W Suwito, SH MH: Media Sebagai Agen Mobilisasi
Bagian 4 dari Disertasi berjudul: Politik Hukum Pengelolaan Industri Pers Berbasis Keadilan Sosial, Studi Kasus Persaingan Pers Lokal dan Nasional di Pontianak
Pandangan pesimis melihat bahwa media telah menyebabkan publik semakin apatis terhadap persoalan-persoalan kehidupan bersama, membentuk sikap sinis warga masyarakat terhadap para politisi dan dalam pemilu telah memperngaruhi penurunan jumlah orang yang berpartisipasi dalam pemberian suara. Dari pengalaman beberapa negara industri maju, pandangan pesimis ini mendapat dukungan dengan semakin menurunnya dukungan terhadap berbagai lembaga politik yang ada serta rendahnya partisipasi warga dalam pemilu. Hal ini diduga sebagai akibat dari praktik-praktik pemberitaan dalam bidang politik yang cenderung didominasi oleh personalisasi, kejahatan dan kekerasan, dan liputan politik yang terfokus pada model ‘horse-race polls’ daripada yang berfokus pada isu-isu politis yang relevan.[2]
Pandangan optimis melihat bahwa di samping adanya kenyataan kecenderungan terjadinya ‘tabloidisasi’ berita dan meningkatnya ‘infotainment’ yang tidak memiliki kaitan dengan pemahaman permasalahan kehidupan bersama, juga masih terdapat media massa yang masih konsisten untuk melakukan peliputan masalah-masalah politik serius. Masih ada media yang secara kontinyu memberikan ulasan dan juga menyajikan laporan-laporan penting bagi pendidikan politik warga negara.
Akses terhadap informasi merupakan hal yang sangat esensial bagi kelangsungan suatu demokrasi, karena dua alasan, yaitu: 1) menjamin bahwa warga negara peduli dan merasa bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihan yang disodorkan atau diinformasikan kepadanya, dan tidak berbuat sebaliknya, yaitu mengabaikannya atau menjadi salah paham; 2) informasi berguna sebagai alat kontrol atau “checking fiunction” yang menjamin bahwa para wakil yang terpilih akan menepati sumpah jabatannya dan melaksanakan keinginan konstituen pemilihnya.
Pada beberapa negara liberal tertentu, seperti Amerika Serikat, hubungan antagonistik antara media dan pemerintah, justru merepresentasikan evektifitas bekerjanya elemen-elemen demokrasi yang sehat. Hubungan antagonistik tersebut tentu tidak sesuai dengan negara dalam kondisi pasca reformasi seperti Indonesia di mana sebagian besar masyarakatnya belum memiliki kadar pengetahuan dan kematangan politik yang memadai. Di samping itu, bangsa Indonesia sudah memiliki landasan filosofis dan normatif, yaitu Sila keempat Pancasila sebagai kerangka operasional untuk memformulasikan perbedaan-perbedaan menjadi persamaan melalui mekanisme “musyawarah untuk mufakat” guna mencapai tujuan bersama. Namun demikian, bagaimanapun bentuk hubungan antara media dan pemerintah, peran kritis media sebagai sarana diseminasi informasi dalam rangka memediasi hubungan antara negara dan masyarakat sipil adalah fungsi media yang terpenting di dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia.