Persaingan usaha tidak sehat antar
pelaku pers nasional atau antara pelaku pers nasional dan lokal seperti yang
terjadi di Pontianak,adalah fenomena umum yang tidak hanya dijumpai di aras
nasional Indonesia, tetapi juga lazim ditemukan di dunia persuratkabaran di
aras global. Persaingan bisnis di pasar bebas secara serta merta akan muncul
manakala pelaku bisnis lebih dari satu, karena konsumen akan dihadapkan pada
keputusan unttuk mengambil pilihan terbaik. Konsumen akan memilih produk dengan
kualitas terbaik dengan biaya yang termurah.
Produk yang berkualitas baik dan
harganya murah akan meningkatkan permintaan. Permintaan yang tinggi akan
mendorong produsen meningkatkan penawaran. Keseimbangan antara permintaan dan
penawaran inilah yang akan menentukan
tingkat harga. Jika permintaan tinggi tetapi penawaran rendah maka harga akan
tinggi dan sebaliknya. Dengan demikian mekanisme keseimbangan pasar bebas akan
ditentukan oleh tiga faktor tersebut yaitu penawaran, permintaan dan harga.
Faktor-faktor inilah yang oleh penemu teori ekonomi klasik Adam Smith, disebut
sebagai “tangan tak terlihat (the invisible hand)” yang mengatur keseimbangan
pasar.
Sejalan dengan asas tersebut maka
produsen akan berusaha menekan biaya produksi seminimal mungkin guna
memaksimalkan keuntungan. Produk
industri pers adalah berita yang kualitasnya ditentukan oleh isi/konten dari berita
itu, sehingga konten berita menjadi faktor daya saing yang menentukan apakah
suatu surat kabar diminati konsumen atau tidak. Tingginya tingkat persaingan
berbanding lurus dengan jumlah pelaku bisnis. Semakin banyak jumlah pelaku
bisnis maka tingkat persaingan akan semakin tinggi..Pada kondisi pasar yang
sangat kompetitif (tingkat persaingannya tinggi karena banyaknya jumlah pelaku
bisnis), pada umumnya akan terjadi distorsi keseimbangan pasar karena adanya
praktik persaingan bisnis yang tidak jujur atau curang. Pada kondisi alami tanpa adanya distorsi sama
sekali terhadap keseimbangan pasar, pelaku bisnis yang lemah seper industri
pers lokal sudah memiliki risiko terpinggirkan karena ketidaksamaan (asimetri)
sumberdaya dan informasi dibandingkan dengan pelaku bisnis yang kuat seperti
industri pers nasional. Sumberdaya pers cetak meliputi sumber daya alami dan
sumber daya simbolis. Sumber daya alami antara lain adalah: modal investasi,
alat produksi dan Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber daya simbolis antara lain adalah
iklan, tiras dan isi atau konten berita.
Adanya asimetri sumber daya dan
informasi ini saja sudah cukup kuat untuk meminggirkan pelaku bisnis yang lemah
dari medan persaingan. Apalagi jika ditambah dengan distorsi keseimbangan pasar
karena tindakan pelaku bisnis yang curang atau tidak jujur, maka pelaku bisnis yang lemah (dalam hal ini
pelaku industri lokal) bukan hanya terpinggirkan, tetapi justru menjadi mati.
Adanya tindakan pelaku bisnis yang tidak jujur akan mendorong pelaku bisnis
lain untuk bertindak tidak jujur juga. Fenomena pelaku bisnis yang lemah mati
atau terpinggirkan dari medan persaingan karena kalah bersaing di pasar bebas
adalah keniscayaan (pasti terjadi). Fenomena itu merupakan faktor intrinsik
pasar bebas dalam perspektif liberalisme – kapitalisme.
Hal itu merupakan bentuk ketidakadilan sosial yang
menjadi faktor risiko pasar bebas. Kenyataan bahwa pasar bebas berisiko
menebabkan terjadinya ketidakadilan sosial yang bersumber dari distorsi
keseimbangan pasar oleh pelaku bisnis justru disadari oleh Adam Smith, sehingga thesisnya mengenai “pasar bebas
ideal” didasarkan pada ekspektasi bahwa para pelaku bisnis yang kuat memiliki
kerelaan dan kemurahan hati untuk mendistribusikan miliknya yang berlebih bagi
pelaku bisnis yang lemah dan terpinggirkan akibat persaingan. Dengan demikian
terjadi redistribusi manfaat dari pelaku bisnis yang kuat kepada pelaku bisnis
yang lemah. Apabila hal itu terjadi maka distorsi keseimbangan pasar dapat
dipulihkan dan pasar akan kembali ke kondisi idealnya.
Hakikat keadilan adalah keadilan
sosial. Keadilan tidak dapat diformulasikan tanpa ada konteks sosialnya.
