KRITIK ATAS TEORI THE FOURTH ESTATE
Suatu Kritik Terhadap Teori “The Fourth Estate”
Demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahaan dalam
sebuah negara yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara
langsung atau melalui perwakilan. Kata demokrasi itu sendiri berasal dari
Yunani, yaitu dēmokratía yang terbentuk dari kata dêmos yang berarti rakyat,
dan Kratos yang berarti kekuasaan, sehingga kata dēmokratía berarti kekuasaan
rakyat.
Henry B. Mayo dalam An Introduction to Democratic Theory
(1960: 70), memberikan pengertian demokrasi, sebagai:
A democratic political system is one in which public
politicies are made on majority basis, by representatives subject to effective
popular control at periodic elections which are conducted on the principle of
political equality and under conditions of political freedom.
Harris G. Warrant dalam Our Democracy at Work (1963: 2),
memberikan rumusan pengertian demokrasi sebagai, “a government of the people,
by the people, for the people”. Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary
(1999: 444), memberikan arti demokrasi sebagai “government by the people,
either directly or through representatives”.
Rumusan tersebut memberikan sifat pemahaman umum terhadap
suatu negara yang menganut sistem demokrasi, yaitu:
1. Demokrasi adalah
suatu sistem pemerintahan yang mempunyai elemen-elemen yang saling terkait dan
tidak dapat dipisahkan;
2. Orang-orang yang
memegang kekuasaan atas nama demokrasi dapat mengambil keputusan untuk
menetapkan dan menegakkan hukum;
3. Kekuasaan untuk
mengatur dalam bentuk aturan hukum tersebut diperoleh dan dipertahankan melalui
pemilihan umum yang bebas dan diikuti oleh sebagian besar warga negara dewasa.
Negara demokrasi mempunyai tiga pemahaman utama yang
meliputi hakikat, proses dan tujuan demokrasi (Huntington, 1995: 4).
Huntington, melihat demokrasi dalam tiga pendekatan umum yaitu: sumber wewenang
bagi pemerintah; tujuan yang dilayani oleh pemerintah; dan prosedur untuk
membentuk pemerintahan.
Robert A. Dahl dalam On Democracy (1998: 38), bahwa:
“democracy provides
opportunities for effective participation; equality in voting; gaining
enlightened understanding; exercising final control over the agenda; inclusion
of adults”.
Demokrasi akan
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk partisipasi yang efektif; persamaan
dalam memberikan suara; mendapatkan pemahaman yang jernih; melaksanakan
pengawasan akhir terhadap agenda; dan pencakupan warga dewasa. Konsekuensi
demokrasi tersebut akan memberikan standar ukuran umum dalam melihat suatu
negara sebagai negara demokrasi. Dengan kata lain, ketika
kesempatan-kesempatan yang merupakan konsekuensi dari standar ukuran umum
negara demokrasi tersebut tidak dijalankan, maka negara tersebut tidak dapat
dikualifikasikan sebagai negara demokratis.
Dalam negara yang menganut sistem demokrasi seperti
Indonesia, pemerintah adalah produk demokrasi. Berarti rakyat menjadi pemegang
hak kedaulatan tertinggi. Melalui pemilihan umum rakyat memilih pemimpin yang
berhak membentuk pemerintahan, menjalankan pemerintahan, dan mengabdikan
kekuasaan pemerintahan itu hanya bagi kesejahteraan rakyat. Terdapat beberapa
prinsip yang tentunya harus dimiliki oleh suatu negara yang menganut sistem
demokrasi, salah satu diantaranya adalah tentang kebebasan pers sebagai pilar
demokrasi ke empat. Pers disini adalah berfungsi sebagai upaya kontrol terhadap
pemerintah dalam menentukan segala macam kebijakan dan juga sebagai alat
transformasi nilai, serta segala bentuk informasi atau isu-isu politik yang ada
di lembaga pemerintahan.
