Dr. W Suwito SH, MH: Pers dan Relasi kekuasaan Dalam Perspektif Studi Kritis
Bagian 7 dari Disertasi berjudul: Politik Hukum Pengelolaan Industri Pers Berbasis Keadilan Sosial, Studi Kasus Persaingan Pers Lokal dan Nasional di Pontianak
Mewarisi logika berpikir materialisme hitoris dari Karl Marx, kelompok kritis berpikir dalam skema base structure-super structure. Corak produksi ekonomi material menentukan bangunan ideologis, kultural, dan intelektual masyarakat. Determinisme struktural berbasis ekonomi ini menjadi pegangan penting untuk memahami cara berpikir kelompok kritis. Theodor Adorno mewarisi logika ini bersama koleganya di Frankfurt School seperti Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Juergen Habermas, dan lain-lain. Theodor Adorno terkenal dengan konsep industri kebudayaan (cultural industry)dimana produk-produk kebudayaan dan kesenian tidak lagi sekedar medium ekspresi manusia namun sudah menjadi komoditas. Dalam dunia aktual, mungkin istilah industri kebudayaan tidak terlalu banyak dianggap sebagai suatu hal yang ideologis karena hampir semua aktivitas kebudayaan saat ini susah sekali untuk dilepaskan dari konteks modal. Namun pada era 1940-an sampai 1950-an, tema itu masih relevan karena merupakan awal dari perkembangan komodifikasi ekspresi simbolik karya seni oleh kekuatan kapital.
Konteks pemikiran normatif yang berkembang pada saat konsep industri kebudayaan adalah pertentangan mengenai budaya tinggi (high culture)dan budaya rendah (low culture) yang berkembang di kelompok Frankfurt Schooldi antaranya oleh Max Horkheimer, Herbert Marcuse, dan Adorno sendiri. Menurut Mudji Sutrisno (2006), pembedaan budaya tinggi dan budaya rendah mempunyai pengandaian ‘kualitas estetis’ yang meliputi penilaian tentang indah, yang baik (bonum) dan nilai. Dalam kategorisasi itu pula, Adorno dan Horkheimer berpendapat bahwa komodifikasi ekspresi estetis oleh industri akan mendorong karya kesenian ke dalam kategori low culture. Adorno melihat bahwa kultur yang dihasilkan dalam culture industry bersifat manipulatif, tidak otentik, dan tidak memuaskan. Adanya standardisasi dalam kultur industrial membuat reaksi publik yang juga standar. Jiwa manusia dilemahkan menjadi konformis.
Manusia tidak lagi otonom dan merupakan entitas
individual, namun hanya merupakan anggota dari entitas kawanan dimana selera dan pilihan-pilihan
individualnya sudah tak berdaya lagi
menghadapi struktur produksi kebudayaan yang sudah ditentukan oleh kehendak
para produsen kebudayaan yang
berorientasi kapitalistik. Adorno dan Horkheimer menulis karya penting tetang kritik kebudayaan yaitu The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception (1944).
Garis besar dari ide dalam buku tersebut
adalah, masyarakat telah mengalami
penipuan (deception)akibat dari struktur industri budaya yang berorientasi pada
akumulasi modal sehingga
otonomi estetika dikesampingkan. Sebuah karya seni seharusnya otonom dan
merupakan hasil dari refleksi dan artikulasi humanistis pembuatnya. Namun dalam
industri kebudayaan, otonomi karya itu hilang karena kualitas sebuah karya
ditentukan oleh nilai tambah yaitu sejauh mana karya tersebut mampu menghasilkan keuntungan.
Arti pentingnya adalah, walaupun
perdagangan karya sudah terjadi sejak
karya itu dijual sebelum era kapitalisme kontemporer, namun pada saat itu
otonomi karya masih ada. Pada masa kapitalisme kontemporer, kehendak ‘selera
pasar’ yang menentukan corak estetis sebuah karya. Estetika karya seni dengan
demikian ditentukan oleh kehendak kapital dalam rangka memupuk keuntungan.
Publik telah ditipu (decepted) oleh mekanisme ini karena preferensi selera
individual harus melebur dalam selera pasar.