Permasalahannya, keadilan adalah salah satu pilar yang menjaga berlangsungnya
kehidupan sosial. Persoalan keadilan
menjadi pelik ketika ada pertentangan antara mengutamakan kepentingan pribadi
(Thibaut & Walker, 1975) dan kepentingan bersama/sosial (Lind & Tyler,
1988). Pada tingkat individu akan sulit sekali menilai keadilan tanpa
menghiraukan kepentingan pribadi. Adalah tidak realistis menegakkan keadilan
tanpa mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak. Apalagi ketika kepentingan
tersebut menyangkut hak-hak asasinya. Meskipun demikian, kompromi yang sering
diambil secara umum mengarah pada posisi yang
lebih tinggi bagi nilai-nilai kepentingan bersama dibandingkan dengan
kepentingan pribadi. Prinsip distribusi ini diarahkan untuk menjaga kebersamaan
dalam masyarakat sekaligus diarahkan agar individu tetap menjaga moralitas
masing-masing (Reis, 1987). Bertolak
dari pemikiran tersebut maka dalam konteks tata kelola industri pers,
prinsip-prinsip keadilan distributif yang tepat diterapkan apadah prinsip proporsional, pemerataan, dan
kebutuhan.
Konsepsi keadilan distributif
menurut Adam Smith didasarkan pada itikad baik dan kemurahan hati pelaku bisnis
yang kuat. Keadilan distributif terbatas pada tindakan yang dilandasi oleh
kemurahan hati, tindakan karitatif, dan
rasa belas kasihan. Hal mana sangat
sulit terjadi dalam kenyataan, bahkan di masyarakat liberal tempat di mana
thesis pasar bebas itu dilahirkan. Berdasarkan proposisi pasar ideal tersebut,
campur tangan pada pasar bebas harus diusahakan seminimal mungkin tetapi bukan
sama sekali ditolak. Negara diharapkan campur tangan di sektor-sektor publik
yang tidak dapat dikerjakan sendiri oleh swasta, misalnya infrastruktur,
pertahanan keamanan, pemberian jamunan sosial pada pengangguran, santunnan
kepada orang cacat, manusia usia lanjut dan sebagainya.
Konsepsi keadilan distributif Adam
Smith berbeda dengan konsepsi keadilan distributif menurut Aristoteles. keadilan distributif berkaitan dengan
distribusi fungsi-fungsi atau peran di antara anggota masyarakat. Secara
konseptual keadilan distributif berkaitan dengan distribusi keadaan dan barang
yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan individu. Kesejahteraan yang dimaksudkan meliputi
aspek-aspek fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial. Tujuan distribusi di sini
adalah kesejahteraan sehingga yang didistribusikan biasanya berhubungan dengan
sumber daya, ganjaran, atau
keuntungan.
Keadilan distributif tidak sepihak,
tetapi bisa juga interaktif karena berbagai hal yang didistribusikan ada yang
milik pribadi dan sebagian milik bersama. Dalam pemikiran Aristoteles, nilai
keadilan itu saling dipertukarkan di antara dua pihak, yaitu pihak yang kuat
dan pihak yang lemah. Pada pertukaran nilai keadilan tersebut, kedua belah
pihak saling mendapat manfaat sesuai dengan kontribusi masing-masing. Sementara
keadilan distributif versi Adam Smith berlaku sepihak, yaitu dari pihak yang
kuat kepada pihak yang lemah berdasarkan kerelaan dan kemurahan hati pihak yang
kuat. Pihak yang kuat yang berhasil memperoleh manfaat yang lebih banyak
mendistribusikan ulang kelebihan manfaatnya tersebut kepada pihak yang kuat.
Perbedaan konsepsi keadilan tersebut bersumber dari perbedaan orientasinya.
Arristoteles berorientasi pada keseimbangan antara milik pribadi dan milik
bersama, sementara Adam Smith lebih berorientasi pada milik pribadi, yang mana
hal ini sesuai dengan filisofi liberalisme yang memiliki tiga proposisi yaitu:
(i) kebebasan individu; (2) hak milik pribadi; dan (3) perlindungan pasar bebas
dari campur tangan negara.
