akan kekuasaan tersebut, sehingga menjadi tindakan sukarela atas dasar kesepakatan. Menurut Gramsci, relasi sosial akan selalu berada dalam tegangan (unstable equlibrium)sehingga untuk menciptakan keseimbangan perlu dilakukan proyek intelektual menuju hegemoni.                                          

Selama dipenjara oleh rezim militer Italia, Gramsci menulis catatan harian yang kemudian dirangkum dalam satu buku berjudul Prison Notebooks(1929-1933). Dalam karya penting ini Gramsci mengajukan proposisi radikal  dalam konteks marxisme yaitu bahwa dominasi kekuasaan tidak melulu bersumber dari kepentingan ekonomi namun juga karena sumber-sumber kultural dan politis. Di sinilah aspek kesadaran menjadi tema sentral dalam pemikiran Gramsci. Selain hegemoni, Gramsci juga membangun dua konsep penting yaitu blok historis dan blok solidaritas. Blok historis ditandai oleh hubungan dialektis di antara  dimensi kehidupan kelas-kelas sosial yang sedemikian rupa sehingga saling mendukung di bawah hegemoni kelas borjuasi. Ciri khas adanya blok historis adalah keseimbangan fungsi tiga unsur yaitu unsur ekonomi, hubungan militer, dan politik. Unsur ekonomi meliputi dilektika antara alat-alat produksi dan hubungan produksi.                                          

Unsur hubungan meliputi penguasaan negara terhadap alat-alat represif untuk menundukkan perlawanan. Unsur  politik meliputi keseluruhan kesadaran universal tidak hanya kesadaran sebagai pelaku ekonomi. Blok solidaritas adalah rekomendasi Gramsci untuk melawan blok historis dengan cara menggalang sebanyak mungkin intelektual progresif. Tujuan akhirnya adalah  pembebasan massa rakyat dari dominasi borjuasi. Gramsci membedakan dua jenis intelektual yaitu intelektual organik yaitu intelektual yang berada bersama massa dan intelektual tradisional yaitu intelektual yang menjadi  bagian dari apparatus ideologis penguasa.  

Cara pandang Gramsci terhadap media massa sebagai  lembaga sosial bisa menjadi bagian dari apparatus ideologis  penguasa dimana media massa merawat kepentingan penguasa, namun bisa juga menjadi bagian dari blok   solidaritas menuju pembebasan dari dominasi borjuis. Sebagai lembaga sosial, media massa memiliki peran  kunci karena mampu melakukan reproduksi intelektual  atas dasar ideologi kelas tertentu. Kebanyakan kritikus di Indonesia melihat media massa dalam fungsi hegemoni  namun tidak banyak yang memposisikannya sebagai  bagian dari proyek counter-hegemonymenuju pembebasan massa rakyat.

Noam Chomsky dan Edward S. Herman terkenal dengan karya klasik mereka, Manufacturing Consent  (1988, 2002). Buku ini pada intinya hendak mengatakan bahwa di negara dengan kualitas demokrasi yang maju seperti Amerika Serikat sekalipun, bias kepentingan  politik dalam media massa tetap saja bisa terjadi. Dengan memperkenalkan model propaganda  (propaganda model), mereka berdua mengatakan bahwa media massa melayani dan memprogandakan kepentingan sosial yang membiayai dan mengontrol media massa. Bahkan kepentingan itu mampu mengatur agenda dan prinsip yang mendukung kepentingan mereka, termasuk didalamnya dalam penyusunan kebijakan media. Faktor-faktor struktural seperti kepemilikan media dan sumber  pembiayaan merupakan faktor penentu penting dalam membentuk berita dan tampilan akhir media.

Pada buku Manufacturing Consent edisi revisi tahun 2002, Chomsky dan Herman memasukkan perkembangan baru  media massa dalam ranah globalisasi. Dengan demikian model propaganda diperluas dari edisi sebelumnya yang berfokus pada aspek politik luar negeri Amerika menjadi lebih berfokus pada aspek globalisasi dengan determinasi kepentingan ekonomi Amerika Serikat. Chomsky dan Herman dipengaruhi oleh Ben Bagdikian dalam Media Monopoly(1983) yang melihat bagaimana konvergensi kepemilikan media telah terjadi di Amerika Serikat sehingga hanya menjadi sekitar lima puluh  perusahaan media saja. Pada tahun 1990-an, konvergensi semakin mengerucut menjadi dua puluh tiga perusahaan saja. Mereka juga mengutip McChesney dalam kasus  merebaknya ekspansi media terutama televisi secara global sebagai akibat dari menguatnya kapitalisme korporatis.

Pada era 1990-an, gelombang globalisasi itu telah memposisikan hanya sembilan konglomerat media saja yaitu Disney, AOL, Time Warner, Viacom (pemilik CBS), News Corporation, Bertelsmann, General Electric (pemilik NBC), Sony, AT&T-Liberty Media, dan Vivendi Universal. Raksasa-raksasa itulah yang menguasai jaringan studio film dunia, jaringan televisi, perusahaan musik, saluran dan sistem kabel, majalah, stasiun TV utama, dan penerbitan buku.  Memang peredaran media di wilayah global sudah lama terjadi di industri film dan buku, namun hanya dalam dua puluh tahun terakhirlah sistem media global telah mampu memunculkan dampak pada sistem media, budaya, dan politik domestik nasional. Bahan bakar utama dari  proses ini adalah globalisasi bisnis, pertumbuhan iklan  internasional, dan perkembangan teknologi komunikasi yang mampu memfasilitasi komunikasi trans nasional.  Secara ideologis, proses ini juga banyak dibantu oleh kebijakan luar negeri dan konsolidasi neoliberalisme.                         