Industri budaya melahirkan
produk-produk yang dirancang untuk
dikonsumsi massa, dan untuk derajat yang luas menentukan corak
pengkonsumsiannya, dan dimanufaktur sesuai dengan rencana tersebut. Konsumen dalam industri budaya bukanlah faktor primer,
melainkan faktor sekunder. Konsumen
bukanlah raja, bukan subjek melainkan objek mereka adalah objek kalkulasi, pelengkap dalam siklus industri.
Hal menarik untuk ditelaah lebih
lanjut adalah bagaimana media massa berperan dalam konteks industri kebudayaan dan kapitalisme. Herbert Irving
Schiller (1974) melihat posisi media massa sebagai aparatus budaya-informasional
yang ampuh untuk mereproduksi kebudayaan
yang seturut dengan kehendak kapital. Media massa
merupakan alat yang ampuh untuk membentuk,
merawat, dan mereproduksi kebudayaan dan selera masyarakat. Media massa tidak memberikan
pilihan-pilihan individual kepada penontonnya namun melakukan distribusi
informasi yang bersifat massal karena aspek
massal itu akan membangun selera yang mendukung aktivitas jual beli produk dalam kapitalisme. Akumulasi keuntungan mensyaratkan satu produk dibeli
oleh banyak konsumen.
Publik tidak merasa bahwa kesadaran
(consent) mereka sedang direkayasa dan dibentuk preferensi estetiknya untuk
melanggengkan kapitalisme. Efek lain
dari situasi ini adalah adanya cultural domination karena hanya corak kebudayaan yang sesuai
dengan kehendak kapital saja yang diakomodasi dan berkembang di media massa.
Media massa tidak lagi mengakomodasi kepentingan kebudayaan di luar corak
itu. Kesadaran (consent)merupakan kata kunci penting untuk melihat rangkaian
pemikiran dari intelektual berparadigma kritis terutama Schiller (1974),
Antonio Gramsci (1991), Noam Chomsky
& Edwad S. Herman (2002), dan Douglas Kellner (1990).
Gramsci dalam skema hegemoninya membedakan dua jenis aparat perawatan ideologis yaitu apparatus koersif dan apparatus ideologis (coersive apparatus-ideological apparatus). Apparatus koersif menciptakan ketaatan publik lewat sarana kekerasan, dimana orang terdominasi oleh pihak yang berkuasa karena ancaman kekerasan. Apparatus ideologis bekerja pada wilayah intelektual dimana ketaatan manusia terjadi secara sukarela karena kesadaran itu terbentuk secara moral dan intelektual (intellectual and moral direction/intelettuale e morale direzzione. Produksi konsepsi moral dan intelektual itu dilakukan oleh berbagai lembaga sosial seperti sekolah, universitas, lembaga agama, media massa, rumah sakit, dan lain-lain. Hegemoni adalah situasi dimana orang dikuasai secara mental, moral, dan intelektual namun orang tidak sadar akan kekuasaan tersebut, sehingga menjadi tindakan sukarela atas dasar kesepakatan. Menurut Gramsci, relasi sosial akan selalu berada dalam tegangan (unstable equlibrium)sehingga untuk menciptakan keseimbangan perlu dilakukan proyek intelektual menuju hegemoni.
Selama dipenjara oleh rezim militer
Italia, Gramsci menulis catatan harian yang kemudian dirangkum dalam satu buku
berjudul Prison Notebooks(1929-1933). Dalam karya penting ini Gramsci mengajukan proposisi radikal dalam konteks marxisme yaitu bahwa dominasi
kekuasaan tidak melulu bersumber dari kepentingan ekonomi namun juga karena
sumber-sumber kultural dan politis. Di sinilah aspek kesadaran menjadi tema
sentral dalam pemikiran Gramsci. Selain hegemoni, Gramsci juga membangun dua
konsep penting yaitu blok historis dan blok solidaritas. Blok historis ditandai
oleh hubungan dialektis di antara
dimensi kehidupan kelas-kelas sosial yang sedemikian rupa
sehingga saling mendukung di bawah hegemoni kelas borjuasi. Ciri khas adanya
blok historis adalah keseimbangan fungsi tiga unsur yaitu unsur ekonomi,
hubungan militer, dan politik. Unsur ekonomi meliputi dilektika antara
alat-alat produksi dan hubungan produksi.