Demokrasi dan kebebasan pers memiliki hubungan timbal balik
yang saling memperkuat. Media massa memegang peran sangat penting sebagai
saluran yang menghubungkan warga negara dengan para wakil politiknya di
parlemen. Media massa dapat menjalankan peran dan fungsinya secara afektif,
hanya apabila memiliki kebebasan dan otonomi. Dalam perspektif hubungan antara
negara dan rakyat, komunikasi menjasi sangat penting sebagai sarana untuk
melakukan kontrol maupun transformasi nilai ideologis dari pemerintah ke
masyarakat luas. Pers adalah salah satu sarana komunikasi antar manusia dengan
manusia, manusia dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok lainnya dalam
suatu komunitas masyarakat di sebuah negara atau organ-organ kemasyarakatan
tertentu. Dalam perspektif demokrasi, pers bisa diartikan sebagai mediator
ataupun kontrol terhadap sebuah kebijakan yang akan maupun telah dikeluarkan
oleh pihak pemerintah.
Ada beberapa teori tentang Pers, yaitu :
1. Otoritarian
a. Berkembang di
Inggris pada abad 16 dan 17, dipakai secara meluas di dunia dan masih
dipraktekkan di beberapa tempat sekarang ini.
b. Teori ini muncul
dari filsafat kekuasaan monarki absolut, kekuasaan pemerintahan. Tujuan
utamanya adalah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa dan
mengabdi pada negara.
c. Pemerintah atau
seseorang yang mempunyai kekuasaan dalam kerajaan adalah orang yang berhak
mengatur dan menggunakan media untuk kepentingannya.
d. Media dikontrol
melalui paten-paten dari pemerintah, izin dan sensor.
e. Media massa
dilarang untuk melakukan kritik terhadap mekanisme politik, dan para pejabat
yang berkuasa.
f. Media massa
dimiliki oleh swasta perorangan atau masyarakat umum.
g. Media massa
dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah, walaupun tidak
harus dimiliki oleh pemerintah. Pers di sini dapat dikatakan statusnya sebagai
hamba bagi negara.
2. Libertarian
a. Teori ini
berkembang di Inggris setelah tahun 1688, dan kemudian di Amerika Serikat.
b. Teori ini muncul
dari tulisan-tulisan Locke, Milton dan Mill, dan filsafat umum tentang
rasionalisme dan hak-hak asasi.
c. Tujuan utamanya
adalah memberi informasi, menghibur dan berjualan, tetapi tujuan utamanya
adalah membantu untuk menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah.
d. Dalam teori ini
disebutkan, media massa diatur oleh siapa saja yang mempunyai kemampuan ekonomi
untuk menggunakannya.
e. Media dikontrol
dengan proses pelurusan sendiri untuk mendapatkan kebenaran dalam pasar ide
yang bebas, serta melalui pengadilan.
f. Media massa
dilarang melakukan penghinaan, kecabulan, kerendahan moral dan pengkhianatan
pada masa perang.
g. Media massa
dianggap sebagai alat untuk mengawasi pemerintah dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mayarakat lainnya.
3. Soviet Komunis
a. Teori ini
berkembang di Uni Soviet, walaupun ada kesamaannya dengan yang dilakukan Nazi
dan Italia Fasis.
b. Teori ini
terbentuk dari pemikiran Marxis, Leninis, dan Stalinis dengan campuran pikiran
Hegel, dan pandangan orang Rusia abad 19.
c. Tujuan utama dari
media massa adalah memberi sumbangan bagi keberhasilan dan kelanjutan dari
sistem sosialis Soviet, dan terutama bagi kediktatoran Partai.
d. Yang berhak
menggunakan media massa adalah anggota-anggota partai yang loyal dan ortodoks.
e. Media massa
dikontrol melalui pengawasan dan tindakan politik atau ekonomi oleh pemerintah.
f. Media massa
dilarang melakukan kritik-kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari
taktik-taktik partai.
g. Kepemilikan media
massa adalah masyarakat.
h. Media massa adalah
milik negara dan media yang dikontrol sangat ketat semata-mata merupakan
kepanjangan tangan-tangan negara.
