Dr. W Suwito SH, MH: Media sebagai Anjing Penjaga (Watchdog)
Bagian 6 dari Disertasi berjudul: Politik Hukum Pengelolaan Industri Pers Berbasis Keadilan Sosial, Studi Kasus Persaingan Pers Lokal dan Nasional di Pontianak
Media harus mampu melahirkan laporan-laporan investigatif untuk menampilkan berbagai penyelewengan kekuasaan yang berlangsung di berbagai lembaga publik. Untuk itu, para pekerja media dituntut agar dapat melakukan peliputan bukan saja yang berupa peristiwa-peristiwa sesaat dalam bidang politik yang seringkali hanya menampilkan peristiwa-peristiwa yang bersifat permukaan, tetapi juga membuat laporan yang lebih mendalam tentang berbagai kehidupan para pemegang kekuasaan. Dengan demikian, media akan mampu memberi informasi yang berbeda dengan informasi yang mungkin sudah ‘direkayasa’ oleh para politisi untuk menjaga citra mereka.
Saat ini, kemajuan dalam bidang kehumasan dan pemasaran politik, telah dimanfaatkan dengan sangat baik oleh para politisi atau pemegang kekuasaan untuk merekayasa setiap peristiwa sedemikian rupa sehingga mereka selalu ‘tampak baik’ di dalam media massa. Berita atau laporan semacam ini tentu tidak dapat memberikan pendidikan politik bagi publik, melainkan praktik memperdaya publik memalui melalui manipulasi laporan dalam media. John Tulloch[1] mengulas masalah “manajemen berita (news management) yang diterapkan oleh berbagai organisasi untuk mempengaruhi liputan media melalui: (1) produksi informasi dan berbagai peristiwa secara terencana dan/atau (2) penciptaan hubungan yang manipulatif dengan wartawan dan para eksekutif media.
Para politisi atau partai pun punya kecenderungan melakukan ‘manajemen berita’ untuk memperoleh peliputan yang favourabledi media massa. Persoalannya, anjing penjaga yang ada justru kini tidak lagi menjadi anjing menjaga yang berfungsi sebagai pelayan kepentingan umum. Meminjam ungkapan James Curran[2], saat ini ada kecenderungan bahwa “ State-linked watchdogs can bark, while private watchdogs sleep.” Media sebagai watchdog dalam kenyataan sekarang sudah mulai diikat kakinya dan dijinakkan gonggongannya. Betapapun, anjing biasanya sangat mengenali tuannya. Dia tak akan menggonggong apalagi menggigit tuannya, walau mungkin tuannya melakukan tindakan yang mencurigakan. Dia hanya menggonggong kepada orang asing yang tidak dikenalnya.
Fenomena Ini terjadi di Indonesia, mengingat dalam kehidupan media saat ini sudah terkonsentrasi kepemilikannya pada segelintir elit pengusaha elit. Media sudah mulai dimiliki oleh pengusaha yang juga sekaligus terjun sebagai politisi. Sebagian dari mereka sadar dengan kekuatan media yang dapat dimanfaatkan untuk meraih keuntungan politis. Dalam keadaan demikian, sangat sulit bisa diharap media massa dapat menjadi anjing penjaga yang galak terhadap kekuasaaan. Untungnya, tidak semua mereka yang sukses dalam bisnis media massa berubah menjadi politisi. Masih bisa disaksikan sejumlah pemilik media tidak tergiur dengan status sebagai politisi Saat ini banyak juga pers yang diharapkan berfungsi sebagai watchdog telah dipelihara oleh orang atau lembaga yang harus digonggongnya.
Pada level kelembagaan, dapat disaksikan kecenderungan terjadinya pemusatan atau penguasaan media media oleh para pemilik modal yang kemudian juga terjun dalam politik. Pada level praktik jurnalistik, di beberapa lembaga pemerintah masih bisa dijumpai anggaran untuk membina wartawan sebagai pos yang disediakan dalam APBD. Ini adalah bentuk penjinakan oleh orang lain terhadap pers sebagai watchdog. Di tingkat pusat, kita mendengar selentingan adanya wartawan dari media tertentu yang tidakdiikutkan dalam berbagai perjalanan ke manca negara mengingat pers bersangkutan terlalu keras, barangkali’ gonggongannya sehingga dapat membangunkan warga yang terbuai pulas dengan pelancongan ke manca negara.