Amerika Serikat dan negara Barat lain telah memainkan peran penting dalam mendorong perusahaan-perusahaan domestik mereka untuk melakukan ekspansi perluasan pasar global dimana IMF dan World Bank melakukan hal yang sama, dengan salah satunya memperbesar akses trans nasional pasar media massa global. Ideologi neoliberal menjadi alasan intelektual bagi berbagai kebijakan media yang membuka struktur kepemilikan penyiaran, kabel, dan sistem satelit bagi para investor swasta transnasional.   Douglas Kellner (2003) melihat proses globalisasi ini telah membuat adanya kontradiksi dalam media massa dan ruang publik sebagai akibat dari perkembangan demokrasi pada satu sisi dan kapitalisme pada sisi yang lain. Aspek normatif dalam demokrasi telah “dikhianati” sendiri oleh kapitalisme yang dalam perkembangannya telah mencederai prinsip-prinsip normatif demokrasi.

 Prinsip one vote one voice dalam demokrasi tidak bisa dihadirkan dalam kapitalisme sehingga menciptakan masyarakat modern yang tetap terbelah ke dalam struktur  ketidaksetaraan. Media massa merupakan contoh penting bagaimana kontradiksi antara demokrasi dan kapitalisme terjadi. Prinsip demokratis penyebaran informasi ternyata  masih melahirkan korporasi media yang feodal dan elitis yang menciptakan organisasi media sendiri sebagai  penguasa ekonomi yang potensial mencederai demokrasi. Inilah yang menurut Kellner telah menyebabkan kontradiksi internal dalam media massa dan ruang publik.  Secara lebih mendalam, Kellner memaparkan adanya keterjebakan dalam melihat globalisasi ke dalam determinisme tertentu. Yang dipetakan adalah determinisme teknologi dan determisme ekonomi. Kellner tidak melihat globalisasi sebagai sekedar perluasan inovasi  teknologi dan bahwa teknologi semata yang menjadi imperatif dalam globalisasi seperti yang dilihat pemikir postmodern Baudrillard (1993).

Baudrillard melihat  bahwa teknologi telah menjadi prinsip yang mengatur tatanan masyarakat. Konsep simulasi (simulation) menuju  simulacrum menjelaskan hal ini. Pun juga, Kellner menolak adanya determinisme ekonomi yang melihat globalisasi semata sebagai perluasan pasar ekonomi domestik Barat ke suluruh dunia seperti yang dilihat Fukuyama (1992). Kellner melihat gejala dalam globalisasi dengan satu  konsep techno-capitalism yang menjelaskan sintesis antara inovasi teknologi dan kapitalisme sebagai motor utama globalisasi. Dengan neoliberalisme sebagai ideologi hegemonik, logika pasar telah menjadi panglima di atas kepentingan publik, dan bahwa negara telah menjadi subversi dari logika dan imperatif ekonomi. Konsep techno-capitalism menunjuk adanya konfigurasi baru dalam masyarakat kapitalis dimana pengetahuan dan teknologi, komputerisasi, otomatisasi kerja, dan teknologi informasi beserta multimedia memainkan peran penting dalam proses produksi yang analog dengan fungsi tenaga kerja dan mesin pada awal kapitalisme. Proses ini memunculkan modus baru dalam organisasi sosial, bentuk budaya dan life style, konflik, dan modus perlawanan. 

Terkait bagaimana media memainkan peran dalam  globalisasi, Edward S. Herman dan Robert McChesney memberi judul provokatif untuk buku karya mereka: The Global Media, The New Missionaries of Corporate Capitalism(1997). Media massa dipadankan dengan  gerakan misionaris Kristen oleh Barat ke seluruh dunia untuk mengabarkan kekristenan sejak Abad Pertengahan. Dari judul itu juga cukup jelas bahwa menurut mereka, kapitalisme korporat merupakan kekuatan di balik merebaknya internasionalisasi media sejak 1980-an. Lalu apakah yang mereka sebut sebagai kapitalisme korporat itu? Herman dan McChesney memaknainya dalam nada yang sama terhadap kritik neoliberalisme. Menurut mereka, ideologi di balik itu adalah  korporatisme global yang berakar pada neoliberalisme.                                               

Terdapat beberapa elemen korporatisme global yaitu, pertama, pasar mengalokasikan sumber daya secara efisien dan memberi corak organisasi ekonomi dan kehidupan  manusia. Kebebasan dimaknai sebagai hilangnya  kontrol terhadap dinamika ekonomi. Kedua,intervensi pemerintah-termasuk subsidi- dianggap sebagai beban yang mengganggu kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.  Ketiga,korporatisme global percaya bahwa tujuan tujuan dari ekonomi dan keseluruhan kebijakan ekonomi                      adalah pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustainable economic growth). Keempat, dengan mengontrol inflasi, tujuan dari kebijakan ekonomi makro adalah pertumbuhan ekonomi yang diukur oleh indikator  kuantitatif semacam GDP dan GNP. Kelima, adanya kepercayaan bahwa privatisasi akan memunculkan efisiensi ekonomi.    

LihatTutupKomentar
Cancel

Note: Only a member of this blog may post a comment.