4. Tanggung Jawab
Sosial
a. Teori ini
berkembang di Amerika Serikat pada abad ke-20
b. Teori ini
terbentuk dari tulisan W.E Hocking, Komisi Kebebasan Pers, para pelaksana
media, dan kode-kode etik media massa.
c. Tujuan utama dari
media massa adalah memberi informasi, menghibur dan berjualan, tetapi tujuan
utamanya adalah mengangkat konflik sampai tingkatan diskusi.
d. Teori ini
mengatakan bahwa semua orang berhak menggunakannya, dan berhak mengeluarkan
pendapatnya.
e. Media massa dikontrol
melalui pendapat masyarakat, tindakan-tindakan konsumen, dan etika-etika kaum
profesional.
f. Media massa
dilarang melakukan invasi serius terhadap hak-hak perorangan yang dilindungi
dan terhadap kepentingan vital masyarakat.
g. Kepemilikan media
massa dikuasai oleh perorangan, kecuali jika pemerintah harus mengambil demi
kelangsungan pelayanan terhadap masyarakat.
h. Media massa harus
menerima tanggungjawabnya terhadap masyarakat; dan kalau tidak, harus ada pihak
yang mengusahakan agar media mau menerimanya.
Kebebasan Pers adalah adalah hak yang diberikan oleh
konstitusi atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan
yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat
kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan
atau perlakuan sensor dari pemerintah. Di Indonesia, kebebasan pers telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam
ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga
negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin
kemerdekaan pers.
Pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak
bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal
28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Keterbukaan akses terhadap informasi menjadi sangat penting,
karena pemberitaan media ternyata sangat efektif dalam memperkuat proses
demokratisasi, good governance, dan perkembangan masyarakat di mana para
jurnalis menjalankan peran dan fungsinya sebagai: 1) Anjing pengawas (watch-dog) terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan pada
saat yang sama mempromosikan akuntabilitas serta transparansi; 2) sebagai suatu
forum publik untuk mempertemukan berbagai gagasan tentang kebijakan publik dan
wahana untuk debat politik (memfasilitasi pendistribusian informasi
tentang berbagai opsi dalam pemilu); dan 4) sebagai “agenda setter” bagi para
pembuat kebijakan (meningkatkan kepekaan pemerintah terhadap masalah-masalah
sosial) (Pippa Norris, 2000).
Peran sebagai “anjing pengawas (watch-dog) dapat dijalankan
melalui pemberitaan media yang mempromosikan akuntabilitas, transparansi, dan
pengawasan publik terhadap praktik penyelenggaraan negara dengan cara menyoroti
kegagalan-kegagalan kebijakan, salah urus administrasi negara oleh pejabat publik, korupsi di badan
peradilan, dan skandal korporasi (George A. Donohue, Philip Tichenor et al.
1995). Sejak era Edmund Burke, konsep
“Pilar ke-Empat” telah dipakai sebagai mekanisme “cheks and balances” terhadap
pemisahan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara (Renate Kocher, 1986).
Penelitian pada suatu negara yang memiliki sejarah
perkembangan tertentu seperti Taiwan, menunjukkan bahwa diperoleh sejumlah
bukti mengenai pengaruh pemberitaan media terhadap korups. Brunetti dan Weder, memperoleh temuan bahwa
secara relatif korupsi lebih jarang terjadi di negara yang memiliki pers bebas.
Hal ini disebabkan karena peran “anjing pengawas (watch-dog) yang dijalankan
oleh para jurnalis mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam proses
pembuatan kebijakan pemerintah sehingga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan jabatan dan skandal finansial
(A. Brunetti and B. Weder B. 2003).
