Keadilan merupakan pilihan atas suatu kondisi ideal yang secara moral diyakini sebagai kebenaran yang hakiki. Perdebatan mengenai realitas keadilan tak pernah berhenti hingga kini, sebagaimana yang digambarkan oleh Robert Reiner bahwa “keadilan” adalah suatu “essencially contested concept”. Keadilan adalah konsep yang abstrak sehingga sangat sulit memahaminya, terutama bila dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang beragam. Penafsiran bahwa keadilan adalah konsep yang abstrak inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia gagal mewujudkan keadilan sosial dan berakibat timbulnya diskursus yang berkepanjangan mengenai makna dan esensi keadilan.Tema sentral yang paling sering mengemuka adalah diskursus tentang keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini disebabkan karena hukum yang diciptakan untuk mewujudkan keadilan substantif, pada kenyataannya seringkali justru menjadi penyebab terjadinya “ketidakadilan”.
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia
diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan
keadilan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya merupakan suatu proses
dinamis yang memerlukan banyak waktu. Upaya ini seringkali didominasi oleh
kekuatan-kekuatan yang saling berkompetisi untuk mengaktualisasikan kepentingan
masing-masing melalui tatanan sosial politik yang ada. Hakikat makna keadilan tertuju pada substansi
“Bagaimana keadilan dapat diwujudkan secara konkrit dalam realitas kehidupan
sosial masyarakat?”. Keadilan merupakan
conditio sine qua non bagi terciptanya tatanan (orde) hukum yang mengatur
perilaku manusia dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat guna mewujudkan
keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta adanya keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan sosial.
Masyarakat dapat dipandang sebagai
suatu struktur di mana terdapat interaksi antar individu dan kelompok di
dalamnya. Interaksi tersebut dapat berupa kerja sama saling menguntungkan atau
kompetisi yang bisa berlangsung secara sehat, namun tidak jarang saling
menjatuhkan di antara satu dengan yang lain. Masyarakat terstruktur dalam
pelapisan-pelapisan sosial yang berkembang secara dinamis mengikuti perubahan.
Dinamika itu terbentuk oleh tradisi kebudayaan dan pilihan-pilihan sistem
sosial - politik yang dipakai dalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya menentukan
tingkatan antara lapisan tertinggi dan terendah dalam kehidupan masyarakat.
Semakin hierarkis tingkat pelapisan sosial dalam masyarakat, struktur
masyarakat tersebut akan menjadi semakin
tidak adil dan sebaliknya. Di dalam struktur masyarakat yang hierarkis, akan
selalu ditemukan adanya kesenjangan atau ketimpangan sosial yang bersumber dari
distribusi yang tidak merata atas aset, peluang dan kesempatan untuk mengakses
sentra-sentra kekuasaan (politik), ekonomi, dan sosial.
Pendistribusian diatur oleh tata
nilai yang ada. Jika distribusi pincang, maka akan muncul pola hubungan yang
menguntungkan bagi salah satu pihak, tetapi pada saat yang sama merugikan bagi
pihak lain.Keadaan ini menjadi penyebab timbulnya konflik dalam masyarakat yang
didasari oleh perbedaan kepentingan yang saling berlawanan, dan kepentingan
yang berbeda atau bahkan berlawanan tersebut merujuk pada lapisan sosial
tertentu. Konflik kepentingan tersebut pada akhirnya akan melahirkan dikotomi
kelas dalam masyarakat, yaitu kelas dominan atau “kelas penguasa/pengatur
(ruler)” dan kelas “yang diatur (subordinate).
Konflik karena perbedaan distribusi
kekuasaan, beban kewajiban dan kekayaan dalam masyarakat tersebut mengakibatkan
ketidakadilan sosial yang disebabkan karena bertambahnya otoritas lapisan
tertentu masyarakat dan berkurangnya otoritas pada lapisan lain. Bryan Barry
merangkum permasalahan pokok keadilan sosial menjadi tiga kelompok, yaitu: (1)
ekonomi; (2) politik (kekuasaan); dan (3) sosial (status). Konflik horisontal
antar golongan maupun konflik vertikal antara kelas penguasa/dominan dengan
“kelas yang diatur/diperintah (subordinate)” harus dicegah dan sedapat mungkin
dikendalikan agar tidak menjurus pada pertentangan atau kekerasan fisik.
