a. Periode Orde Lama
Politik hukum pers di Indonesia pasca kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan
akhir tahun 1949 masih meneruskan peraturan hukum Pemerintah Hindia Belanda.
Terdapat dua peraturan hukum yang mengatur pers yaitu (i) Reglement op de
Drukwerken in Nederlandsch - Indie tahun
1856, suatu bentuk sensor pencegahan (preventif) yang
mewajibkan semua karya cetak sebelum diterbitkan harus dikirim lebih
dahulu kepada Algemeene Secretarie. Apabila aturan ini ini tidak dipatuhi maka karya cetak akan disita bahkan
bisa disertai penyegelan; dan (ii) peraturan sensor penindakan (represif)
Presbreidel Ordonnantie, yang diberlakukan pada
tanggal 7 September 1931.
Peraturan ini diterbitkan untuk mengontrol pers pergerakan nasional yang
sangat progresif menyerang pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, ditetapkan bahwa pers
Indonesia memiliki kebebasan pers yang dijamin oleh undang-undang. Periode pers
orde lama dimulai sejak tahun 1950 ini. Corak kehidupan pers Indonesia di masa
orde lama dibedakan menjadi dua rentang waktu berdasarkan sistem pemerintahan
yang ada pada saat itu, yaitu rentang antara tahun 1950 – 1959 dengan sistem
pemerintahan demokrasi liberal dan rentang antara tahun 1960 – 1965 dengan
sistem pemerintahan demokrasi terpimpin.
Era demokrasi liberal (1950-1959) ditandai dengan sistem penmerintahan
parlementer di mana kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri, sementara presiden dan wakilnya hanya sebagai
kepala negara tanpa kekuasaan eksekutif. Era demokrasi terpimpin (1960-1965)
ditandai dengan sistem pemerintahan presidensiil dimana kekuasaan eksekutif
terpusat pada presiden.
Konstelasi sistem politik dan
pemerintahan yang berbeda tersebut berimplikasi menimbulkan corak pers yang
berbeda pula. Pada era demokrasi liberal, peran pers diposisikan sebagai pilar
demokrasi ke-empat selain 3 pilar lainnya yaitu: lembaga eksekutif, lembaga
legislatif dan lembaga yudikatif dengan fungsi sebagai pengawas (watchdog)
penyelenggaraan kekuasaan negara.
Situasi kehidupan pers pada tahun
1950-an, digambarkan oleh Atmakusumah selaku mantan Ketua Dewan Pers di Jakarta
pada tanggal 6 Maret 2013 sebagai berikut:
“Setelah pengakuan kedaulatan negara
Indonesia di akhir tahun 1949, masyarakat Indonesia larut dalam euforia sebagai
bangsa yang merdeka. Sebelum kemerdekaan negara berdaulat yang demokratis hanya
dikenal dari buku-buku. Pada saat itu menjadi kenyataan, mereka belum mempunyai
pengalaman bagaimana cara menjalankan pemerintahan. Jika kemudian demokrasi
liberal dengan sistem pemerintahan parlementer yang diadopsi, maka hal itu adalah wajar bagi bangsa yang
sedang belajar berdemokrasi. Pers tak luput dari pengaruh situasi saat itu,
karena corak pers ditentukan oleh sistem politik dan sosial yang ada di suatu negara. Jika kebijakan negara
mengarah pada sistem demokrasi liberal maka
sistem itu pula yang dianut oleh sitem
persnya. Masyarakat Indonesia termasuk kalangan pers dipenuhi oleh
idealisme untuk mengisi kemerdekaan melalui perubahan sosial dalam rangka
mewujudkan negara demokrasi.
Pers memilki kebebasan untuk
mengontrol jalannya penyelenggaraan kekuasaan oleh pemerintah. Di bidang pers,
politik hukum diarahkan untuk mewujudkan peran pers sebagai agen perubahan dan
sekaligus berfungsi sebagai pengawas (watchdog). Pada saat yang sama, politik
hukum menunjukkan keberpihakaannya kepada perkembangan pers nasional.
Keberpihakan itu diwujudkan dalam bentuk bantuan fasilitas kredit dan subsidi
kertas bagi setiap penerbitan pers.
