Tamu Penting ke Kantor

by Alexander Mering

 

Tawanya renyah. Senyumnya mengembang tak putus-putusnya sejak dari Bandara Supadio Pontianak. Tampangnya mirip gambar Kolonel Harland Sanders yang menjadi logo Kentucky Fried Chicken (KFC). Sepintas, niscaya anda akan tertipu oleh rambut saljunya. Kacamatanya nyaris sama. Yang membedakan, dia tak punya jenggot ekor tupai seperti Sanders.

”Kenalkan, ini bos KFC,” seloroh W. Suwito. Suwito cuma mengenakan T-sirt dan celana pendek. Kontras dengan penampilan sehari-harinya yang selalu mengenakan jas.

Suwito adalah Direktur Utama Harian Borneo Tribune. Dia juga pengacara sukses di Kalimantan Barat.

Tawa pria yang dipanggilnya boss CFC itu pun pecah. Tubuhnya terguncang-guncang saat keluar dari Mercy warna silver yang mengantarkanya ke halaman kantor W.Suwito SH & Associates di bilangan Purnama, Pontianak Selatan. Hari itu kantor sedang libur, karena Hari Minggu.

”Nama saya Augustinus Aryawan,” katanya saat kami berjabat tangan. Senyumnya tak pernah padam.

”He..he.., memang orginal Kolonel Sanders, tapi ini versi Asia,” kata saya ikut berseloroh.

Kolega dan teman-temannya memanggilnya Agus saja. Saya hanya pernah melihat fotonya sekali di www.singkawang.us, bersama Hasan Karman dan Prayogo Pangestu. Hasan Karman adalah Walikota Singkawang sekarang.

Sama seperti Prayogo dan Karman, Agus juga berasal dari Singkawang.

 

Dia pengusaha sukses yang sudah lama menetap di Jakarta. Ayah dan neneknya dulu tewas dibantai Jepang di Mandor. Di foto itu dia tampak sangat akrab dengan Prayogo dan Karman. Belakangan saya baru tahu kalau Agus adalah salah satu penasihat Prayogo Pangestu, boss Barito Group di masa jayanya.

“Tapi sekarang saya sudah pensiun,” katanya.

Kali ini ia datang bersama Fuidy Luckman dan Sudjanto Sudiana. Fuidy adalah Komisaris Utama Borneo Tribune dan pengusaha sukses di Jakarta. Perusahaannya tersebar hingga ke sejumlah daerah di Indonesia. Dari sampit, Pangkalan Bun, Balikpapan hingga Ternate. Sedangkan Sudjanto adalah Advokad sukses di Jakarta. Seperti Agus dan Fuidy Sudjanto juga orang Singkawang, sebuah kota bersejarah di pantai Utara Kalimantan Barat. Jaraknya hanya sekitar 145 Km dari Ibu Kota Provinsi. Kotanya indah dikelilingi bukit. Orang-orang kerap menyebutnya kota Amoy atau kota Seribu Vihara. Meski banyak juga suku lain, tapi menurut data statistik pemerintah kota, 42 persen penduduknya warga Tionghoa.

Pensiunnya seorang bussinesman, tentulah beda dengan pegawai negeri. Agus bahkan kini lebih banyak waktu untuk menikmati perjalanan dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Di Permasis Agus menjadi Ketua Dewan Pembina. Permasis adalah singkatan dari Perkumpulan Masyarakat Singkawang dan Sekitarnya. Lembaga ini didirikan orang-orang Singbebas (Singkawang, Bengkayang dan Sambas) perantauan di Jakarta. Lewat Permasis para anggota saling mengenal, berkomunikasi, merekatkan persaudaraan dan mengadakan kegiatan sosial lainnya. Sekretariatnya di Puri Delta Mas Blok D 1-3 Jl Bandengan Selatan Jakarta Utara.

Agus sendiri sudah sejak tahun 1961 di Jakarta. Tetapi dia tak pernah lupa pada Singkwang. Karena kecintanya pada tanah kelahiran, tahun 1987 silam dia minta Prayogo Pangestu membangun sekolah di sana. Buahnya adalah sekolah Barito, salah satu sekolah yang tersohor di Singkawang. Agus mengurus semua keperluan sekolah itu.

Kedatangannya kali ini pun untuk menghadiri rapat pengurus sekolah tersebut, sekaligus bernostal gia.

”Dulu saya sekolah di Handel Sschool, Pontianak”.

”Sekolah itu milik bruder, tak jauh dari Gereja Katedral Pontianak”.

Mata sang kakek berbinar-benar saat mengenang masa lalu. Tahun 60-an Agus bekerja di Central Trading Company Pontianak. Belakangan perusahaan itu berubah nama menjadi Panca Niaga. Dia juga pernah bekerja pada Oie Tiong Ham Consern. Oie Tiong Ham adalah pendiri perusahaan multinasional pertama di Asia Tenggara dan orang terkaya pada zamannya. Pemimpin masyarakat Tionghoa di Semarang ini pernah dijuluki Raja Gula Asia.

Ayahnya, Oei Tjie-sien peletak dasar imperium Oei Tiong Ham. Di Semarang mula-ula ia membuka usaha dupa dan gambir. Kekayaannya betepek-tepek, bahkan jauh sebelum Liem Sio Liong menjadi konglomerat.

Nah, Saat Agus bercerita, Suwito menghilang ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian nongol lagi dengan kopi panas dan sepiring pisang rebus di tangan. Aroma kopi mengepul ke udara, memenuhi ruangan kantornya. Kantor ini baru saja diresmikan 14 hari lalu, tepatnya 7 Setember 2008.

Agus, Fuidy Luckman dan Sudjanto duduk mengitari meja bulat di sudut ruangan. Semuanya tersenyum sumringah menikmati sarapan yang disediakan tuan rumah.

”Pak Agus ini hobinya makan,” celoteh Fuidy lagi. Dia mengudap sebiji pisang nipah yang masih mengepulkan asap.

”Ya, walau sudah berumur 76 tahun saya tak ada pantangan makan”.

”Kalau ikut orang muda, jiwa menjadi muda juga,” tambah Agus lagi.

Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB.

”Generasi muda harus bersatu dan tidak terpecah belah.”

Untuk pengusaha dari kawasan Singbebas dia mengimbau agar turut bergabung dalam Permasis.

Kalimantan barat adalah provinsi yang sepanjang sejarah, rakyatnya sering berkelahi. Jadi meski terdengar klasik, imbauan Agus adalah hujah yang tepat.

Walau bermur 76 tahun, tapi bagi Agus hidup tak ubahnya tamasya waktu yang menyenangkan. Senyum dan sorot matanya menembus rayban jendela mobil mewah itu. Rambut saljunya melambai-lambai diterpa angin September.

Usai sarapan, ketiganya bertolak ke Singkawang. Agus mengangkat pantat menuju Mercy. Senyumnya bertenaga dan menularkan semangat.

Agus memang bukan Kolonel Saders si raja ayam goreng, bukan pula Oei Tiong Ham si Raja Gula, tapi ada hal yang sama pada mereka. Yaitu semangat dan teladan sukses. (Posted by harian Borneo Tribune on September 21, 2008)

LihatTutupKomentar
Cancel

Note: Only a member of this blog may post a comment.