Mengendalikan konflik berarti secara tidak langsung dapat menekan potensi
munculnya ketidakadilan, dan pada saat yang sama dapat meningkatkan kemungkinan
terwujudnya keadilan sosial. Tetapi keadilan sosial tak dapat muncul dengan
sendirinya melainkan harus diupayakan dan diperjuangkan melalui regulasi atau
peraturan yang dapat memberikan kepastian hukum terhadap tatanan (orde) sosial
masyarakat. Peraturan tersebut harus pasti, jelas, tidak ambigu dan konsisten
agar benar-benar dapat memastikan bahwa keadilan sosial dapat terwujud, berbangsa
dan bernegara, dan oleh karenanya menjadi bermanfaat bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kenyataan ini memberikan ruang bagi
bekerjanya konsep keadilan, bagaimana mengatur kehidupan individu-individu yang
berbeda dan sama-sama mempunyai kepentingan sendiri, sehingga bisa berjalan
bersama saling menguntungkan dan tidak merugikan pihak lain. Dalam perspektif
teori kontrak sosial, individu maupun kelompok-kelompok yang berbeda tingkat
status dan kebutuhannya perlu bekerjasama dan membuat kesepakatan artifisial
yang disebut “kontrak sosial”, di mana masing-masing anggota masyarakat
mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan
menstransfer hak-hak itu kepada lembaga yang disebut “negara”, yang diharapkan
dapat menjamin terpenuhinya “tujuan bersama” masyarakat secara berkeadilan.
Menurut John Rawls, keadilan adalah
kejujuran (fairness). Agar hubungan sosial antar individu bisa berjalan secara
berkeadilan, maka hubungan antara hak, kewajiban dan fungsi-fungsi di dalam
suatu masyarakat harus diatur atau berjalan sesuai dengan dua prinsip, yaitu:
Pertama, kebebasan yang sama (principle of equal liberty), bahwa setiap orang
mempunyai kebebasan dasar yang sama. Kebebasan dasar ini, antara lain, (1)
kebebasan politik, (2) kebebasan berfikir, (3) kebebasan dari tindakan
sewenang-wenang, (4) kebebasan personal, dan (5) kebebasan untuk memiliki
kekayaan.
Kedua, prinsip ketidaksamaan (the
principle of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam
bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan
tersebut, (1) dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang yang
secara kodrati tidak beruntung dan (2) melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi
yang terbuka bagi semua orang. Artinya,
Rawls tidak mengharuskan bagian semua orang adalah sama, seperti kekayaan,
status, pekerjaan dan lainnya, karena hal itu tidak mungkin, melainkan
bagaimana ketidaksaaman tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terjadi
ikatan, kerja sama dan kaitan saling menguntungkan juga membutuhkan di antara
mereka.
Prinsip-prinsip keadilan sosial tersebut
ternyata sudah diterapkan bangsa Indonesia, jauh sebelum munculnya teori
keadilan sosial John Rawls. Masyarakat Indonesia telah menetapkan kehidupan
berbangsa dan bernegaranya atas dasar keadilan sosial. Dua kali istilah
“keadilan sosial” disebutkan di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dengan
demikian, keadilan sosial telah diletakkan menjadi salah satu landasan dasar
dari tujuan dan cita negara (staatsidee) sekaligus sebagai dasar filosofis
bernegara (filosofische grondslag) yang termaktub pada sila kelima dari
Pancasila. Artinya, memang sejak awal para pendiri negara sudah menetapkan
landasan normatif untuk mewujudkan keadilan sosial baik untuk warga negaranya
sendiri maupun masyarakat dunia.
Dua prinsip keadilan yang menjadi
premis utama dari teori Rawls juga tertera dalam konstitusi Indonesia, terlebih
lagi setelah adanya perubahan UUD 1945 melalui empat tahapan dari 1999 sampai
dengan 2002. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle) tercermin
pada ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights
and freedoms of citizens) yang dimuat di dalam Bab XA tentang Hak Asasi
Manusia, diantaranya yaitu Pasal 28E UUD 1945 mengenai kebebasan memeluk agama
(freedom of religion), kebebasan menyatakan pikiran sesuai hati nurani (freedom
of conscience), serta kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat (freedom
of assembly and speech). Begitu pula halnya dengan prinsip kedua bagian pertama
sebagai prinsip perbedaan (difference principle).
Konstitusi Indonesia mengadopsi
prinsip yang sama pada Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dari sinilah dasar
penerapan affirmative action atau positive discrimination dapat dibenarkan
secara konstitusional. Dalam konteks prinsip-prinsip keadilan, Mahkamah
Konstitusi berpandangan bahwa keadilan tidak selalu berarti memperlakukan sama
kepada setiap orang.