Hal itu tidak menjadi masalah jika
kondisi masyarakat sudah terdidik dan memiliki basis pemahaman yang cukup
sehingga bisa memahami dan menyaring berita yang dibacanya, tetapi pada saat
itu masyarakat indonesia belum siap menerapkan demokrasi yang berasal dari
peradaban modern Barat, masih “membebek” atau mengikuti saja segala indormasi
yang disodorkan oleh pers atau tokoh elite yang dijadikan panutan. Transformasi
sosial lebih banyak terjadi di kalangan elite tokoh-tokoh pergerakan nasional
dan/atau partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan dan pada akhirnya memimpin
pemerintahan. Konstatasi perpolitikan nasional sarat dengan konflik kepentingan
di antara berbagai komponen masyarakat sehingga pemerintah terpaksa
berkali-kali ganti kabinet dan muncul pemberontakan-pemberontakan antara lain
DI TII (Kartosuwiryo di Jawa Barat), PRRI (Ahmad Husein Lubis dkk.) di Sumatra
dan Permesta di Sulawesi Selatan.
Negara tidak stabil sehinga tidak
sempat mengurusi pembangunan dan terancam perpecahan karena kekuasaan dan
legitimasi negara terlalu lemah untuk dapat meredam konflik yang bersumber dari
ketidakpuasan antara pusat dan daerah. Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang menetapkan bahwa Indonesia kembali ke UUD
NRI 1945. Sejalan dengan itu arah politik hukum pers juga berubah. Pers dijadikan
sebagai alat revolusi, alat sosial kontrol dan alat pendidikan dan penggerak
massa untuk mengusir kolonialisme dan imperialisme dari bumi Indonesia serta
mengembalikan Irian Barat yang masih dikuasai Belanda ke Indonesia.
Payung hukum konstitusional
kebebasan pers pada masa itu dijamin dalam Pasal 19 Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengemukakan pendapat”
Rentang waktu antara 1950 – 1960 ditandai dengan perubahan politik hukum
pers yang bertujuan mengganti corak atau model pers nasional menjadi lebih
sesuai dengan politik dan sosial pada saat itu.
Elias T Moning, seorang
jurnalis jurnalis dan peneliti ilmu
sosial yang diwawancarai oleh peneliti di Pontianak pada tanggal 28 Nopember
2014, memaparkan pendapatnya sebagai berikut:
“Implementasi politik hukum pers
instrumental diwujudkan dengan membentuk Dewan Pers pada tanggal 17 maret 1950,
di mana pemerintah bersama-sama dengan pers dan masyarakat membentuk Dewan Pers
yang bertujuan: (i) mengganti undang-undang pers peninggalan Belanda; (ii)
menciptakan landasan ekonomi dan sosial yang kokoh bagi pers nasional, yang
ditandai dengan adanya fasilitas kredit dan bantuan pemerintah kepada pers;
(iii) meningkatkan kualitas jurnalisme dan etika jurnalistik di Indonesia; dan
(iv) mengatur kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan, misalnya kualitas
hidup, tingkat pendapatan dan perlindungan hukum bagi wartawan.
Terkait dengan kredit fasilitas
kredit dan bantuan pemerintah, penerbitan pers pada saat itu dengan sengaja
menaikkan klaim tiras kabarnya untuk mendapatkan kredit yang lebih besar dan
subsidi kertas dan subisdi kertas koran dari pemerintah. Jurnalisme dan etika
jurnalistik pada saat itu justru sangat baik, berbeda jauh dengan yang kita
jumpai sekarang di mana wartawan sering dan mudah sekali melanggar kode etik
jurnalistik, padahal sistem pers yang dianut adalah sistem pers liberal seperti
yang dijumpai di Amerika Serikat.
Hubungan antara pemerintah dan pers
di tahun 1950-an dapat dikatakan masih mencari bentuk yang pas antara kehendak
untuk menghilangkan peraturan yang membatasi kebebasan pers dan kehendak untuk
menciptakan pemerintahan yang berwibawa dan stabil, karena stabilitas
pemerintahan justru merupakan faktor yang rentan dan rapuh pada saat itu.
Penyebabnya kurang lebih ada 3 yaitu: (i) lemahnya kekuasaan dan legitimasi
pemerintah; (ii) sistem pers liberal yang tidak sesuai dengan karkteristik
sosio kultural masyarakat Indonesia; dan (iii) ketidaksiapan masyarakat
Indonesia dalam mengadopsi nilai peradaban modern barat berupa negara
demokrasi”.
Sejak dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli
1959, politik hukum pers berubah dari pers yang bebas menjadi pers yang
dikontrol ketat oleh pemerintah dan tentara
melalui undang-undang darurat perang atau Staat van Oorlog en Beleg
(SOB) dan Pasal-Pasal pencemaran nama baik (hatzaai artikelen). Respon kalangan
pers yang menamakan dirinya sebagai “pers perjuangan” adalah memperjuangkan
kebebasan pers yang pernah dirasakan sebelumnya meskipun konstelasi politik dan
sosial sudah berubah, di mana kekuasaan dan legitimasi pemerintah di era
demokrasi terpimpin menjadi lebih kuat
daripada sebelumnya, serta masyarakat Indonesia dimobilisasi untuk mengatasi
pemberontakan dan merebut kembali Irian Barat dari Belanda.
Politik hukum pers dan sistem pers
di Indonesia terus berlangsung mengikuti dinamika perubahan politik dan sosial.
Terdapat dua peristiwa penting yang memicu terjadinya perubahan politik hukum
pers yaitu: pertama, Penyerahan Papua Barat (Irian Barat) kepeda pemerintah
Indonesia oleh UNTEA pada tanggal 1 Mei 1963; kedua, perang antara Indonesia
dengan Malaysia yang diumumkan tanggal 20 Januari 1963 yang dipicu oleh
sengketa penggabungan Brunei, Sabah dan Sarawak ke Malaysia; dan kedua,
keluarnya Indonesia dari PBB pada tahun 1965.
Ketiga, peristiwa tersebut mengubah
kebijakan dan tujuan politik luar negeri Indonesia ke arah revolusi untuk
memerangi setiap bentuk kolonialisme dan imperialisme. Pemerintah melakukan
mobilisasi sosial agar masyarakat termasuk pers mendukung revolusi yang sedang
dijalankan. Peran dan fungsi pers dibutuhkan untuk mengefektifkan proses
mobilisasi sosial. Bukti ke arah itu dapat dicermati dengan melihat kebijakan
negara di bidang hukum pers yang lahir setelah tahun 1965.
Perubahan politik hukum pers setelah
tahun 1965 dapat dilihat pada konsiderans Tap MPRS No. XXXII Tahun 1966 tentang
Pembinaan Pers menyatakan bahwa:
“Bahwa pers merupakan alat revolusi,
alat sosial-kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum serta alat penggerak massa”
Tap. MPRS No. XXXII Tahun 1966 dapat
dikatakan sebagai politik hukum pers karena di dalam Pasal 1 terdapat perintah
untuk membentuk undang-undang pers disebutkan
bahwa:
“Mutlak perlu segera adanya perundang-undangan tentang pers sesuai dengan bunyi pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPRSNo. II/MPRS/1960 lampiran A”.
Pelaksanaan dari Tap MPRS No. XXXII
tahun 1966 Tentang Pembinaan Pers diwujudkan dengan membuat Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Tap MPRS tersebut
merupakan bukti tertulis kebijakan dasar negara di bidang hukum pers (politik
hukum pers) produk orde lama yang secara eksplisit menetapkan bahwa pers
digunakan oleh pemerintah sebagai “alat revolusi”, “pembentuk pendapat umum”
dan “penggerak massa”, yang menyimpang dari peran dan fungsi pers yang
sesungguhnya.
b. Periode Orde Baru
Bulan Maret 1968, MPRS secara resmi
mengangkat Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia. Masa pemerintahan
Suharto yang dikenal dengan rezim orde baru ditandai dengan kebijakan negara
yang menekankan pada aspek stabilitas politik dalam rangka mencapai pertumbuhan
ekonomi untuk mewujudkan pembangunan. Kebijakan tersebut dijalankan melalui
beberapa langkah strategis antara lain: (i) penerapan konsep dwi fungsi ABRI
sebagai platform politik orde baru, di mana militer berperan sebagai kekuatan
pertahanan negara dan sekaligus menjadi kekuatan sosial politik penyeimbang;
(ii) pembentukan Golkar sebagai kendaraan politik orde baru; (iii) perubahan
sistem ketatanegaraan dengan menempatkan MPR dan DPR sebagai lembaga negara
yang berada di bawah konrolny. Suharto sebagai kepala negara berhak menunjuk
seperlima anggota DPR dan tiga per lima anggota MPR; (iv) sentralisasi
kekuasaan di tangan eksekutif; (v) depolitisasi dan kontrol masyarakat pedesaan
melalui Bintara Pembina Desa (BABINSA) dengan konsep massa mengambang (floating
mass); dan (vi) kontrol terhadap pers.
Pada tahap awal pemerintahan orde
baru, kebebasan pers yang pada masa orde lama sebelumnya dikekang, dipulihkan
kembali dan pers digunakan sebagai mitra untuk membantu pemerintah menertibkan
gejolak pasca pemberontakan G-30S PKI. Politik hukum pers di masa orde baru
sudah mulai dibentuk oleh Suharto setelah berhasil mengkonsolidasikan
kekuasaannya, yaitu dengan menetapkan peran dan fungsi pers adalah membantu
pemerintah dalam menciptakan stabilitas politik untuk melaksanakan pembangunan,
sehingga di awal pemerintahan orde baru pers nasional disebut sebagai “pers
pembangunan”.
Pers menjadi tidak bebas lagi tetapi
dikontrol oleh pemerintah melalui
beberapa mekanisme antara lain: (i) regulasi dengan peraturan
perundang-undangan; (ii) perijinan; (iii) penempatan organisasi pers sebagai
korporasi negara dan pembreidelan. Kontrol melalui peraturan perundang-undangan
diwujudkan dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967.
Aktualisasi politik hukum pers instrumental orde baru tercermin dari perubahan
undang-undang ini terhadap UU Pers No. 11/1966 yang diubah menjadi UU pers No.
4/1967, terutama pada Pasal-Pasal sebagai berikut:
a. Perubahan
istilah antara lain:
1) ”
alat revolusi” diganti dengan “alat perjuangan nasional”
2) “alat
penggerak masa” menjadi “alat penggerak pembangunan nasional”
3) “Pers
Sosialis Pancasila” menjadi “Pers Pancasila”
4) “revolusi”
menjadi “perjuangan nasional”.
b. Ketentuan
Pasal 7 ayat (3) UU No. 11/1966 dihapus.
Ketentuan ini menyatakan bahwa:
“Ketentuan-ketentuan lebih lanjut
mengenai tugas Dewan Pers, cara-cara bekerjanya, cara-cara penggantian lowongan
dalam Dewan Pers dan sebagainya ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan
Dewan Pers”.
Dalam Pasal 1 ayat (10) UU Pers No.
11/1966 ditentukan bahwa yang dimaksud “pemerintah” adalah Menteri Penerangan.
Sementara Pasal 7 ayat (1) menentukan bahwa “ketua dewan pers adalah Menteri
Penerangan. Pencabutan Pasal 7 ayat (3) UU Pers No. 11/1966 lebih menegaskan
lagi tentang politik hukum orde baru yang menempatkan institusi pers di bawah
kontrol pemerintah dengan mengeliminasi kewenangan dewan pers.
Mengenai politik hukum pers
instrumental pemerintah orde baru dalam mengontrol pers nasional melalui
undang-undang pers. Setelah pemilu 1971, politik hukum pers pemerintah berbalik
jadi menindas dan pada saat yang sama tetap menggunakan pers sebagai alat
propaganda. Penindasan itu memakan sejumlah korban antara lain: (i) Harian
Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina
Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin
redaksi-nya dituntut di pengadilan; (ii) Tahun 1973, Sinar Harapan dilarang
terbit; (iii) Pada 1974, setelah meledak Perisitiwa Malari, sebanyak 12
penerbitan pers dibreidel melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT).
Hal itu merupakan cerminan dari
politik hukum pers rezim ode baru yang tidak konsisten. Mekanisme kontrol
memang dilaksanakan dengan membentuk sistem hukum pers. Sebelum hukum yang dimaksud itu
terbentuk, ada proses politik dan sosial yang dilalui untuk merumuskan politik
hukum pers yang akan dibuat. Politik hukum pers diarahkan untuk mengontrol pers
secara represif guna mencapai stabilitas politik. Intervensi rezim orde baru terhadap pers
bahkan lebih jauh lagi. Melalui UU Pers No. 21/1982, pers diberi nama baru
sebagai “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila”. Tetapi Pancasila hanya
digunakan sebagai pembenaran dan faktor
pembeda dengan demokrasi liberal. Praktiknya sama sekali tidak konsisten dengan
nilai-nilai yang terdapat di dalam Pancasila.
