Kesempatan Ikuti Pelatihan Narrative Reporting
Johan Wahyudi
Borneo Tribune, Pontianak
Pukul 15.00, Minggu (9/11), aku lagi asyik nonton televisi.
HP di atas meja komputer berbunyi. Aku beranjak mengambil HP. Panggilan dari
Pimpinan Redaksi Harian Borneo Tribune, Nur Iskandar, tepat aku bekerja.
“Assalammulaikum Joe. Sudah tahu belum? Besok ikut pelatihan
Narrative Reporting?” tanyanya.
“Belum bang. Jam berapa pelaksanaannya?” Aku kembali
bertanya.
Ini kesempatan baik, menambah kemampuan dan pengetahuan
jurnalisku, gumanku dalam hati.
“Jam 08.00 pagi, sudah harus berada di Hotel Peony.”
“Siap bang.”
Usai menerima telepon, Aku memberitahu istriku, Emelia Rosa.
Kebertulan, ia sedang menggendong anakku tercinta, Abhinaya Zaidan, yang baru
berumur empat bulan setengah. Bahwa, besok pagi aku harus ke Pontianak,
mengikuti pelatihan Narrative Reporting.
”Ikut saja pak, mumpung ada kesempatan,” ucap istriku.
Narative Reporting, langsung mengingatkanku pada Andreas
Harsono. Nama yang sering disebut Pimred dan redaktur Harian Borneo Tribune,
serta teman seperjuanganku, Mujidi, Kepala Biro Harian Borneo Tribune di Kota
Singkawang.
Andreas Harsono, wartawan professional. Dia pernah bekerja
untuk harian The Nation (Bangkok). Associated Press Television (Hongkong). The
Star (Kuala Lumpur). Dan, majalah Kajian dan Jurnalisme Pantau.
Ia mendapatkan Nieman Fellowship on Jorunalisme dari
Universitas Harvard, pada Juli 1999-2000. Dia menulis banyak artikel yang
menarik. Salah satunya, tulisan berjudul ”Panasnya Pontianak, Panasnya
Politik”.
Kini, ia sedang menulis buku From Sabang to Merauke,
Debunking the Myth of Indonesia. Dialah yang dipastikan menjadi instrukstur
pelatihan Narrative Reporting kali ini.
Selepas menerima telepon, aku langsung mengaktifkan
komputer. Membuka jaringan internet. Lalu kucari alamat blog, Andreas Harsono.
Aku baca beberapa artikel dan tulisan di sana. Tentunya, sambil mempelajari
karya penulisan Narrative Reporting. Gaya dan modelnya.
Senin (10/11), pukul 05.00 Wib, aku telah menyiapkan segala
perlengkapan pelatihan. Ada buku catatan, bolpoint, kamera, tape recorder,
pakaian, perlengkapan mandi, dan tak lupa minyak wangi. Semuanya aku masukan
dalam tas. Tidak lupa, aku membawa tas kecil yang selalu menemaniku liputan.
Sebelum berangkat, aku terlebih dahulu pamitan dengan ibu
mertua, serta istriku. Tidak lupa, aku mencium pipi anakku tercinta yang berada
di pelukan ibunya.
”Hati-hati di jalan, Pak, bawa motor jangan ngebut,” kata
istriku, berpesan.
”Iya, Mak. Bapak pergi dulu,” sambil ia mencium tangaku.
Aku bersama sepeda motorku, meninggalkan halaman rumah.
Dalam perjalanan menuju ke Pontianak, ada sesuatu yang selalu kupikirkan.
Menulis kehidupan masyarakat Desa Peniraman, dan cerita tentang ibuku.
”Aku ingin menulis panjang. Pelatihan ini, mungkin
kesempatan untuk bisa menulis panjang,” gumanku.
Sekitar pukul 08.00 Wib, aku sudah berada di depan Hotel
Peony, di Jalan Gajah Mada, Pontianak. Sepeda motorku langsung aku parkir di
garansi Hotel Peony.
”Maaf bang. Di mana tempat pelatihan Narrative Reporting?”
kataku pada Satpam, yang menjaga pintu hotel.
”Di lantai lima, silakan masuk,” jawabnya ramah.
Aku bergegas menuju pintu lift. Namun, lift hanya sampai di
lantai empat. Menuju lantai lima, harus menaiki anak tangga. Di lantai lima,
sudah ada Jumi Erlina Sari, Sekretaris Redaksi Harian Borneo Tribune. Atika
Ramadhani, Staf Pracetak Harian Borneo Tribune. Keduanya bertugas mendaftar
para peserta pelatihan.
”Embak Lin, sudah ada peserta yang datang?” tanyaku.
”Belum, baru kamu yang datang,” jawabnya.
Kulihat daftar hadir masih kosong. Aku duduk di kursi sofa
pengunjung hotel, menunggu kehadiran peserta lain. Tak lama, Mering muncul. Dia
langsung ke ruang workshop pelatihan Narrative Reproting. Di ruang workshop,
ada 20 kursi disusun berbetuk setengah lingkaran. Mering bersama petugas hotel,
sibuk mempersiapkan segala perlengkapan pelatihan. Seperti, infokus, serta
spanduk bertulisan ”Narrative Reporting untuk Pontianak.”
Pelatihanan dimulai pukul 09.00 Wib. Namun, sebelum
pelatihan, aku sempat keluar hotel bersama, Tun-Tun dan Jon Pantau yang baru
aku kenal. Kami minum kopi susu di warung kopi seberang Hotel Peony. Tak lama
berselang, aku ditelepon Andry, temanku di Harian Borneo Tribune.
“Kau di mana Joe? Acara sudah dimulai.”
“Aku di warung kopi. Oke, aku ke sana.”
Aku dan Tun-Tun, langsung meninggalkan warung kopi bergegas
ke Hotel Peony. Jon Pantau tetap di warung kopi, karena berencana pulang ke
Sanggau.
Pintu tempat workshop pelatihan Narrative Reporting, pintunya
tertutup. Kami berdua masuk. Acara sudah dimulai. Andreas Harsono duduk santai
menghadap peserta. Yang menarik dan membuat warna tersendiri, dalam pelatihan
tersebut, ada tiga mahasiswa/wi dari Bonn University, Jerman. Namanya, Dorina,
Sina dan Mathias.
Walaupun ketiganya tidak lancar berbahasa Indonesia, tetapi
mereka terlihat bersemangat. Peserta dari berbagai kalangan. Ada mahasiswa,
LSM, wartawan dan redaktur, sampai ibu rumah tangga. Acara dibuka langsung
Direktur Utama Harian Borneo Tribune, W. Suwito.
Dalam pelatihan, kami dibekali buku pegangan selama
pelatihan. Judulnya, Jurnalis Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.
Ada beberapa penulis. Ada juga buku, Seandainya Saya Wartawan Tempo, terbitan
PDAT. Sembilan Elemen Juranlisme oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Satu buku
lagi, Hiroshima oleh Jhon Hersey.□