Menurut Mahkamah Konstitusi,
keadilan haruslah diartikan dengan “memperlakukan sama terhadap hal-hal yang
sama, dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda”. Sehingga,
apabila terhadap hal-hal yang berbeda kemudian diperlakukan sama, justru akan
menjadi tidak adil. Pemaknaan yang demikian telah dituangkan dalam pelbagai
Putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya yaitu Putusan Nomor 070/PUU-II/2004,
Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 dan Putusan Nomor 27/PUU-V/2007. Mahkamah
Konstitusi juga menggunakan teori Rawls dalam pertimbangan hukumnya yaitu dalam
Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 bertanggal 15 April 2009 pada paragraf [3.19]
butir kedelapan.
Rawls juga menekankan bahwa keadilan
dapat tercapai manakala terjadi kepatuhan terhadap konstitusi dan
terintegralisasinya hak dan kewajiban konstitutional yang berlandaskan
nilai-nilai moral. Dengan kata lain, Rawls juga menempatkan moral konstitusi
(constitutional morality) untuk menentukan apakah institusi-institusi yang
diatur di dalamnya sudah bersifat adil. Oleh karenanya menurut Rawls, antara
moral dan konstitusi, keduanya saling membutuhkan satu sama lain guna
mewujudkan tatanan dasar kehidupan sosial dan bernegara. Artinya, konstitusi
haruslah berlandaskan nilai-nilai moral dan sebaliknya juga agar berlaku
efektif maka nilai-nilai moral harus didukung oleh konstitusi.
Nilai Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat indonesia yang terdapat dalam Sila ke lima Pancasila, mengandung makna
sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia yang
Adil dan Makmur secara lahiriah ataupun batiniah. Nilai-nilai dasar itu
sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif, isinya belum
dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional dan eksplisit, perlu
dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut
adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Makna keadilan sosial
secara ekonomi, terdapat di dalam Pasal 33 UUD 1945. Sebagai nilai dasar,
nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada
kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental
penyelenggaraan negara Indonesia.
Terdapat sejumlah bukti yang
mengindikasikan bahwa pengaruh sistem ekonomi liberal yang kapitalistis, telah
mengikis nilai-nilai kebersamaan yang dimiliki bangsa Indonesia sehingga secara
pelan tetapi pasti nilai-nilai kebersamaan tersebut terpinggirkan diganti
dengan nilai-nilai individualisme. Fenomena yang terjadi di bidang Pengelolaan
Industri Pers, menunjukkan bahwa penerbitan pers yang semula berskala kecil
dengan modal yang relatif kecil pula, telah mengalami perubahan menjadi
berskala industri dengan modal raksasa. Perusahaan pers/Pers terkonsentrasi
pada beberapa korporasi Pers yang dimiliki dan dikontrol oleh sejumlah kecil
pemilik yang bermodal sangat besar (oligopoli). Dengan demikian, nilai-nilai
jurnalisme bukan lagi ditentukan oleh nilai-nilai kebajikan yang menjadi tujuan
bersama, melainkan ditentukan oleh profitabilitas dan nilai kekuatan pasar
bebas (market driven journalism) yang menjadi ciri masyarakat
liberal-kapitalis.
Pengaruh nilai-nilai liberalisme dan
kapitalisme tersebut, menyebabkan nilai-nilai dasar keadilan sosial yang
terdapat di dalam Sila ke-lima Pancasila hanya terhenti pada tataran ideologi
dan normatif yang bersifat abstrak, dan belum terwujud dalam tataran praksis
berupa kebijakan dasar negara (politik hukum) yang menentukan arah sistem hukum
yang akan dibentuk dan diterapkan di Indonesia, termasuk sistem hukum industri
Pers.
a. Persaingan Industri Pers Lokal
Dan Nasional
Pada saat terjadi krisis moneter di
tahun 1997, hampir semua koran di daerah menghentikan penerbitannya karena kelangkaan
pasokan dan tingginya harga kertas pada saat itu. Pasca reformasi terutama
setelah dicabutnya kontrol negara terhadap pers melalui mekanisme SIUPP, SIT,
sensor dan breidel ditiadakan oleh menteri Penerangan Yunus Yosfiah, maka
sejumlah koran yang pernah mati diterbitkan kembali. Sesudah diberlakukannya UU
Pers pada tahun 1999 yang memberikan kepada setiap orang untuk mendirikan
penerbitan pers. sehingga terjadi lonjakan jumlah penerbitan pers di daerah.
Kehidupan pers lokal pada kurun
waktu antara tahun 1999 – 2014 mengalami pasang surut antara hidup dan mati
karena tidak mampu bersaing melawan dominasi pers nasional.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers membuat industri pers yang pada masa orde baru
dikendalikan dengan ketat, menjadi terbuka dan dapat dimasuki oleh siapa saja.
