AKU, BEBEK GORENG DAN JAMES BOND
Oleh: Dwi Syafriyanti
Nonton film Mr.Bond. Mobil Avanza merah bernomor polisi KB
51 TI ini bergerak keluar dari pelataran parkir mal A.Yani. Malam itu hampir
pukul 22.00'WIB.
Aku, Catur --adikku, Mbak Andi serta ketiga mahasiswa Bonn
University Dorina, Sina dan Mathias masih asik berdiskusi soal film James Bond
yang baru saja kami saksikan. Nur Is sang pemilik mobil menyerahkan 2 lembar
uang ribuan pada seorang petugas parkir. Tak lama portal yang menghadang tepat
di depan mobil yang kami tumpangi tersebut terbuka lebar.
Hiruk pikuk serta lalu lalang kendaraan di jalur utama kota
Pontianak yang berada tepat di depan mal terbesar di Pontianak tersebut menyambut
kami, dalam hitungan detik kami sudah menjadi bagian dalam keramaian kota di
malam Sabtu itu.
Mendahulukan film kesayangan yang diputar pada pukul 18.45
wib itu, membuat kami semua menunda makan malam.
Sekarang waktunya. Kami memenuhi panggilan alam dengan rasa
lapar yang tidak dapat ditunda lagi.
Bebek, oh bebek.
Biasanya warung itu mangkal tepat Jalan Suprapto, di depan
sebuah rumah mewah milik mantan pejabat yang sudah tidak terawat.
Makan di warung bertenda tepat di sebagian halaman rumah
mewah tak terurus itu terasa begitu nikmat. Menu andalan di sini –waktu itu,
aneka. pecel; ada pecel lele, pecel burung, pecel ayam pecel bebek dan soto
yang sangat `maknyus' rasanya, dan tidak jarang warung itu menjadi tempat
lahirnya ide-ide aku dan sahabat-sahabatku yang biasa menjadikannya tempat
diskusi dalam soal apapun --terutama soal koran kami dan kegiatan-kegiatan
Tribune Institute, sampai tengah malam.
Tapi dalam beberapa bulan ini warung itu tiba-tiba
menghilang...
Akhirnya..
Saya dan Nur Is berdiskusi soal di mana kami akan makan.
Seperti biasa, sekalipun warung pecal lele yang menjadi langganan kami dalam
beberapa bulan ini menghilang, kami tetap pada tujuan. Warung itu.
Kami bisa saja menemukan warung pecel lele yang lain, tapi
dengan alasan terlanjur jatuh cinta, kami mau warung pecel lele itu. Dengan
rasa penasaran sekaligus kerinduan pada bebek goreng favoritku itu kami
menyusuri jalan tempat di mana warung pecel lele itu mangkal. Mobil yang
dikemudikan Nur Is bergerak lamban, dan kami belum menemukannya.
"Lihat itu di belakang ada warung pecel lele.”
Catur memecah kebingungan kami semua.
Akhirnya, pencarian itu membuahkan hasil. Warung pecel lele
itu dapat kutemukan. Pemiliknya sama.
Warung itu masih di kawasan yang sama, tapi berjarak hampir
300 meter ke arah timur dari tempat sebelumnya. Berada di depan tanah kosong,
di samping rumah mewah berwarna kuning.
Sang pemilik warung beserta anak buahnya tersenyum manis
pada kami. Dia kenal. Aku, Catur dan Nur Is adalah langganan setia.
"Ini malam pertama kami buka kembali Mbak".
"Kenapa pindah?" tanyaku.
"Rumah di situ sudah dikontrak orang Mbak".
Senyunn manis sang pemilik warung, tak dapat menyembunyikan
kegetiran bahwa dia baru saja kehilangan tempat mangkal yang sudah dikunjungi
banyak pelanggan sebelumnya itu.
Dia tahu diri halaman rumah mewah itu bukan miliknya, sewaktu-waktu
dia harus pergi.
Kami makan.
Aku melepas kerinduanku pada pecel bebek dan membebaskan
kami semua dari rasa lapar.
Malam makin larut, mungkin kurang dari setengah jam waktu
eksekusinya Amrozi Cs, malam itu. -- 00.15.
Kami pun bergegas pulang ke rumah untuk beristirahat.
Di perjalanan aku bertanya dalam hati. Akan kucari kemanakah
lagi warung pecel itu bila sewaktu-waktu pemilik tanah memanfaatkan miliknya
karena warung itu berdiri di pinggir jalan tepat di depan tanah kosong dan di
samping rumah mewah berwarna kuning itu.
Aku berpikir, andai James Bond sempat mencicipi bebek goreng
favoritku itu, dia akan senang hati datang dari London sana untuk membantuku
menyelidiki "hilangnya warung bebek gorengku....".