Unsur hubungan meliputi penguasaan
negara terhadap alat-alat represif untuk menundukkan perlawanan. Unsur politik meliputi keseluruhan kesadaran
universal tidak hanya kesadaran sebagai pelaku ekonomi. Blok solidaritas adalah
rekomendasi Gramsci untuk melawan blok historis dengan cara menggalang
sebanyak mungkin
intelektual progresif. Tujuan akhirnya adalah
pembebasan massa rakyat dari dominasi borjuasi. Gramsci membedakan dua
jenis intelektual yaitu intelektual organik yaitu intelektual yang berada bersama massa dan intelektual
tradisional yaitu intelektual yang menjadi
bagian dari apparatus ideologis penguasa.
Cara pandang Gramsci terhadap media
massa sebagai lembaga sosial bisa
menjadi bagian dari apparatus ideologis
penguasa dimana media massa merawat kepentingan penguasa, namun bisa
juga menjadi bagian dari blok
solidaritas menuju pembebasan dari dominasi borjuis. Sebagai lembaga
sosial, media massa memiliki peran kunci
karena mampu melakukan reproduksi intelektual
atas dasar ideologi kelas tertentu. Kebanyakan kritikus di Indonesia
melihat media massa dalam fungsi hegemoni
namun tidak banyak yang memposisikannya sebagai bagian dari proyek counter-hegemonymenuju
pembebasan massa rakyat.
Noam Chomsky dan Edward S. Herman
terkenal dengan karya klasik mereka, Manufacturing Consent (1988, 2002). Buku ini pada intinya hendak
mengatakan bahwa di negara dengan kualitas demokrasi yang maju seperti Amerika
Serikat sekalipun, bias kepentingan
politik dalam media massa tetap saja bisa terjadi. Dengan memperkenalkan model propaganda
(propaganda model), mereka berdua mengatakan bahwa media massa melayani
dan memprogandakan kepentingan sosial yang membiayai dan mengontrol media
massa. Bahkan kepentingan itu mampu mengatur agenda dan prinsip yang mendukung
kepentingan mereka, termasuk didalamnya dalam penyusunan kebijakan media. Faktor-faktor struktural
seperti kepemilikan media dan sumber
pembiayaan merupakan faktor penentu penting dalam membentuk berita dan tampilan akhir media.
Pada buku Manufacturing Consent
edisi revisi tahun 2002, Chomsky dan Herman memasukkan perkembangan baru media massa dalam ranah globalisasi. Dengan
demikian model propaganda diperluas dari edisi sebelumnya yang berfokus pada
aspek politik luar negeri Amerika menjadi lebih berfokus pada aspek globalisasi
dengan determinasi kepentingan ekonomi Amerika Serikat. Chomsky dan Herman
dipengaruhi oleh Ben Bagdikian dalam Media Monopoly(1983) yang melihat
bagaimana konvergensi kepemilikan media telah terjadi di Amerika Serikat
sehingga hanya menjadi sekitar lima puluh
perusahaan media saja. Pada tahun 1990-an, konvergensi semakin
mengerucut menjadi dua puluh tiga perusahaan saja. Mereka juga mengutip
McChesney dalam kasus merebaknya ekspansi
media terutama televisi secara global sebagai akibat dari menguatnya kapitalisme
korporatis.
Pada era 1990-an, gelombang
globalisasi itu telah memposisikan hanya sembilan konglomerat media saja yaitu
Disney, AOL, Time Warner, Viacom (pemilik CBS), News Corporation, Bertelsmann, General Electric (pemilik NBC),
Sony, AT&T-Liberty Media, dan Vivendi Universal. Raksasa-raksasa itulah
yang menguasai jaringan studio film dunia, jaringan televisi, perusahaan musik,
saluran dan sistem kabel, majalah, stasiun TV utama, dan penerbitan buku. Memang peredaran media di wilayah global
sudah lama terjadi di industri film dan buku, namun hanya dalam dua puluh tahun
terakhirlah sistem media global telah mampu memunculkan dampak pada sistem
media, budaya, dan politik domestik nasional. Bahan bakar utama dari proses ini adalah globalisasi bisnis,
pertumbuhan iklan internasional, dan
perkembangan teknologi
Amerika Serikat dan negara Barat
lain telah memainkan peran penting dalam mendorong perusahaan-perusahaan
domestik mereka untuk melakukan ekspansi perluasan pasar global dimana IMF dan
World Bank melakukan hal yang sama, dengan salah satunya memperbesar akses
trans nasional pasar media massa global. Ideologi neoliberal menjadi alasan
intelektual bagi berbagai kebijakan media yang membuka struktur kepemilikan
penyiaran, kabel, dan sistem satelit bagi para investor swasta
transnasional. Douglas Kellner (2003)
melihat proses globalisasi ini telah membuat adanya kontradiksi dalam media
massa dan ruang publik sebagai akibat dari perkembangan demokrasi pada satu
sisi dan kapitalisme pada sisi yang lain. Aspek normatif dalam demokrasi telah
“dikhianati” sendiri oleh kapitalisme yang dalam perkembangannya telah
mencederai prinsip-prinsip normatif demokrasi.