Situasi semacam itu membuat pers
juga bermuka dua terhadap pemerintah. Di satu sisi, pers berusaha tetap
memberikan informasi dan menjalankan fungsi koreksi konstruktif (istilah yang
dipakai rezim orde baru), dan di sisi lain terpaksa menggunakan bahasa yang
diperhalus (eufimisme) dalam menulis berita agar tidak dibreidel. Gaya bahasa
eufimisme ini sangat populer di masa itu, misalnya untuk kalimat
ditangkap/ditahan diganti dengan diamankan”. Pers juga digunakan untuk membunuh
karakter seseorang, kelompok, partai atau gerakan pro demokratis”.
Bukti inkonsitensi politik hukum pers instrumental dapat dilihat pada UU Pokok Pers No. 11/1966. Sepintas, Undang-undang No. 11 Tahun 1966 ini memberikan kemerdekaan pers, tetapi jika ditelusuri lagi pasal-pasalnya, ternyata di balik itu terdapat berbagai belenggu bagi ke-hidupan pers di Indonesia. Misalnya dalam Pasal 4 UU Pokok Pers No. 11/1966, disebutkan bahwa ”Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan”. Tetapi pada pasal berikutya yaitu Pasal 20 ayat (1) UU Pokok Pers No.11/1966 dikatakan bahwa ”Untuk menerbitkan pers diperlukan Surat Izin Terbit.
c. Periode Reformasi
Munculnya momentum reformasi setelah
jatuhnya rezim orde baru setidaknya dipicu krisis multidimensi yang
menggerakkan mahasiswa untuk medesakkan
tuntutan antara lain: (i) Suksesi kepemimpinan nasional; (ii) perubahan sistem
politik indonesia menjadi negara demokrasi: (iii) kesejahteraan ekonomi; (iv)
reformasi hukum; dan (v) pers yang bebas. Krisis itu begitu besar dan luas, baik skalanya maupun lingkup
permasalahannya yang menyentuh berbagai lapisan masyarakat termasuk kalangan
pers.
Babak baru kehidupan pers di era
reformasi ditandai dengan 3 peristiwa
penting yang mengubah corak pers nasional dari pers otoritarian menjadi corak
baru yang mengarah pada “pers yang bertanggungjawab”. Tiga peistiwa penting
tersebut adalah: (i) Terbitnya Tap. MPR Nomor IV Tahun 1999 tentang GBHN
1999-2004 yang di dalamnya tercantum politik hukum pers; (ii) Lahirnya UU Pers;
dan (iii) Pembubaran Departemen Penerangan yang selama pemerintahan rezim orde
baru digunakan sebagai alat pengendali pers.
Dua peristiwa yang pertama merupakan
perwujudan politik hukum pers instrumental di era reformasi, sedangkan
peristiwa ketiga yaitu pembubaran Departemen Penerangan merupakan salah satu
implementasi dari politik hukum pers tersebut.
Di era reformasi ini memang telah tercapai kebebasan pers yang
diinginkan sebagai prasyarat dalam mewujudkan “pers bebas yang
bertanggungjawab”. Tetapi hadirnya kebebasan pers ternyata menimbulkan masalah
tersendiri. Setiap perubahan selalu menimbulkan ketidakpastian yang membuat
orang tidak tahu bagaimana harus berpikir, bersikap dan berperilaku. Setelah 32
tahun dikekang dan dikendalikan, tiba-tiba semua kekangan dan pengendalian
itu hilang.
Reaksi spontan setiap orang adalah
kebingungan. Dalam situasi demikian, perilaku seseorang pada umumnya pragmatis.
Orientasinya pada hasil akhir sesaat sambil menilai jika ada yang salah akan
dikoreksi belakangan. Inilah salah satu unsur yang menyebabkan kebebasan pers
itu dianggap oleh sebagian kalangan “kebablasan” dan menimbulkan ekses.
Fenomena “kebablasan” itu memang ada. Kebebasan persnya sudah ada tetapi tidak
diimbangi dengan tanggung jawab sosial, profesionalisme dan etika jurnalistik
yang memadai. Akibatnya terjadi ekses berupa pelanggaran etika, hak-hak pribadi
dan seringkali juga pelanggaran asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan
kasus-kasus penegakan hukum”. Ekses inilah yang akhirnya berbalik kepada
kalangan pers sendiri berupa kemarahan, kekerasan dan bahkan yang dikatakan
oleh mereka sebagai “kriminalisasi pers”.