Setiap warga negara dapat mendirikan perusahaan pers sebagaimana diatur dalam
Pasal 9 ayat (1) UU Pers. Kondisi ini menyebabkan memunculkan 582 penerbitan
pers baru atau dua kali lipat jumlah penerbitan pers selama 32 tahun
pemerintahan orde baru. Setahun setelah
reformasi jumlah penerbitan media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan atau
bertambah enam kali lipat. Ruang persaingan
pers kemudian menjadi sangat sempit sehingga
mendorong terjadinya perubahan perilaku pebisnis industri pers baik dalam praktik memproduksi karya
jurnalistik maupun dalam praktik persaingan usaha.
Ketatnya tingkat persaingan di pasar
bebas membuat setiap pebisnis dihadapkan pada pertarungan sengit di antara
sesamanya. Kondisi ini menuntut setiap agen untuk memiliki keunggulan
kompetitif yang beragam antara lain: (1) Modal Investasi; (2) Alat-alat
produksi; (3) Tiras ; (4) Perolehan Iklan.
Mengingat pers nasional memiliki
semua unsur daya saing yang dibutuhkan dan bahkan memiliki modal simbolis
berupa reputasi atau prestise yang tidak dimiliki oleh pers lokal. Penurunan
tiras itu bukan semata-mata disebabkan oleh persaingan antar pelaku bisnis pers
meskipun hal itu juga besar pengaruhnya terhadap penurunan tiras. Pengaruh paling
besar adalah perkembangan teknologi digital dan internet yang mendorong
kemunculan media online. Baik pembaca maupun pengiklan berpindah ke media
online berbasis web karena jauh lebih murah, lebih cepat, lebih efisien, lebih
fleksibel dan cakupannya lebih luas. Pers lokal menghadapi tekanan berat dari
dua sisi. Pertama, tekanan persaingan dari pers nasional yang sulit disaingi.
Kedua, tekanan dari media online yang justru menyebabkan sebagian besar pembaca
meninggalkan pers cetak. Situasinya menjadi sangat sulit bagi pers lokal untuk
bertahan sehingga sebagian besar dari mereka bangkrut.
Perkembangan teknologi digital dan
internet membuat konvergensi media menjadi keniscayaan yang harus ditanggung
oleh aktor media terutama pers berupa penurunan tiras. Media mempunyai aturan
pasarnya sendiri yang memaksa aktor bisnis pers konvensional untuk mengubah
strategi bisnisnya agar tetap bisa bertahan di bawah tekanan penurunan tiras
yang sudah terbukti melalui penelitian ini. Gejala merosotnya tiras sudah dimulai
sejak tahun 2000 sebagaimana dinyatakan oleh Amir Siregar, Sekretaris Jenderal
Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) di Jakarta.
Kondisi ini memaksa para aktor
menerapkan strategi dan model bisnis baru untuk mempertahankan eksistensi
bisnisnya. Cara-cara yang ditempuh sudah menyimpang dari praktik persaingan
usaha yang sehat, misalnya Jawa Pos melakukan konspirasi dengan pemerintah
dengan cara membuat kontrak pemuatan iklan tahunan yang sebenarnya adalah liputan pemberitaan
kegiatan pemerintah daerah.
Realitas itu membuktikan bahwa modal
simbolis berupa “reputasi” atau “prestise” yang dimiliki oleh pers nasional
masih bisa menarik pengiklan atau investor besar baik skala nasional maupun
skala internasional untuk memasang iklan atau berinvestasi. Hal itu tidak bisa
dilakukan oleh pers lokal yang hanya memiliki jaringan relasi bisnis di aras
lokal.
Hasil observasi peneliti pada
beberapa kios koran di Pontianak menghasilkan temuan bahwa koran lokal
ditempatkan dibalik koran nasional sehingga tidak tampak oleh pembeli.
Sementara di kios lain, koran lokal sengaja tidak dikeluarkan di pagi hari,
tetapi baru dikeluarkan di atas jam 10 atau jam 11 ketika jualan koran
nasionalnya sudah habis. Dalam jangka waktu lama, di tingkat pengecer kios
koran lokal sulit ditemukan. Begitu juga halnya dengan di tingkat loper yang
mengedarkan koran di sekitar traffic light.
Dengan cara demikian, pers lokal tidak bisa mengandalkan pengecer atau
agen distributor yang lebih suka melayani koran nasional. Kondisi ini memaksa
pers lokal harus membangun jaringan distribusinya sendiri yang menyebabkan
biaya produksi menjadi lebih mahal. Pada akhirnya, pers lokal terpaksa meniru
strategi bisnis Jawa Pos yaitu berkonspirasi dengan pemerintah untuk
memperebutkan pangsa pemberitaan hubungan masyarakat pemerintah daerah yang
dibiayai dari APBD.