Keadilan atau ketidakadilan
distributif dapat dilihat pada tiga tingkatan, yaitu nilai-nilai, peraturan,
dan implementasi peraturan. Nilai-nilai keadilan distributif sangat bervariasi
(Deutsch, 1975; Feather, 1990, 1994; Rasisnski, 1987; Reis, 1987; Rohrbaugh
dkk., 1980; Thornblom, 1977). Setiap
nilai mempunyai tujuan dan kesesuaian dengan kondisi tertentu. Dalam konteks
penelitian ini, kasus mati atau terpinggirkannya pers lokal di Pontianak karena
kalah bersaing dengan pers nasional berkaitan dengan distribusi peran, fungsi,
peluang dan manfaat dalam struktur pasar
industri pers. Nilai-nilai distribusi yang terkait antara lain adalah: (1)
distribusi secara proporsional; (2)
distribusi merata; (3) distribusi berdasarkan kebutuhan; (4) distribusi
berdasarkan permintaan dan penawaran pasar; (6) distribusi yang mengutamakan
dan menguntungkan orang lain; (7) distribusi yang mengutamakan kepentingan
bersama di atas kepentingan pribadi.
Pada konteks persaingan industri
pers nasional dan lokal di Pontianak konsepsi keadilan distributif Adam Smith
sangat sulit diaplikasikan karena sifatnya terlalu ideal, sementara konsepsi
Aristoteles masih terlalu anstrak. Konsepsi yang lebih tepat untuk
diaplikasikan di Indonesia adalah konsepsi keadilan sosial John Raws yang
didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, kebebasan yang sama
(principle of equal liberty), bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang
sama. Kebebasan dasar ini, antara lain, (1) kebebasan politik, (2) kebebasan
berfikir, (3) kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, (4) kebebasan personal,
dan (5) kebebasan untuk memiliki kekayaan.
Kedua, prinsip ketidaksamaan (the
principle of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam
bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan
tersebut, (1) dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang yang
secara kodrati tidak beruntung dan (2) melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi
yang terbuka bagi semua orang. Artinya,
Rawls tidak mengharuskan bagian semua orang adalah sama, seperti kekayaan,
status, pekerjaan dan lainnya, karena hal itu tidak mungkin, melainkan
bagaimana ketidaksaaman tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terjadi
ikatan, kerja sama dan kaitan saling menguntungkan juga membutuhkan di antara
mereka.
Ketiga, pendistribusian nilai keadilan harus
diutamakan bagi pihak yang paling lemah atau paling tidak beruntung yang
disebabkan karena kekurangannya atau keterbatasannya.
Berdasarkan uraian di atas maka
pendistribusian nilai keadilan harus ditujukan terurama kepada industri pers
lokal di Pontianak atau di tempat lain di Indonesia yang terancam mati atau
terpinggirkan karena tidak memiliki sumber daya yang tidak seimbang dengan
sumber daya yang dimiliki oleh pers nasional. Negara yang bertanggungjawab atas
kesejahteraan semua warganya harus campur tangan untuk mengatur agar tidak
terjadi distorsi keseimbangan pasar yang disebabkan oleh tindakan tidak jujur
atau curang dalam persaingan. Campur tangan negara dalam rangka melindungi
kepentingan industri pers lokal yang lemah dapat diwujudkan dengan cara membuat
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tata kelola industri
pers.
Di berbagai negara lain misalnya Inggris,
Australia, Irlandia, Selandia baru, Afrika Selatan, Turki dan lain-lain, tata
kelola industri pers diatur dengan suatu peraturan yang khusus untuk industri
pers. Hal ini dilakukan karena industri pers memiliki karakter spesifik dan
unik yang berbeda dengan karakter industri pada umumnya. Bisnis atau industri
apapun selalu memiliki kekhususan yang didasari oleh karakter spesifik dari
“struktur” dan “pelaku” dari bisnis atau industri yang bersangkutan. Industri
pers adalah unik karena mempunyai merupakan dua sisi dari satu mata uang yang
sama.
Di satu sisi terdapat jurnalis
sebagai lembaga sosial yang membuat karya jurnalistik berupa “berita”. Pada
sisi yang lain terdapat perusahaan pers sebagai lembaga ekonomiyang
melaksanakan proses produksi dan distribusi agar berita tersebut sampai kepada
konsumen. Posisi jurnalis adalah berada pada kedua sisi tersebut. Pada sisinya
sebagai jurnalis ia harus otonom dan independen, sementara pada sisi lainnya ia
termasuk sebagai karyawan perusahaan yang di bawah perinyah, sehingga
otonominya sebagai jurnalis bisa hilang karena tekanan pemilik perusahaan.
Kekhususan inilah yang tidak terdapat pada bisnis atau industri lainnya.
Hal inilah yang menyebabkan mengapa
praktik persaingan usaha tidak sehat pada industri pers masih berlangsung tanpa pengawasan atau kontrol meskipun sudah
ada UU anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999 dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU). Substansi peraturan yang terdapat dalam undang-undang tersebut ternyata
belum mengatur secara khusus tentang tata kelola industri pers. Dengan
demikian, keberadaan undang-undang pengelolaan industri pers merupakan
kebutuhan hukum masyarakat industri pers di Indonesia.