Prinsip one vote one voice dalam demokrasi
tidak bisa dihadirkan dalam kapitalisme sehingga menciptakan masyarakat modern
yang tetap terbelah ke dalam struktur
ketidaksetaraan. Media massa merupakan contoh penting bagaimana
kontradiksi antara demokrasi dan kapitalisme terjadi. Prinsip demokratis
penyebaran informasi ternyata masih
melahirkan korporasi media yang feodal dan elitis yang menciptakan organisasi
media sendiri sebagai penguasa ekonomi
yang potensial mencederai demokrasi. Inilah yang menurut Kellner telah
menyebabkan kontradiksi internal dalam media massa dan ruang publik. Secara lebih mendalam, Kellner memaparkan
adanya keterjebakan dalam melihat globalisasi ke dalam determinisme tertentu.
Yang dipetakan adalah determinisme teknologi dan determisme ekonomi. Kellner
tidak melihat globalisasi sebagai sekedar perluasan inovasi teknologi dan bahwa teknologi semata yang
menjadi imperatif dalam globalisasi seperti yang dilihat pemikir postmodern
Baudrillard (1993).
Baudrillard melihat bahwa teknologi telah menjadi prinsip yang
mengatur tatanan masyarakat. Konsep simulasi (simulation) menuju simulacrum menjelaskan hal ini. Pun juga,
Kellner menolak adanya determinisme ekonomi yang melihat globalisasi semata sebagai perluasan pasar ekonomi domestik Barat ke suluruh dunia
seperti yang dilihat Fukuyama (1992). Kellner melihat gejala dalam globalisasi
dengan satu konsep techno-capitalism
yang menjelaskan sintesis antara inovasi teknologi dan kapitalisme
Terkait bagaimana media memainkan
peran dalam globalisasi, Edward S.
Herman dan Robert McChesney memberi judul provokatif untuk buku karya
mereka: The Global Media, The New Missionaries of Corporate Capitalism(1997).
Media massa dipadankan dengan gerakan
misionaris Kristen oleh Barat ke seluruh dunia untuk mengabarkan kekristenan
sejak Abad Pertengahan. Dari judul itu juga cukup jelas bahwa menurut mereka,
kapitalisme korporat merupakan kekuatan di balik merebaknya internasionalisasi
media sejak 1980-an. Lalu apakah yang mereka sebut sebagai kapitalisme korporat
itu? Herman dan McChesney memaknainya dalam nada yang sama terhadap kritik
neoliberalisme. Menurut mereka, ideologi di balik itu adalah korporatisme global yang berakar pada
neoliberalisme.
Terdapat beberapa elemen
korporatisme global yaitu, pertama, pasar mengalokasikan sumber daya secara
efisien dan memberi corak organisasi ekonomi dan kehidupan manusia. Kebebasan dimaknai sebagai hilangnya kontrol terhadap dinamika ekonomi.
Kedua,intervensi pemerintah-termasuk subsidi- dianggap sebagai beban yang
mengganggu kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga,korporatisme global percaya bahwa tujuan tujuan dari ekonomi dan
keseluruhan kebijakan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustainable economic
growth). Keempat, dengan mengontrol inflasi, tujuan dari kebijakan ekonomi
makro adalah pertumbuhan ekonomi yang diukur oleh indikator kuantitatif semacam GDP dan GNP. Kelima,
adanya kepercayaan bahwa privatisasi akan memunculkan efisiensi ekonomi.