Dr. W Suwito SH, MH: Liberalisasi dan Kapitalisasi Pers
Bagian 3 dari Disertasi berjudul: Politik Hukum Pengelolaan Industri Pers Berbasis Keadilan Sosial, Studi Kasus Persaingan Pers Lokal dan Nasional di Pontianak
Proses liberalisasi di Indonesia secara sistemik sudah dimulai sejak tahun 1967 ketika Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto bergabung kembali dengan World Bank dan International Monetary Fund (IMF). Sebelumnya, Presiden Soekarno menolak mentah-mentah liberalisasi yang dia sebut sebagai neokolonialisme dan neoimperalisme (Nekolim). Percepatan liberalisasi oleh Orde Baru pada era 1980- an sejatinya tak terlalu mengherankan karena Orde Baru pada dasarnya hidup dari proses kapitalisasi yang berlangsung sejak politik pembangunan neo klasik yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, secara pragmatis tekanan ekonomi politik global semakin.
Argumen dasar liberalisasi adalah
mengurangi peran negara, kemudian menyerahkan penyediaan jasa kepada sektor swasta. Pengurangan peran negara
didasarkan pada efisiensi subsidi negara pada sektor layanan publik dan digantikan oleh kekuatan swasta. Pada taraf
tertentu, hak warga negara untuk mendapatkan layanan dari negara sering berubah
menjadi pihak konsumen dalam koridor relasi dagang. Peralihan peran warga negara menjadi konsumen
merupakan gejala umum yang terjadi dalam neoliberalisme. Pada pola umum, perubahan peran yang terjadi
adalah bergesernya peran negara sebagai penyedia layanan publik kepada pihak swasta. Sektor pendidikan,
penyediaan air bersih, kesehatan masyarakat, dan beberapa sektor lain mulai
mengalami pergeseran ini. Kewajiban negara
untuk memenuhi kebutuhan warga pelan-pelan digerus oleh sektor privat.
Hak masyarakat untuk mendapatkan layanan dasar dari negara sesuai konstitusi
telah digeser menjadi kewajiban di bawah mekanisme jual beli. Relasi politik dan tata krama warga negara telah
digeser menjadi relasi dan tata krama antara produsen-konsumen.
Seperti halnya liberalisasi yang
terjadi di berbagai sektor, media massa juga mengalami proses liberalisasi yang
luar biasa. Proses liberalisasi media massa di Indonesia berlangsung sangat
unik. Ada dua tahap dalam proses ini
yaitu semasa liberalisasi semasa Orde Baru masih berkuasa dan sesudahnya.
Liberalisasi pada tahap pertama lebih banyak terjadi pada televisi, sedangkan liberalisasi kedua ditandai oleh momen
penting pengesahan UU Pers No. 40/1999 dan UU Penyiaran No. 32/2002. Ade
Armando (2006) menyebutkan bahwa pada liberalisasi tahap pertama, proses utama
yang terjadi adalah akomodasi Soeharto terhadap kehendak kapital kroni Soeharto
untuk bermain pada wilayah penyiaran.
Wacana tentang otoritarianisme Orba merupakan amunisi ampuh untuk memperkuat isu demokrasi. Dalam perspektif politik, demokratisasi merupakan proses yang sangat didambakan mengingat kesewenang-wenangan penguasa waktu itu. Demikian pula perjuangan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, menemukan habitat paling tepat dalam konteks perlawanan politik terhadap mesin aparatus koersif dan aparatus ideologis Orba. Perjuangan penuh darah untuk menegakkan kebebasan pers merupakan bukti keseriusan Indonesia menegakkan harkat politik masyarakat sipil.
Perspektif hegemonian Antonio
Gramsci atau model ruang publik Jürgen Habermas dari tradisi neomarxis banyak
dijadikan acuan untuk menegaskan bahwa media massa berperan dalam program
perlawanan terhadap penguasa politik. Perspektif itu melengkapi wacana tentang
polarisasi political society dan civil
society dari tradisi Hegelian yang sering dipakai para pegiat demokrasi di
Indonesia. Hegemoni negara telah dilucuti. Namun rupanya masih
ada satu masalah terselip. Banyak orang
tidak waspada bahwa liberalisasi politik juga sering berarti liberalisasi
ekonomi.