Pada akhir
tahun 1960-an akhir 1970-an, muncul kekhawatiran dan skeptisisme bahwa apakah
fungsi pers sebagai “Pilar ke Empat” masih bisa dipertahankan, mengingat telah
terjadi “gelombang arus balik” terutama di negara-negara Amerika Latin,
Sub-Sahara Afrika, dan Asia, di mana demokrasi ternyata berbalik arah mengalami
langkah mundur (setback) (Samuel Huntington. 1993). Keterbukaan akses publik
terhadap surat kabar, radio dan televisi ternyata tidak cukup untuk mendorong
demokratisasi dan perkembangan masyarakat, bahkan media ini digunakan untuk
mempertahankan otokrasi guna memperkuat kroni-kroni kapitalisme dan mengkonsolidasikan
kekuasaan oligopoli media (Hamid Mowlana, 1985).
Selama bertahun-tahun, media dikenal sebagai “Pilar
ke-empat” demokrasi, berfungsi sebagai saluran komunikasi independen di antara
pemerintah dan masyarakat, dan sekaligus menjadi anjing pengawas (watch-dog)
yang mengawasi praktik penyelenggaraan kekuasaan oleh pejabat publik. Namun,
dengan berlalunya waktu, fungsi media sebagai “Pilar ke-empat” demokrasi
dipertanyakan kembali dan diperdebatkan, karena kenyataan yang terjadi di
Amerika Serikat pada saat ini, media justru diannggap sebagai “Cabang ke-empat
(the Fourth Branch)”, yang berkonotasi berlawanan dengan makna dari “Pilar
ke-empat”. Terminologi ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana media saat
ini berfungsi sebagai cabang kekuasaan ke-empat dari pemerintah dan sama sekali
tidak mencerminkan “kemerdekaan” sebagai suatu prasyarat agar rakyat dapat
memerintah melalui wakil-wakilnya (Gaylene Hill, 2011).
Pada saat ini, sensor terhadap media dilaksanakan dengan
lebih halus dan tersamar. Intervensi pemerintah terhadap pemberitaan politik
dilakukan dengan mengatur distribusi materi berita melalui tindakan-tindakan
legislasi. Kualitas pengawasan media
terhadap pemerintah mengalami perubahan yang dramatis, disebabkan karena begitu
banyak dan luasnya cakupan materi kebijakan publik yang harus diawasi sehingga
media tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan analisis mendalam
terhadap semua produk legislasi. Hal ini memberi peluang kepada politisi untuk
menyesatkan publik dan memelintir realitas politik dalam suatu jumpa pers,
sehingga gagal menganalisis dan menyajikan fakta dan realitas secara akurat dan
berimbang.
Perubahan yang terjadi pada media tersebut menyebabkan
pemikiran dan interest masyarakat mengalami pendangkalan ke arah hal-hal yang
sepele. Fokus media politik bergeser ke arah “infotainment”, di mana
pemberitaan informasi politik disajikan dalam format hiburan (entertainment).
Nilai berita (news values) dijadikan dasar dalam menentukan informasi politik
dengan preferensi unsur “sensasional” dan “tidak biasa/luar biasa” lebih
diutamakan daripada fakta-fakta dan kebijakan-kebijakan. Perburuan “rating” tayangan
media telah menggeser perdebatan di antara para pemimpin dari perdebatan
mengenai kebijakan publik menjadi kelakar yang sepele dan menghibur. Hal ini sebagai akibat dari media yang lebih
berfokus pada hal-hal yang “menarik” daripada melaporkan informasi yang
dibutuhkan masyarakat. Pemberitaan semacam ini tampaknya didasarkan pada teori
yang mengasumsikan politik sebagai panggung teater, dan bukan suatu operasi
demokrasi yang penting.
Kondisi ini menyebabkan merosotnya kredibilitas media
sebagai “pilar ke-empat” demokrasi, karena media ternyata gagal dalam
memperbaiki dan meningkatkan fungsi-fungsi demokrasi perwakilan, sehingga
partisipasi publik dalam peristiwa-peristiwa cenderung menurun, karena publik
tidak lagi memperoleh informasi yang baik tentang aktivitas-aktivitas politik.