Masyarakat sendiri memberikan respon
balik kepada pers atas kerugian materiil maupun imateriil yang dialaminya
ketika dirinya dijadikan sebagai objek pemberitaan. Respon tersbut bisa berupa
ancaman, pengrusakan kantor redaksi, kekerasan fisik dan bahkan
pembunuhan.
Perbandingan Politik Hukum Pers
Instrumental Era Orde Lama, Era Orde dan Era Reformasi dapat dirangkum pada
tabel 3.1. berikut ini:
Substansi |
Era Orde Lama |
Era Orde Baru |
Era Reformasi |
Dimensi |
Revolusi untuk memerangi kolonialisme dan imperialisme |
Pembangunan |
Reformasi menuju negara kesejahteraan yang demokratis
berdasarkan hukum |
Sistem Politik |
1.
Liberal (1950 – 1959) 2.
Otoriter (1960 – 1966) |
Otoriter |
Demokrasi |
Prioritas/Penekanan |
Revolusi |
Sstabilitas Politik |
Kebebasan Pers |
Ideologis |
Pancasila |
Pancasila |
Pancasila |
Normatif |
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 |
1. Tap MPRS No. XXXII/ 1966 Ttg. Pembinaan Pers 2. UU Pers No. 11/1966 3. UU Pers No. 4/1967 4. PP No. 5/1967 Ttg Dewan Pers 5. UU Pers No. 21/1982 6. UU Pers |
1.
Tap MPR No. IV/1999 2.
UU Pers 3.
UU No. 17/2007 Ttg. RPJPN |
Teoretis |
1.
Teori Pers Libertarian 2.
Teori Pers Otoritarian |
Teori Pers Otoritarian |
Teori Pers Tanggung Jawab Sosial |
Praksis |
Pers sebagai alat revolusi, alat pembentuk pendapat
umum, alat penggerak massa, alat pendidikan |
Pers sebagai
alat penyebar informasi dan sosialisasi kebijakan pemerintah dan alat
pembentuk dukungan |
Pers sebagai alat kontrol sosial (watchdog), alat
pendidikan, alat penyebar-luasan informasi, alat hiburan dan forum terbuka
untuk bertukar ide |
Kebebasan Pers |
1.
Ada (1950 – 1959) 2.
Tidak ada (1959 – 1966) |
Tidak ada |
Ada dan kadarnya berlebihan (kebablasan) |
Sistem pers |
1.
Sistem Pers Liberal (1950 – 1959) 2.
Sistem Pers Otoriter (1959 – 1966) |
Sistem Pers Otoriter |
Sistem Pers Bebas Bertanggungjawab |
Keberpihakan |
Berpihak kepada pertumbuhan dan perkembangan pers
nasional dengan memberikan fasilitas
kredit modal dan subsidi kertas
|
· Berpihak kepada pemerintah · Tidak memberi peluang kepada masuknya modal asing |
· Berpihak kepada pemilik modal dan industri pers · Memberi peluang kepada masuknya modal asing |
Kelembagaan Pers |
Pers adalah lembaga sosial |
Pers adalah lembaga sosial |
Pers adalah lembaga sosial dan sekaligus lembaga
ekonomi |
Implikasi |
1.
Bisa menjalankan fungsi kritik dan kontrol sosial 2.
Tidak bisa menjalankan fungsi kritik dan kontrol sosial |
Tidak bisa menjalankan fungsi kritik dan kontrol sosial |
· Bisa menjalankan semua peran dan fungsi pers · Pers berorientasi pada ekonomi industri · Persaingan pasar bebas |
Ekses |
1.
Sikap dan perilaku pers dan masyarakat yang reaktif-agresif. Pemerintah
tidak stabil (1950 – 1959) 2.
Pers tunduk pada kepada penguasa atau pemerintah (1959 – 1966 |
· Pers tunduk kepada penguasa atau pemerintah · Pers bersikap apatis dan mendua (ambigu) · Sulit mendirikan penerbitan pers
|
· Pers kebablasan dan memicu konflik · Mudah mendirikan penerbitan pers dan merekrut wartawan · Kualitas jurnalisme rendah · Tidak profesional · Pelanggaran kode etik sering terjadi, berita
menghakimi, melanggar asas praduga tak bersalah · Hak pribadi dan HAM sering dilanggar · Kekerasan terhadap pers · Kriminalisasi pers
|