Penumbangan rezim otoriter di
berbagai negara selalu diikuti oleh
penetrasi investasi global. Banyak kalangan lupa bahwa media massa merupakan entitas economicus yang
bisa saja mendurhakai publik. Dalam perspektif kebebasan pers klasik yang berakar pada pikiran
Rousseau tentang fungsi pilar keempat, media massa digambarkan sebagai entitas yang berhadapan dengan otoritas
politik negara dan mengabaikan kekuatan lain, misalnya pasar. Keterlibatan
gerakan masyarakat sipil tidak bisa
dianggap remeh karena berhubungan dengan aktor-aktor internasional
seperti lembaga bantuan asing dan multilateral.
Gerakan sipil dalam liberalisasi
media secara historis terjadi sejak 1994 setelah Soeharto membredel tiga media.
Secara teoritis, modus wacana kritik terkait media massa di Indonesia pada
penghujung Orba sampai sekitar tahun
2004 didominasi perspektif bahwa negara merupakan aktor opresi terhadap
media massa. Media massa dengan
demikian berada satu nasib dengan masyarakat umum karena sama-sama menjadi korban politik Orba.
Media diasumsikan sebagai anak domba di
antara para serigala bernama negara. Sebuah tayangan televisi dimana seorang
pembaca berita menitikkan air mata saat melaporkan terbunuhnya mahasiswa di
Semanggi tahun 1998 merupakan metafora
kuat yang menegaskan posisi media massa sebagai bagian dari perjuangan rakyat.
Hal ini agak berbeda dengan
liberalisasi pada tahap kedua. Pada tahap kedua, pola yang terjadi lebih rumit
karena melibatkan pemain internasional, gerakan masyarakat sipil pro demokrasi,
dan pebisnis. Konstelasi politiknya juga berbeda karena pemerintah era
reformasi harus lebih banyak mengakomodasi aspirasi gerakan pro demokrasi. Keterlibatan masyarakat sipil
dalam proses liberalisasi ini berbeda dengan proses liberalisasi di sektor
lainnya. Selain itu, dari sisi ideologis hal itu menjadi penting
karena gerakan reformasi sedikit banyak dipengaruhi oleh ideologi kritis
sebagaimana terbukti bahwa liberalisasi pada akhirnya justru membentuk dominasi
privat pada ruang publik. akan menarik untuk mencermati bagaimana dinamika masyarakat sipil selanjutnya
dalam merespon dominasi privat dan konvergensi kepemilikan media.
Akhir-akhir ini, dalam konteks arus
informasi yang dinamis akibat pertumbuhan media yang luar biasa, muncul juga
keluhan publik mengenai kualitas isi media, terutama media televisi.
Publik merasakan media tidak lagi terlalu memperhatikan agenda publik, namun
bergerak menurut kepentingan internal media itu sendiri. Yang patut dicatat
dari keluhan itu adalah fakta bahwa dalam
iklim kebebasan media, tetap saja media belum tentu mewakili agenda publik.
Jika diandaikan bahwa kebebasan media akan mampu mendorong kebebasan berekspresi dan
memperkuat agenda publik dalam media,
kini saatnya mengevaluasi pengandaian itu. Dalam iklim politik yang otoriter, negara dipandang
sebagai aktor yang membelenggu
kemerdekaan pers, dan diandaikan akan mengganggu kebebasan berekspresi publik.
Namun ketika tekanan negara berhasil dilucuti, tetap saja publik merasa, media belum sepenuhnya mewakili aspirasi
publik.
Liberalisasi dalam konteks
internasional sering pula bermakna sebagai proses structural adjustment
regulasi nasional terhadap regulasi kapitalisme global. Pola yang sering terjadi
adalah negara maju menekan negara berkembang agar menyesuaikan regulasi
nasional terhadap regulasi global dengan kompensasi bantuan asing. Pola
transaksi semacam ini sering menjadi buah simalakama bagi negara berkembang
karena pada satu sisi negara membutuhkan dana segar bagi kesehatan anggaran, di
sisi lain negara seharusnya memenuhi tanggungjawabnya pada sektor publik.
Dominasi paradigma pasar dalam praktik media massa berlangsung dengan cara yang
tidak segamblang penguasaan pasar atas layanan publik. Disebabkan karena
ambigutitas media dalam demokrasi yang berakar pada kontradiksi internal
kapitalisme. Dalam perpektif paradigma kritis terkait proses globalisasi, orang
cenderung berpikir bahwa proses liberalisasi media di Indonesia akan diikuti intrusi modal asing ke
bisnis media Indonesia dalam manifes
kepemilikan media. Dasarnya adalah, struktur kepemilikan media akan menentukan
corak kultural dan informasi media tersebut. Akar dari pemikiran ini bisa
dilihat pada Herbert Schiller dan Theodore Adorno.